Alasan

2100 Kata
“Makan dulu saja nduk. Enggak usah tunggu. Iya kalau nak Tionya datang. Kalau enggak?” ajak nenek Anah yang kasihan melihat Nirina hanya menopang dagu di meja makan. “Sepuluh menit deh Nek. Kalau belum datang juga, aku makan langsung,” jawab Nirina tersenyum menenangkan nenek Anah yang terlihat khawatir. Ini bukan kali pertama Tio telat datang dan membuat Nirina menahan lapar untuk sekedar menunggunya. Anah dan lainnya ingin ikut menunggu juga, tidak enak makan terlebih dahulu saat Nirina yang merupakan majikan malah makan belakangan. Namun Nirina selalu menolak. Meminta mereka untuk makan terlebih dahulu. “Sudah sepuluh menit Nduk. Makan ya,” ucap nenek Anah yang makanan di piringnya bahkan sudah hampir habis. Anah sengaja makan pelan agar saat Nirina makan nanti, masih ada. “Sebentar Nek. Tunggu lima menit lagi.” Nirina menunjukkan deretan giginya. Anah yang mendengar hanya menghela nafas. Memilih membiarkan Nirina untuk menunggu kekasihnya. Anah tidak mau terlalu memaksakan kehendaknya. Nirina sudah besar. Pasti tahu sendiri mana yang baik dan tidak baik. Mungkin bagi Nirina menahan lapar demi kekasihnya yang tidak suka makan sendiri adalah hal yang baik. Anah tidak bisa melarangnya. Tugas Anah hanya untuk menasihati. Tiga menit setelah Nirina meminta tambahan waktu, yang ditunggu akhirnya datang juga. Tio dengan tampilan santai melenggang tanpa beban. Mendudukkan diri di samping Nirina dengan santai. Apa Tio tidak sadar bahwa sudah membuat Nirina menunggu lumayan lama? Menunggu dengan perut yang sedari tadi berbunyi minta untuk diisi. “Lo kenapa sih aneh banget deh akhir-akhir ini?” tanya Nirina. Memicing melihat Tio yang baru saja datang ke rumahnya. Tio tidak pernah telat kalau untuk masalah makan, akan datang tepat waktu atau malah lebih cepat. Sudah lebih dari satu minggu ini, Tio selalu telat bahkan terkadang tidak datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Nirina tidak masalah jika saja Tio mengatakan kalau memang tidak bisa datang, jadi kan Nirina tidak perlu menunggu. Nah ini sama sekali tidak memberi tahu. Kan Nirina jadi kesal sendiri. Mana Tio sekarang jadi lebih pendiam lagi. Biasanya lelaki itu akan sibuk berbicara atau sekedar mengeluarkan lelucon untuk mencairkan suasana. Ada apa dengan Tio? Apa Nirina melewatkan sesuatu yang penting? “Makan dulu saja,” lerai Anah yang mengetahui akan ada perdebatan setelah ini. Anah juga menyadari ada sesuatu yang tidak beres pada diri Tio. Yang membuat Nirina sebagai kekasih uring-uringan. Anah memilih diam saja karena ini bukan ranahnya untuk ikut campur. Biar yang bersangkutan yang menyelesaikan sendiri. Selesai makan, Nirina berjalan santai ke ruang keluarga. Menyalakan televisi secara acak walau matanya tidak fokus menatap. Nirina hanya ingin ruangan menjadi sedikit ramai saja. Tidak hening dan sepi seperti hatinya kini. Tidak lama, Tio yang baru selesai menghampiri. Duduk bersantai di samping Nirina. Keduanya tetap diam. Tidak ada yang membuka suara satu pun. Masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Nirina dengan kekesalannya pada Tio dan Tio dengan rasa bingungnya. “Na, gue mau minta maaf,” ucap Tio. Nirina mendengarnya. Namun memilih diam untuk mendengarkan barangkali ada lanjutan di kalimat itu. Nirina tidak ingin ucapan maaf, tapi penjelasan. Apa yang menyebabkan Tio sering menghilang akhir-akhir ini. Menghilang tanpa kabar. Jika memang alasan yang diberi masuk akal, ya Nirina akan dengan otomatis melupakan dan memaafkan Tio. Mudah kan. Beberapa detik menunggu, mulut Tio seperti tidak ada tanda-tanda akan terbuka. Nirina menghela nafas. Jadi, memberikan penjelasan juga harus diminta dulu? Kalau tidak diminta ya tidak? “Sudah? Ya sana pulang saja,” sinis Nirina. Ditunggu sampai sepuluh menit ternyata memang Tio tidak ada niat sedikit pun untuk memberi penjelasan. Malah dia sibuk dengan ponselnya. “Na, gue kan sudah minta maaf. Gue tahu gue salah, makanya kan tadi minta maaf,” kata Tio dengan suara meninggi. Tio kira semua masalah sudah selesai. Tapi Nirina malah masih memperpanjangnya. Tio memang bersalah, makanya dia minta maaf. Sudah selesai kan? “Heh, memangnya semua kesalahan bisa diselesaikan dengan permintaan maaf? Kalau kaya begitu, penjara kosong kali. Setidaknya lo jelaskan kenapa akhir-akhir ini lo jadi aneh. Kalau ada masalah sama orang lain, ya jangan jadikan gue sebagai pelampiasan. Gue enggak mempermasalahkan lo yang sering telat datang atau bahkan enggak datang. Yang gue permasalahkan, lo yang enggak kasih kabar. Gampang kok, kirim pesan. Na, hari ini gue telat. Atau Na, hari ini gue enggak datang. Lo mah enggak tahu dampaknya kan. Gue yang kalau lo telat, ikut telat makan juga. Gue nunggu lo datang. Karena gue ingat kalau lo enggak suka kalau harus makan sendiri. Ditunggu lama, eh malah enggak datang. Kurang ajar banget lo.” Nirina mengeluarkan unek-uneknya. Merasa lega saat sudah menyampaikannya. Kalau sudah seperti ini, apa Tio baru akan sadar? Tio termenung. Tidak menyangka bahwa hal sepele yang dilewatkan malah membuat Nirina menahan lapar. Tio tidak memikirkan sampai ke sana. Pantas saja, kalau Tio datang terlambat, hanya piring Nirina saja yang masih kosong sedang lainnya sudah terisi dan hampir habis. Saat itu Tio tidak menyadari bahwa ternyata Nirina tengah menunggunya. Tio kira Nirina sengaja memundurkan waktu makannya karena belum terlalu lapar. Tapi ternyata karena menunggunya. Nirina masih ingat Tio yang tidak suka jika harus makan sendirian. Tio yang sedari dulu selalu makan sendiri, mulai menikmati makan bersama orang lain setelah mengenal Nirina. Dan mengatakan bahwa lebih menyukai makan jika ada orang di meja yang sama. Tio tidak ingin mengulang saat masa kelamnya dulu. Selalu kesepian dan sendiri. “Na, gue minta maaf,” lirih Tio. Menyesali semua perbuatannya yang seenaknya. “Gue, lagi mulai usaha Na. Gue sibuk akhir-akhir ini. Gue salah karena terlalu menyepelekan semuanya. Gue minta maaf Na,” sambung Tio. Alasan mengenai belakangan Tio melewatkan makan bersama karena Tio tengah sibuk merencanakan berdirinya sebuah kafe untuk menunjang biaya kehidupannya. Tio ingin sepenuhnya lepas dari kedua orang tuanya. Jika sudah berhasil berdiri, Tio tidak akan menerima pemberian dari kedua orang tuanya. Sepeser pun. Amarah Nirina mulai mereda mendengarnya. Kalau alasannya jelaskan Nirina juga tidak akan meledak seperti tadi. Apa sih sulitnya untuk berbagi cerita. Walau Nirina tidak bisa membantu setidaknya Nirina bisa meringankan sedikit beban yang tersampir di pundak Tio. Nirina tidak maslah kok. Mereka kan juga pasangan kekasih. Nirina sudah seharusnya mendukung dan berada di belakang Tio. “Cerita juga enggak jadi masalah kan. Malah diam-diam saja. Kan gue jadi kesel sama lo,” gerutu Nirina. Kalau sudah seperti ini, malah Nirina merasa keberadaannya tidak terlalu dipedulikan. “Iya maaf. Gue takutnya lo saja sudah mengemban beban berat. Gue enggak mau lo ke pikiran Na. Gue mau bilang pas nanti memang semuanya sudah diselesaikan. Enggak mau bilang sekarang karena takutnya memang semua enggak akan berjalan. Sekali lagi gue minta maaf ya, janji deh enggak akan mengulangi lagi.” Tio menunjukkan dua jarinya membentuk huruf V. Sebisa mungkin Tio akan lebih terbuka ke depannya. “Ya sudah. Enggak usah minta maaf terus. Telinga gue panas dengarnya.” Nirina menyandarkan kepalanya pada bahu Tio. Huh, karena Tio yang suka menghilang jadi mereka belakangan ini jarang memiliki waktu berdua. Bertemu paling di sekolah saja. “Mau jalan?” tawar Tio. Ini hari Minggu. Tio bermaksud menebus kesalahan dan waktunya yang sempat berkurang untuk Nirina. Melihat Nirina yang seperti ini membuat Tio makin merasa bersalah. Sebelumnya Nirina tidak pernah sekedar bersandar seperti ini. Tapi sekarang malah melakukannya. Apa karena saking rindu akan kehadiran Tio? Atau Nirina iseng saja? Nirina menggeleng pelan. Masih menikmati rasa yang hadir saat ini. Menenangkan. Akhirnya Nirina bisa tidur nyenyak nanti malam tanpa memikirkan penyebab Tio menjadi aneh. Malam-malam sebelumnya Nirina selalu tidur larut. Karena terlalu banyak overthinking sampai baru benar memejamkan mata saat tengah malam menjelang pagi. Nirina berpikir bahwa alasan Tio aneh itu karena kesalahan yang tidak sengaja Nirina buat. Sayangnya berpikir sekeras apa pun, Nirina tetap tidak menemukan jawabannya. Nirina memang sering menyalahkan dirinya atas kemarahan orang di sekitarnya. Nirina yang menyalahkan dirinya akibat perpisahan kedua orang tuanya, Nirina yang menyalahkan dirinya karena kematian Diana, dan masih banyak lainnya. “Ya sudah. Kalau mau tidur, tidur saja,” ucap Tio. Membawa Nirina makin dalam bersandar. Tio mengelus kepala gadisnya lembut. Tio, merasa takut jika sewaktu-waktu Nirina akan berbalik membencinya. Tio belum siap menerima. Apa yang harus Tio lakukan untuk tetap menahan Nirina di sampingnya? Sayangnya itu tidak akan mungkin. Nirina jelas akan menjauh dan sangat membenci kala tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Seandainya waktu dapat kembali. Tio ingin bertemu dengan Nirina dengan cara yang berbeda. Cara yang lebih manusiawi. “Bopak lo apa kabar?” tanya Nirina tiba-tiba. Tio yang mendengar sempat diam beberapa saat. “Dia sudah sehat kok. Sudah keluar dari rumah sakit dari kapan tahu,” jawab Tio tersenyum getir. Walau sudah mendapat penolakan dari sang ayah, Tio tetap datang ke rumah sakit walau tanpa sepengetahuan mereka yang ada di sana. Tio hanya mau memastikan bahwa ayahnya baik-baik saja. Setelahnya pulang lagi. Bagaimanapun, dia tetap orang yang paling berjasa di hidup Tio. Ya setidaknya kan karena uang pemberiannya yang berjumlah besar, Tio mampu bertahan hidup sampai sekarang. Tanpa kekurangan apa pun kecuali kasih sayang. “Lo masih ke sana?” “Masihlah. Bagaimanapun ya dia tetap bokap gue. Ya bokap yang enggak anggap anaknya sih.” Tio tertawa miris. Kasihan sekali nasib hidupnya. Tidak pernah kekurangan uang tapi kekurangan perhatian dan kasih sayang orang tua. “Kalau lo sama bokap lo bagaimana?” tanya Tio. Tio agak penasaran bagaimana hubungan keduanya setelah kejadian saat itu. Apa masih saling diam atau malah sudah baikkan? “Ya kaya begini saja sih. Gue enggak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Sesekali memang penging datang, untuk sekedar tahu keadaannya. Tapi balik lagi, gue enggak mau kena marah kalau berani ke sana. Apalagi ada istrinya. Ih malas deh kalau ketemu dia” jawab Nirina. Nirina benar-benar putus kontak dengan Haidar. Mungkin memang ini yang terbaik. Tapi Nirina berjanji suatu saat akan datang dan memperbaiki semuanya. Menjelaskan kesalahpahaman yang membuat jarak di antara mereka. Tapi waktunya, Nirina masih belum bisa menentukan. “Istri bokap gue juga sama sih. Rese banget.” “Lo tahu enggak? Kabar yang gue dapat tentang nyokap? Katanya sih dia sama berondong sekarang. Yang usianya masih 25 tahun. Gila enggak sih? Berantakkan banget ya keluarga gue,” lanjut Tio. Tio yakin Nirina akan terkejut, sama seperti dirinya saat pertama kali mendengar kabar itu. Tio mendapatkan sebuah foto berisi ibunya dan pria muda dari salah satu sepupunya dengan keterangan yang membuat Tio seketika terdiam. Mereka ternyata sudah menjalin hubungan satu bulan dan sekarang tengah berlibur di negara tetangga. Huh, Tio jelas tahu tujuan pria muda itu mau dengan ibunya. Apalagi kalau bukan uang. Dasar tidak punya rasa malu. Ingatkan Tio kalau bertemu untuk memukulinya. Nirina menegakkan tubuhnya. Menatap mata Tio memastikan apa yang dibilang adalah kebenaran. Tio mengangguk dan tersenyum. Nirina menggeleng tidak percaya. Nirina kira, hubungan wanita dewasa dengan pria yang usianya jauh hanya ada di sinetron. Tapi ternyata di kehidupan nyata juga ada. Keduanya bahkan lebih cocok menjadi sepasang ibu dan anak. Bukan sepasang kekasih. “Kaget kan lo? Gue waktu pertama tahu juga begitu. Tapi sekarang sih sudah biasa saja. Masa bodo juga sih sekarang. Mau sama yang usia 25 tahun kek, tujuh belas tahun kek. Enggak peduli.” “Munafik banget gue bilang enggak peduli sebenarnya. Padahal nyatanya gue sakit hati Na. Ah, gue pengi benar-benar lepas dari orang tua gue. Gue mau pikiran gue enggak memikirkan keadaan mereka terus. Tapi gue enggak bisa Na. Sekeras apa pun gue mencoba,” lirih Tio. Mulut Tio mengatakan benci dan tidak peduli. Tapi hatinya tetap saja memikirkan kedua orang tuanya. “Gue juga tahu bagaimana perasaan lo. Lo mencoba buat benci namun di saat bersamaan, lo juga enggak bisa benci. Kita jalani saja ya. Mungkin memang Tuhan enggak mau ada seorang anak yang membenci orang tuanya,” ujar Nirina yang mengetahui pasti perasaan yang Tio rasakan kini. Pada akhirnya, anak yang akan selalu menjadi korban akan keegoisan orang tuanya. Mereka setelah memilih berpisah masih dapat melanjutkan hidup dengan baik bahkan dengan menemukan orang baru. Tidak dengan sang anak yang akan menanggung akibatnya. Mereka akan sulit menerima bahkan walau sudah berlalu lama. Sakitnya akan terus membekas mungkin sampai mereka dewasa atau bahkan sampai mereka menutup mata. Bagi kalian para orang tua, tolong pikirkan kembali nasib anak-anak jika kalian akan berpisah. Jangan hanya karena emosi sesaat membuat trauma seumur hidup. Jelas bukan kalian yang menerima akibatnya. Melainkan anak yang lahir di pernikahan itu. Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Di sini sudah ada Nirina dan Tio yang menjadi salah satu korbannya. Keduanya menjalani hidup dengan baik namun tidak dengan perasaan mereka. Apalagi ditambah dengan orang baru yang menjadi pasangan masing-masing orang tuanya. “Di kehidupan selanjutnya, gue berharap punya keluarga yang utuh. Gue pengin merasakan kebahagiaan yang belum pernah gue dapat. Bahkan gue rela walau nantinya enggak ada harta yang berlimpah,” gumam Tio penuh harap. Semoga Tuhan mengabulkannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN