“Nek, aku berangkat dulu,” pamit Nirina. Ini hari ketiga Nirina berangkat sekolah pasca kecelakaan. Tidak ada yang spesial. Seperti hari-hari sebelumnya. Terlalu monoton dan membosankan.
“Hai, kok pesan gue enggak di balas sih?” tanya Tio saat berpapasan di gerbang sekolah. Nirina tidak memedulikannya. Terus berjalan meninggalkan Tio yang tanpa menyerah mengikuti Nirina dari belakang.
“Tapi nomor gue sudah di simpan kan?”
Nirina menghela nafas. Melirik tajam Tio yang tidak berhenti menatapnya. Tio yang mendapat tatapan itu seketika diam. Nirina memang benar-benar terganggu ternyata. Tio memilih diam namun tetap mengikuti Nirina dari belakang. Selain tujuan mereka yang sama, Tio ingin memastikan bahwa Nirina baik-baik saja sampai di kelas. Pak Ardi yang membawa barang bawaan Nirina berjalan terlebih dahulu. Supir pribadinya itu tadi berkata sedang terburu karena habis ini harus menghadiri acara anaknya. Pak Ardi juga izin untuk menggunakan mobil milik majikannya itu. Nirina mengizinkannya saja. Nirina sudah percaya dan kenal juga dengan keluarga pak Ardi.
“Lo benaran terganggu sama kehadiran gue ya?” tanya Tio lagi. Kali ini keduanya sudah tiba di dalam kelas. Tio berdiri di samping meja yang Nirina tempati.
“Ya,” jawab Nirina singkat, padat, dan jelas.
Tio menghela nafas. “Huh ya sudah,” pasrah Tio beranjak menuju tempat duduknya yang berada di belakang.
Nirina lega namun juga agak tidak enak melihat respons Tio yang seperti kecewa. Tapi Nirina kan mengucapkan berdasar fakta. Nirina memang terganggu akan kehadiran Tio yang tiga hari ini selalu di dekatnya. Tio seperti selalu ada di mana pun Nirina berada. Jangan bilang, Tio memang mengikutinya. Sengaja untuk menyelakainya? Atau ada tujuan lain yang Nirina tidak ketehui? Nirina bergidik ngeri membayangkannya. Nirina yang biasa sendiri, tiba-tiba didekati siswa yang sama sekali belum dikenalnya. Wajarkan jika pikirannya dipenuhi hal negatif? Melihat Tio yang meninggalkan dirinya melalui ekor mata, Nirina sedikit merasa bersalah. Apa Nirina keterlaluan?
Istirahat, seperti biasa Nirina memakan bekal yang dibawakan dari rumah. Terlalu monoton kan kehidupan sekolah Nirina. Tidak seperti teman lainnya. Nirina hanya diam saja di kursinya. Sebelum kecelakaan juga seperti ini sih. Nirina juga sebenarnya bosan dengan kehidupannya yang seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Nirina tidak pandai bergaul.
“Ini buat lo.” Nirina mendongak. Melihat siapa yang memberikannya sekotak s**u rasa coklat. Menghela nafas lelah saat pelakunya tidak lain adalah Tio.
Tio menggoyangkan kotak itu di depan wajah Nirina yang hanya menaikkan alisnya. Dan meletakkannya di atas meja karena menunggu Nirina menerima pun percuma. Tidak ada tanda-tanda gadis itu akan menerima pemberian Tio.
“Maaf sudah buat lo terganggu. Tapi sayangnya gue tetap bakal ganggu lo. Bye.” Tio meninggalkan Nirina. Lelaki itu keluar kelas lagi.
“Enggak jadi merasa bersalah deh,” gumam Nirina. Kembali melanjutkan makannya. Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.
Melewati berjam-jam di sekolah, akhirnya tiba waktunya untuk pulang. Siswa berhamburan keluar dari ruang kelas. Nirina memilih keluar terakhir. Sekarang Nirina sudah bisa membawa sendiri barang bawaannya. Jadi tidak perlu menunggu pak Ardi sampai menghampirinya di kelas. Kalau berangkat sih biasanya pak Ardi yang tidak tega bersikeras mengantarkan sampai kelas.
Nirina melihat, ternyata bukan hanya dirinya yang masih ada di kelas. Masih ada manusia menyebalkan bernama Tio. Nirina sudah menyiapkan diri untuk menghadapi pria itu. Sebentar lagi pasti akan menghampiri.
“Di jemput lagi?”
Benar saja kan. Tio menghampiri dan menjajarkan langkah mereka. Nirina tak merespons kehadiran Tio. Selagi tidak terlalu mengganggu, Nirina akan membiarkannya saja.
“Kenapa sih lo pendiam banget di kelas? Terus sendirian mulu,” tanya Tio yang merasa heran melihat Nirina selalu sendiri di kelas. Padahal Tio sendiri sudah tahu jawabannya. Mencari topik pembicaraan itu sulit.
“Lo enggak punya teman ya?” tebak Tio.
Nirina mengalihkan pandangnya pada Tio. Menatap tajam pria itu. “Berisik banget sih,” kesal Nirina. Hidup tenang Nirina saat di sekolah perlahan menghilang sejak kedatangan pria ini.
“Lo itu terlalu galak makanya enggak ada yang mau temenan sama lo.” Tio tidak mengidahkan kekesalan Nirina.
“Gue galak kek, enggak kek, bukan urusan lo. Mending lo urus saja hidup lo sendiri. Jangan peduliin hidup gue,” sentak Nirina. Nirina sudah tidak bisa menahan kekesalannya lagi. Muak dengan Tio yang terlalu mencampuri hidupnya.
Tio memilih diam. Membiarkan Nirina berjalan sendiri di depannya. Tio merutuk. Kalau sudah seperti ini, akan makin sulit mendekati Nirina. Tio salah strategi. Dan harus mulai mengubahnya agar tetap bisa di dekat Nirina. Ya, Tio memang berencana mendekati Nirina. Tio kasihan dengan Nirina yang selalu sendiri.
Nirina menghela nafas lega saat sudah berhasil mendudukkan dirinya di kursi mobil. Dengan segera mobil berjalan membelah jalanan untuk tiba di rumah. Nirina memejamkan matanya. Lelah dengan hari ini. Pelajaran yang banyak dan adanya Tio. Dengan mengatakan tadi, Nirina berharap Tio tidak merusuhinya lagi. Mau Nirina punya teman atau tidak, itu ya terserah Nirina. Kenapa juga Tio harus protes dan sok tahu. Jadi makin benci kan jadinya.
Tiba di rumah, Nirina langsung menuju tempat paling nyaman di rumah ini. Kamar. Nirina merebahkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamar yang dihiasi stiker bintang.
“Kalau lagi sendirian, pasti terbayang mama terus. Aku kangen sama mama,” gumam Nirina. Saat sendiri seperti ini, rasa rindu terhadap mamanya makin besar. Nirina ingin mencari kesibukan agar rindunya sedikit teralihkan.
***
Keesokan paginya, Nirina bingung karena pak Ardi yang tiba-tiba saja mengabari bahwa tidak bisa datang. Anak bungsunya mengalami kecelakaan. Nirina tidak mempermasalahkan pak Ardi yang tidak masuk kerja. Tapi Nirina bingung, nanti ke sekolah dengan siapa? Di rumah ini isinya perempuan yang tidak bisa mengendarai mobil. Nirina bisa, tapi keadaan kakinya yang seperti ini tidak akan mungkin bisa. Padahal Nirina sudah siap dengan seragamnya. Tinggal berangkat saja. Kalau memesan taksi, Nirina agak risi untuk meminta bantuan supir itu. Untuk naik dan turun dari kendaraan kan Nirina masih membutuhkan bantuan.
“Nek, apa aku enggak usah berangkat saja ya? Bolos satu hari,” tanya Nirina.
“Pesan taksi saja. Nanti nenek ikut antar,” saran nenek Anah.
“Lah nanti nenek capek dong bolak balik.”
Perbincangan keduanya terhenti karena bel rumah yang berbunyi. Anah bangkit, membukakan pintu untuk tamu. Huh, siapa tamu yang pagi-pagi sudah datang?
“Siapa nek?” tanya Nirina yang masih duduk di meja makan.
“Ini ada teman kamu. Katanya mau jemput. Ya sudah kebetulan kan ya,” jawab nenek Anah.
Nirina yang memang duduk membelakangi dengan segera memutar tubuhnya. Nirina tidak mempunyai teman. Ingatkan? Lalu siapa yang datang dan mengaku teman? Dan lagi katanya akan menjemput. Ada satu nama di kepala Nirina yang diduga kuat. Benar saja, wajah menyebalkan itu ada di hadapannya. Nirina kira Tio hanya akan merusuh di sekolah. Tapi di rumahnya juga. Tunggu, bagaimana Tio bisa tahu rumah Nirina sedangkan teman satu kelas lainnya saja tidak ada yang mengetahui? Hal ini makin membuat yakin bahwa Tio ini memang mengikutinya. Kalau tidak, mana mungkin bisa tahu rumahnya kan.
“Pagi,” sapa Tio dengan senyum lebar.
“Mau apa lagi sih lo,” dengus Laura.
“Nduk, enggak boleh seperti itu. Niat nak Tio kan baik. Mau jemput kamu,” ucap Anah menasihati.
Nirina mendengus. Tio akan makin di atas angin karena mendapat pembelaan dari nenek Anah. Pintar sekali mengambil hati nenek Anah.
“Ayo berangkat,” ajak Tio. Mau tidak mau Nirina mengiyakan.
Di dalam mobil, Nirina memicing menatap Tio penuh intimidasi. “Kenapa bisa tahu rumah gue?” tanya Nirina. Aneh saja tiba-tiba Tio datang ke rumahnya saat pak Ardi tidak bisa mengantarnya. Kebetulan yang luar biasa. Ini seperti terencana.
“Ya tahulah. Orang rumah gue juga dekat sini. Setiap pulang gue di belakang mobil lo. Jangan terlalu pendiam makanya jadi orang. Enggak tahukan punya tetangga ganteng kaya gue jadinya,” jawab Tio penuh percaya diri.
Nirina berpikir sejenak. Apa memang benar rumah Tio masih satu lingkungan dengan rumah Nirina? Kenapa Nirina tidak mengetahuinya? Dan juga, tidak pernah melihat wajah Tio jika keluar rumah. Harusnya kan sesekali melihat secara tidak sengaja. Apa Tio membohonginya?
“Gue enggak percaya sama lo,” dengus Nirina.
“Ya sudah kalau enggak percaya.”
“Kenapa selalu ada lo di saat gue butuh bantuan? Kenapa seolah-olah lo itu ada di sekitar gue terus. Lo enggak ngikutin gue kan?” tuding Nirina. Beberapa kali mendapat pertolongan dari Tio di saat yang tepat membuat Nirina berpikir seperti itu.
“Percaya diri banget lo. Memang gue enggak punya pekerjaan apa ngikutin lo,” cibir Tio.
Apa benar Nirina terlalu percaya diri? Dan sebenarnya Tio itu hanya kebetulan saja selalu berada di dekat Nirina saat gadis itu membutuhkan bantuan.
Nirina diam sampai tiba di tempat parkir sekolah. Tio dengan telaten menuntun Nirina turun dari mobil. Nirina yang memang membutuhkan bantuan hanya diam saja.
Keduanya berjalan beriringan menuju kelas. Banyak siswa yang menatap penasaran ke arah mereka. Nirina yang terkenal pendiam dan tidak memiliki teman sekarang berangkat bersama murid baru yang tampan. Nirina mengabaikannya. Berjalan terus seolah mereka semua tidak ada.
“Mereka itu pada bingung karena si pendiam bisa jalan bareng si tampan kaya gue,” bisik Tio.
Nirina hanya mendengus sebagai jawaban. Saat bersama Tio, Nirina jadi banyak mendengus saking kesalnya dengan Tio.
“Iya sama-sama,” sindir Tio.
Nirina memutar bola matanya malas. “Terima kasih sudah menjemput gue,” ucap Nirina.
“Enggak ikhlas banget,” cibir Tio mendengar nada bicara Nirina yang terkesan terpaksa.
“Terima kasih atas jemputan, tebengan, dan bantuannya. Sudah kan?” ucap Nirina mengulanginya. Kali ini dengan senyum lebar.
“Walaupun gue tahu itu masih terpaksa, tapi enggak papa deh gue terima. Iya sama-sama,” kata Tio.
Keduanya kembali pada tempat masing-masing. Pelajaran sebentar lagi di mulai. Mereka tidak tahu bahwa, secara tidak sadar jarak yang tadinya terbentang lebar mulai mengikis. Nirina sudah agak panjang menjawab ucapan Tio. Tidak seperti sebelumnya yang hanya menjawab seadanya. Nirina secara perlahan juga mulai menunjukkan beberapa ekspresi selain datar pada Tio. Mulai menerima keberadaan Tio di sekitarnya.
“Ayo,” ajak Tio. Mendekati meja Nirina untuk mengajak pulang bersama.
“Ayo ngapain?” tanya Nirina.
“Balik lah. Lo mau di sini terus?”
Nirina menurut. Pak Ardi masih belum bisa datang. Semoga saja besok sudah masuk jadi Nirina tidak perlu harus satu mobil dengan Tio. Berada di dekat Tio, Nirina harus mempunyai stok kesabaran ekstra. Tio selalu berhasil memancing amarahnya dengan ucapan atau perbuatan lelaki itu.
“Kenapa berhenti?” tanya Nirina yang bingung mobil Tio berhenti di depan rumah makan cepat saji.
“Ya mau makanlah. Gue lapar,” jawab Tio. Seenaknya mampir tanpa meminta persetujuan Nirina terlebih dahulu.
Nirina pasrah. Tio begitu keras kepala. Lagi pula, Nirina juga lapar. Bau ayam goreng dari dalam makin membuat rasa lapar Nirina menjadi-jadi.
“Tunggu bego.”
Setelah membantu Nirina turun, Tio berjalan lebih dulu meninggalkan Nirina di belakang. Kurang ajar sekali. Padahal lelaki itu tahu bahwa Nirina kesulitan berjalan. Ditambah adanya undakan tangga sebelum memasuki rumah makan.
“Biasanya enggak mau jalan dekat gue,” cibir Tio.
“Ada banyak tangga noh,” tunjuk Nirina dengan dagunya.
Tio menyadarinya. Memang sengaja meninggalkan Nirina sendiri. Ingin mengetahui reaksi gadis itu. Tio kira Nirina akan tetap diam. Gengsi Nirina kan terlalu besar. Tapi ternyata Nirina memintanya untuk menunggu. Ya walau dengan kata yang wow. Tio bahkan dipanggil bego. Nirina pertama kalinya orang yang memanggil itu. Mau marah, tapi tidak bisa. Tio tidak tega memarahi Nirina. Apalagi dengan keadaan gadis itu sekarang. Akhirnya Tio mundur dan berjalan beriringan dengan Nirina. Menuntun di setiap anak tangga sampai tiba di kursi kosong yang tersedia.
“Mau pesan apa?” tanya Tio.
“Samakan saja.”
Tio mengalah untuk memesan makanan. Kan Tio juga yang mengajak Nirina makan. Makanan datang. Keduanya menyantap dalam diam.
Selesai menghabiskan pesanan, mereka memutuskan untuk langsung pulang. Tio mengantarkan Nirina dengan selamat dan utuh sampai rumah. Dan langsung pamit untuk pulang.
“Terima kasih untuk hari ini,” ucap Nirina tulus.
Tio tersenyum. “Iya sama-sama. Lo cantik kalau senyum,” jawab Tio langsung meninggalkan rumah Nirina.
Nirina menahan senyumnya. Huh, merutuki diri kenapa bisa seperti ini. Padahal bisa saja Tio hanya iseng mengatakannya. Belum tentu benar juga.
“Sudah dong, please,” gaman Nirina. Meminta reaksi tubuhnya agar tidak berlebihan terhadap kata-kata Tio tadi.
Nirina masuk ke dalam rumah. Berusaha melupakan wajah Tio yang baru kali ini Nirina lihat secara jelas.