Nirina tidak bisa tidur malamnya. Untung saja besok hari libur jadi tidak perlu takut besok akan kesiangan. Ucapan Tio masih saja membekas di kepala Nirina. Padahal sederhana. Lagi pula kan belum tentu juga kalau Tio memang tulus mengatakannya. Bisa saja Tio hanya iseng. Logika Nirina berpikir demikian. Namun perasaannya menganggap bahwa Tio serius mengatakannya. Huh, padahal hanya perkara seperti itu saja. Mungkin Nirina saja yang terlalu membawa perasaan.
“Sudah sih. Baru dibilang cantik saja enggak bisa tidur. Bagaimana kalau diajak nikah, pingsan di tempat kali gue,” gumam Nirina merutuki dirinya sendiri yang terlalu berlebihan. Bagi sebagian orang mungkin Nirina berlebihan. Namun ada sebagian orang lagi yang akan merasakan perasaan seperti Nirina sekarang. Nirina jarang bersosialisasi. Dan sekalinya memiliki teman, seorang laki-laki. Beberapa minggu melewati hari bersama dan laki-laki itu memujinya cantik di saat sikap dia selama ini yang selalu cuek. Mana ada yang biasa saja?
“Mana enggak chat lagi. Dasar anak orang. Berhasil buat gue salah tingkah malah menghilang begitu saja.” Nirina menutup wajahnya dengan bantal. Biasanya, Tio akan mengiriminya pesan saat lelaki itu selesai membersihkan diri. Tapi sudah ditunggu dari tadi malah pesannya tidak datang juga.
“Ah mungkin memang lagi sibuk. Atau malah sudah tidur,” gumam Nirina. Mungkin saja sih. Hidup Tio bukan hanya sekedar dirinya. Lelaki itu pasti mempunyai orang lain entah keluarga atau teman yang pasti membutuhkan waktu Tio. Nirina tidak boleh egois. Tio sudah sedari pagi selalu bersamanya.
“Sekarang sudah jam sebelas. Dan gue sama sekali belum ngantuk.” Menuruni ranjang dan duduk di kursi yang berada di sudut ruangan. Nirina mengambil buku kecil tempat biasanya mencurahkan perasaan dan menceritakan semua yang terjadi. Saat dulu ada Diana, Diana yang rela mendengar sampai berjam-jam. Sekarang buku ini yang menggantikan posisi Diana.
Selesai menggoreskan pena, tatapan Nirina jatuh pada bingkai foto yang posisinya masih saja di sana. Foto yang menunjukkan bahwa Nirina pernah memiliki keluarga yang bahagia. Walau sekarang yang tersisa hanya kenangannya saja. Kenangan yang tersimpan manis dalam ingatan. Sebenci Nirina pada Haidar, tetap saja Haidar adalah papanya. Tidak ada yang bisa mengingkari fakta itu. Mulut Nirina memang berkata benci dan kecewa. Tapi hatinya, tetap saja menyayangi Haidar. Mau bagaimanapun Haidar, lelaki itu yang dulu memperlakukannya dengan baik dan tulus. Lelaki pertama yang mampu membuat Nirina dicintai dan dihargai. Itu yang Nirina rasakan. Mengenai tulus atau tidaknya Haidar, Nirina tidak tahu. Tidak mau tahu juga. Tapi dengan kenyataan bahwa Haidar sebenarnya tidak ingin memiliki anak perempuan, membuat Nirina berpikir bahwa semua yang telah Haidar berikan pada dirinya hanya sebuah kepalsuan.
“Dulu kita bahkan hidup bahagia loh. Tapi sekarang, ah masih sama bahagia, tapi dengan kebahagiaan yang sudah tidak sama. Papa bahagia dengan keluarga baru papa. Mama bahagia karena sudah bertemu oma dan opa. Dan aku bahagia, dengan hidup aku sekarang yang lebih berwarna.” Nirina tersenyum sendu. Ya, mereka masih bahagia dengan penyebab yang berbeda.
Pikiran Nirina lagi-lagi berkelana pada seseorang yang sudah membuat hidupnya jadi lebih berwarna. Hidupnya yang dulu hanya ada hitam dan putih, kini ada warna lainnya. Orang yang kehadirannya Nirina tolak saat pertama kali. Namun sekarang malah Nirina sudah terbiasa dan seperti tidak bisa lepas akan keberadaannya. Orang itu Tio. Akhir-akhir ini, nama Tio selalu saja berhasil melintas di kepalanya.
“Masa sih gue suka sama dia?” gumam Nirina.
“Enggak mungkin deh. Itu bukan suka tapi nyaman saja karena selama ini baru dia laki-laki yang perhatian bahkan melebihi papa. Iya sih kayanya memang seperti itu. Apa itu suka,” bantah Nirina langsung. Nirina menyangkal sekuat tenaga yang sebenarnya di rasa. Nirina hanya takut perasaannya akan merusak pertemanan yang sudah terjalin. Takut Tio akan terbebani dan malah menjauhinya. Nirina juga tidak siap untuk patah hati. Ya karena patah hati satu paket dengan jatuh hati. Kalau jatuh hati, ya harus siap kalau sewaktu-waktu akan patah hati.
Lumayan lama bermonolog, Nirina kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Sudah tengah malam dan Nirina akan berusaha untuk tidur walau kantuk belum juga datang. Mungkin dengan memejamkan mata, kantuk akan segera tiba dan bisa terlelap menggapai mimpi.
Benar saja, tidak lama kemudian, nafas Nirina mulai teratur. Gadis itu akhirnya berhasil tidur juga.
Matahari mulai menampakkan dirinya. Hari baru sudah kembali datang. Nirina masih saja bergelung dengan selimut setelah sebelumnya sempat bangun untuk menunaikan kewajibannya. Mata Nirina yang masih sepet membuat gadis itu memilih untuk tidur lagi. Masih terlalu pagi juga. Ditambah hari libur. Nirina akan memanfaatkan Sabtu paginya dengan sebaik mungkin. Akan bangun saat matahari sudah tepat di atas kepala. Kebiasaan Nirina di hari libur. Nenek Anah juga sudah memahaminya dan tidak akan membangunkan kecuali ada sesuatu yang mendesak.
Nirina mengerang dalam tidur kala mendengar pintu kamarnya yang di ketuk dari depan. Siapa sih yang berani mengganggu me time nya. Nirina masih ingin bermanja dengan kasurnya. Meneruskan tidur tanpa memedulikan ketukan yang lagi-lagi bunyi.
“Nduk.”
Huh, dengan terpaksa Nirina bangun. Berjalan pelan membuka kunci pintu. Sampai mengunci pintu Nirina semalam. Persiapan untuk bisa tidur sampai siang tanpa gangguan. Tapi mendengar suara nenek Anah yang mengetuk, Nirina jadi tidak enak jika terus mengabaikan. Nenek Anah kan tidak akan mengganggunya jika tidak ada hal yang penting.
“Ada apa nek?” tanya Nirina masih dengan memejamkan mata. Mata Nirina begitu berat untuk terbuka. Efek semalam baru bisa benar-benar tidur saat lewat tengah malam ya seperti ini.
“Itu ada nak Tio,” ucap Anah. Nirina menghela nafas mendengarnya. Untuk apa Tio pagi-pagi di hari libur datang ke rumahnya. Nirina sudah membuat peringatan pada Tio bahwa di Sabtu atau Minggu pagi, tidak boleh datang dan mengganggunya. Sebelumnya Tio menurutinya. Tapi hari ini malah datang. Kalau mau ikut makan, ya tinggal makan saja sih. Tidak perlu membangunkan.
“Kalau dia mau makan, ya tinggal disuruh makan saja nek. Aku masih mau tidur,” ujar Nirina malas.
“Mm itu nduk. Apa ya. Kalau menurut penglihatan nenek ya, nak Tio lagi ada masalah deh. Coba kamu samperin dulu ya.” Mata Nirina langsung terbuka saat mendengar ucapan nenek Anah. Apa memang seperti itu? Apa Tio sedang dalam masalah? Nirina memasuki kamar lagi. Bermaksud mencuci muka dan menggosok gigi. Merapikan penampilannya juga. Nirina tidak mau bertemu Tio dalam kondisi berantakan seperti ini. Mau taruh di mana muka Nirina.
“Aku mau bersih-bersih dulu nek,” teriak Nirina dari dalam kamar mandi. Tadi belum sempat mengiyakan nenek Anah.
Anah hanya menggelengkan kepalanya. Tersenyum samar mendengar teriakan Nirina. Nona mudanya sudah besar. Sudah mengenal lawan jenis. Huh, Anah paham bahwa sebenarnya hubungan antara keduanya hanya sebatas teman. Namun Anah merasa, salah satu atau bahkan keduanya memiliki perasaan yang lebih dari itu. Mana ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan yang murni berteman? Siapa pun yang mengatakan itu, dia berarti belum pernah merasakan dalam posisi itu. Pasti ada yang menaruh rasa. Sekecil apa pun itu. Anah bisa menjaminnya.
Di dalam kamar, Nirina menyisir rambutnya asal. Yang penting tidak berantakan saja. Keluar dari kamar dan mendapati Tio yang sudah duduk di ruang keluarga. Tio memang bukan tamu lagi, dia dengan bebas keluar masuk rumah Nirina. Lelaki itu duduk dengan mata terpejam. Wajah Tio tampak sayu dan pucat. Apa yang terjadi semalam sampai membuat Tio jadi seperti ini? Sebelum pulang Tio masih baik-baik saja. Pasti ada sesuatu besar yang baru saja Tio lalui.
Nirina yang tidak tega membangunkan, hanya duduk diam memandangi wajah tidur Tio. Di saat seperti ini, lagi-lagi jantung Nirina berdetak tidak normal. Perasannya menghangat. Apa benar bahwa Nirina menaruh hati pada teman pertamanya ini? Tapi jika dipikir, apa sih yang membuat orang tidak menyukai lelaki di hadapannya ini? Dia tampan, perhatian jangan lupa. Tio juga bisa menjadi humoris dan romantis sekaligus. Tio, paket komplit untuk membuat orang jatuh cinta. Namun Nirina berjanji dalam hati bahwa akan menyimpan rasanya sampai kapan pun. Nirina tidak akan mengungkapkannya kecuali ya jika ternyata Tio memiliki perasaan yang sama dan menyampaikannya pada Nirina. Nirina tidak ingin jatuh cinta sendirian. Membayangkannya saja sudah membuat Nirina takut. Pasti sangat tidak enak.
“Eh lo sudah bangun. Gue ganggu ya? Maaf ya,” ucap Tio dengan suara serak.
Nirina tersadar dari lamunan. Melihat Tio yang sudah membuka mata. Melihat ke arahnya. Tio sedang tidak baik-baik saja. Nirina dapat mengetahui dengan hanya melihat wajah lelaki itu.
“Lo baik-baik saja?” tanya Nirina.
Tio menaikkan alisnya. “Memangnya gue kenapa? Gue baik-baik saja kok,” jawab Tio dengan senyum. Nirina tahu, itu bohong. Senyum Tio bahkan tidak sampai matanya. Jika dilibat lebih dekat, mata Tio agak bengkak. Apa Tio menangis? Apa yang membuat Tio sampai menangis? Tio bukan tipe pria yang mudah menangis jika dengan hal sepele. Pasti ada sesuatu besar yang terjadi. Yang mungkin bersifat pribadi dan tidak mau dibagikan dengan Nirina. Nirina memakluminya kok.
Nirina mengajak Tio untuk sarapan terlebih dahulu. Tio menurut saja. Yang biasanya Tio akan semangat makan dan sampai menambah porsi, kali ini Tio terlihat enggan. Makan hanya sedikit. Ini yang makin meyakinkan Nirina bahwa ada sesuatu yang terjadi. Sayangnya Nirina tidak tahu apa.
“Mau cerita?” tanya Nirina saat keduanya sudah selesai makan. Sekarang sedang duduk di gazebo yang ada di belakang rumah. Menikmati semilir angin.
Tio menghela nafas panjang dan menghembuskan setelahnya. Tio tidak tahu, harus menceritakannya pada Nirina atau tidak. Hidup gadis itu sudah banyak masalah. Tio tidak ingin memberikan beban lagi.
“Kalau memang enggak ya enggak papa,” lanjut Nirina yang mengetahui keengganan Tio.
“Semalam, pulang dari sini, ada nomor yang mengabari bahwa bokap kecelakaan,” lirih Tio.
“Ya gue sih ya sebenarnya bodo amat lah. Mau dia kecelakaan mau dia kenapa kek. Itu bukan urusan gue. Saat dengar kabar itu bahkan gue baru tahu kalau ternyata bokap lagi di kota ini. Ya lo tahu kan hubungan gue sama bokap memang enggak kaya yang lain. Tapi miriplah sama kaya lo.” Tio memaksakan tawa di akhir kalimatnya. Benar, hubungan Tio dan ayahnya sama dengan hubungan Nirina dan papanya. Tidak baik-baik saja.
“Tapi ya enggak tahu bagaimana, gue sampai juga di rumah sakit. Gue benci, benci banget sama dia malah. Tapi saat gue lihat langsung kondisinya yang lemah, gue ikut sakit Na. Gue sedih. Gue takut bahwa dia nantinya enggak tertolong. Gue takut,” isak Tio mulai terdengar. Benar. Sebenci apa pun pada orang tua, pasti dalam hati paling dalam tetap menyayangi dan takut kehilangan. Nirina juga merasakan yang sama.
“Buat hidup saja dia harus ditunjang sama peralatan medis. Gue takut kalau tiba-tiba saja dia ninggalin gue. Ya walau selama ini juga sebenarnya dia sudah meninggalkan gue. Tapi dia masih ada di dunia yang sama kaya gue. Gue belum siap kalau harus benar-benar kehilangan dia Na.” Nirina membawa Tio ke dalam pelukannya. Nirina tahu ketakutan yang Tio rasakan.
“Sekarang yang perlu lo lakukan, doa terus sama Tuhan. Minta maaf juga sama bokap lo. Akui kalau lo pernah benci sama dia. Dan belajar buat memaafkan semuanya. Mungkin dengan maaf lo, bokap lo bisa bangun. Kan enggak ada yang tahu,” bisik Nirina. Nirina merasakan anggukkan Tio di bahunya. Tio masih menangis, karena baju Nirina terasa basah di sekitar bahu yang menjadi tempat Tio menyembunyikan wajahnya.
“Lo balik dulu sana. Gue tahu kalau lo butuh waktu buat sendiri,” ucap Nirina.
Tio menurut. Dia memang membutuhkan waktu sendiri. Tio tadi ke sini hanya membutuhkan teman curhat juga bahu untuk menangis. Sekarang Tio sudah agak lega karena membagikan kesedihannya dengan orang lain. Tio akan pulang dan nanti akan datang lagi ke rumah sakit. Tio ingin ada di samping papanya seperti dulu papanya yang selalu ada di samping Tio kecil saat sakit.
“Sekali lagi terima kasih, dan maaf. Terima kasih sudah mau mendengarkan keluh kesah gue. Maaf karena sudah mengganggu Lo di Sabtu pagi ini. Dan maaf buat semuanya,” ucap Tio. Setelah mendengar jawaban Nirina, Tio melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Jarak rumahnya dekat dan ini juga perumahan, tidak etis jika membawa kendaraan dengan kecepatan tinggi.
“Mungkin ini karma buat gue. Maaf Na, gue sekarang tahu rasanya. Ah, Lo pasti lebih sakit. Maafkan gue Na. Kalau bisa menebus dengan nyawa, gue rela biar perasaan bersalah gue hilang. Enggak enak hidup dengan dipenuhi rasa bersalah,” gumam Tio.
Nirina masuk lagi ke dalam rumah. Mendengar tadi Tio menangis, membuat Nirina juga takut. Nirina takut jika itu terjadi juga pada papanya. Nirina tidak mau kehilangan lagi. Apa Nirina harus mulai memaafkan papanya dan mulai berdamai dengan masa lalu? Setidaknya Nirina tidak mau menyesal seperti Tio saat ini. Nirina akan berusaha memperbaiki hubungannya dengan sang papa. Semoga semuanya berjalan dengan baik sesuai dengan keinginan Nirina.
“Semoga memang ini yang terbaik,” gumam Nirina.
Kalian yang masih memiliki orang tua, bersyukur dan jangan sampai membenci. Jangan hanya ingat kesalahan yang mereka perbuat. Itu tidak sebanding dengan pengorbanan mereka dulu demi menghidupi dan mendidik kalian. Jangan sampai menyesal saat semua sudah terlambat.