Bagian 13

1218 Kata
Pagi datang. Oh, ternyata belum sepenuhnya pagi juga. Karena ini masih jam tiga lebih dua puluh dini hari. Tak biasanya aku terjaga jam segini. Bahkan sholat subuh pun aku sering kesiangan.  Aku melihat ke arah ranjang Arkana. Anak itu masih tidur pulas.  Ingin rasanya aku tidur lagi. Tapi meski sudah aku pejamkan mata ini dalam waktu yang lama. Aku tetap tidak bisa tidur. Sepertinya aku memang ditakdirkan untuk bangun agak awal hari ini. Pasti karena aku sangat khawatir tentang operasi yang akan dijalani oleh Arkana hari ini. Aku duduk di sofa panjang ini. Aku ambil ponsel di sebelahku. Aku bingung harus melakukan apa. Kemudian aku diganggu oleh sebuah rasa manusiawi. Bernama hasrat ingin kencing. Aku pun segera berdiri, berjalan menuju kamar mandi. Selesai membuang air kecil dan membersihkan diri, aku segera keluar. Tanpa sebab yang pasti, pandanganku menyapu pada sebuah panah yang tergambar dalam stiker, ditempel di plafon kamar ini. Yaitu panah yang di bawahnya tertulis sebuah keterangan hanya dalam satu kata. Kiblat. Pihak rumah sakit sengaja memberi petunjuk itu supaya siapa pun yang berada di rumah sakit ini tidak bingung jika akan melakukan sholat. Mendadak aku merinding. Tidak, bukan karena aku melihat hantu. Tapi aku kini sudah tahu sebab pasti, kenapa aku dibangunkan lebih awal hari ini.  Bukan karena rasa khawatir dalam dadaku.  Melainkan Tuhan meminta aku untuk meminta. Saat ini. Di waktu sepertiga malam terakhir. Adalah sebuah waktu yang mustajab untuk memanjatkan pinta.  Sebagai salah satu usaha untuk mewujudkan apa yang aku inginkan. Yaitu ... keselamatan Arkana dalam menghadapi operasi hari ini. Jika diibaratkan, seperti anak panah yang menancap langsung pada objek. Doa apa pun yang dipanjatkan, akan mendapatkan jawaban dari sang pemilik kehidupan. Seketika aku kembali masuk ke dalam kamar mandi. Aku harus segera mengambil air wudhu. ~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~  Akhirnya adzan subuh berkumandang. Terdengar lirih di dalam kamar ini. Aku segera mengakhiri zikir yang aku lakukan pasca berdoa setelah sholat tahajud tadi.  Aku segera berdiri untuk melaksanakan sholat subuh. Aku sebenarnya tahu, laki - laki wajib untuk melakukan sholat wajib secara berjamaah. Tapi aku sering melakukan sholat sendirian saja. Entah sholatku akan diterima atau tidak. Selepas sholat, aku segera kembali berzikir dan kembali memanjatkan doa demi keselamatan Arkana nanti. Ketika aku tak sengaja menoleh, betapa kagetnya aku melihat Arkana sudah bangun. Kini anak itu sedang tersenyum kepadaku. "Kamu udah bangun ternyata. Pasti laper, ya. Kan kamu puasa dari kemarin." Aku langsung bicara ke padanya. Ia menggeleng. "Iya, aku udah bangun. Tapi bukan karena lapar. Karena suara adzan subuh."  "Kan adzan itu suaranya kecil banget."  "Tapi kedengaran, Pa."  Aku mengangguk mengerti, meski aku tidak yakin bahwa ia benar - benar bangun karena suara adzan tadi. "Ya udah. Kamu buruan sholat. Keburu habis waktunya."  "Lho, kan aku udah sholat." "Masa?" "Gimana, sih, Pa? Kan aku jadi makmumnya Papa tadi." "Lhah, kan kalau mau jadi makmum kudu nepok punggung imam." "Lhah kan aku belum boleh turun dari ranjang."  "Iya juga ya." "Aku langsung tayamum tadi. Terus baca niat. Terus sholat jadi maklum Papa." "Alhamdulillah. Berarti tadi Papa sholat jamaah. Pahalanya dobel - dobel." Mendengar jawabanku Arkana tertawa. "Ya udah. Papa udah selesai berdoa. Kamu lanjutin kalau masih mau berdoa." "Oke, Pa." Aku lihat Arkana segera menengadahkan tangannya. Ia berdoa dengan sungguh - sungguh. Pasti lah ia memanjatkan doa yang sama dengan aku. Meminta keselamatan dan keberhasilan dalam operasi nanti. Aku kemudian melenggang pergi keluar dari kamar. Biarkan Arkana berdoa sepuasnya. Aku ingin membeli kopi dulu di luar sebentar. Karena hari ini pasti akan sangat panjang. Maka harus diawali dengan kopi pagi, tanpa boleh terlambat. Karena kalau terlambat, bisa bikin kepala pusing tujuh keliling. ~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~  Ketika aku akhirnya kembali ke kamar Arkana ... pagi sudah cerah. Sisa kegelapan sudah hilang sama sekali.  Aku membuka pintu. Terkejut ketika tahu Arkana ternyata belum selesai berdoa. Ia masih nampak serius memanjatkan doa. Aku pun hanya segera duduk. Aku kini kepikiran penjual bubur ayam tadi. Aku sempat ingin beli tadi. Karena Arkana sangat suka bubur ayam. Tapi aku ingat, Arkana masih harus puasa sampai pasca operasi. Makanya aku tidak jad beli. Mungkin karena kehadiranku, Arkana akhirnya merasa sungkan. Lalu mengakhiri sesi berdoanya. "Lama amat doanya, Ar? Minta apa aja kamu?" Aku menggodanya. Sengaja supaya ia tidak tegang. Ia harus rileks untuk menghadapi operasi nanti. Arkana terkikik. "Ada deh, Pa. Biar aku sama Allah aja yang tahu." Aku mencebik. "Biar Papa tebak, ya."  Arkana lagi - lagi tertawa. "Emangnya Papa bisa?" "Ya bisa lah." "Ya udah, coba aja tebak." "Uhm ...." Aku berlagak berpikir keras. Padahal jawabannya sudah ada di luar kepala. "Kamu pasti minta diberi kesehatan." Ia mengangguk. "Terus apa lagi?" "Minta operasi diberi kelancaran dan kemudahan." Ia mengangguk. "Terus apa lagi?" "Minta jadi pacarnya Femila." Kali ini Arkana tertawa. "Terus apa lagi?" Aku berpikir betulan kali ini. "Emangnya masih ada doa lain." "Ada lah. Doa ini malah yang selalu aku panjatkan sejak dulu." Raut wajah Arkana mendadak melankolis. Kira - kira doa apa itu hingga membuat Arkana menjadi seperti itu. "Doa selamat dunia dan akhirat?" Aku masih coba terus menebak. "Kalau itu mah doa wajib, Pa. Semua juga berdoa gitu." Aku mengernyit. Kesal karena aku gagal menebak apa doanya. "Lalu doa apa yang belum Papa tebak?" Aku coba bertanya. Arkana tersenyum hambar. "Udah, biar aku sama Allah aja yang tahu, Pa." "Tapi Papa juga pengin tahu." Arkana kini menatapku. "Aku yakin, Papa nggak akan mau tahu tentang doa ini. Karena itu tentang hal yang tidak Papa suka." Petunjuk dari Arkana itu seakan menamparku. Aku mendadak teringat kembali aka perdebatanku dengan Ramli semalam.  "Memangnya apa yang tidak Papa suka?" Aku tetap mencoba memancingnya. Meski nyatanya aku memang sama sekali tidak suka dengan hal ini. Sebenernya aku begitu terkejut kala tahu ternyata ini sudah menjadi doa rutin Arkana setiap harinya. Aku benar - benar tak pernah tahu itu sebelumnya. Baru sekali ini. "Kalau aku jujur, aku takut Papa marah." Ia lanjut bicara. Aku berusaha tersenyum. "Papa nggak akan marah." "Aku meragukan itu. Maaf ya, Pa. Lebih baik nggak usah dibahas lagi." "Ayo Arkana ... katakan. Sebenernya Papa sudah tahu apa itu. Sejauh ini Papa hanya dengar dari orang - orang. Tapi Papa bersi keras bahwa kamu tidak seperti itu. Mungkin akan berbeda ceritanya jika kamu sendiri yang mengatakan. Mungkin Papa akan percaya." Arkana menunduk dalam. Dan kemudian mulai bicara. "Jika aku diberi keberuntungan, aku pengin banget ketemu lagi ...." Arkana nampak kesulitan mengatakan kelanjutannya. "Ketemu lagi sama siapa, Ar?" Rahangku kini mengeras. Sungguh untuk sekali saja aku tidak ingin tersulut emosi. Tuhan, tolong aku. Jangan buat aku marah. Tolong Tuhan. "Aku pengin ketemu lagi ... sama Mama." Hatiku langsung mencelos mendengarnya. Aku melihat air mata Arkana mengalir menuruni pelipisnya. Ya, tentu saja seorang anak merindukan ibunya. Terlebih sudah bertahun - tahun tidak bertemu. Tuhan ... bantu aku. Tolong jangan buat aku emosi sekali ini saja, ketika membahas tentang dia. Demi Arkana, Tuhan. "Mama kamu sudah punya kehidupannya sendiri, Ar." Namun justru itu kata - kata yang meluncur dari bibirku. Apa aku telah gagal mengontrol emosiku lagi? Ya, aku memang telah gagal. Dan begitu menyesal sesaat setelah mengatakan itu. Arkana tersenyum miris. "Aku tahu, Pa. Mama pasti sangat bahagia ya." Ia mencoba tetap tersenyum. Meski aku tahu itu berat untuknya. Dan hal itu semakin membuat aku menyesal karena lagi - lagi gagal mengontrol emosi. ~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~  T B C 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN