Pesta ulang tahunku di klub ternama di Bali ini baru saja dimulai 10 menit yang lalu. Suasana meriah dan musik kencang yang mengalun cepat, membuat para tamu tidak kuasa untuk menahan diri jatuh semakin dalam ke dalam keriuhan ini.
Selama beberapa menit ini pun, banyak tamu bergantian menghampiriku untuk memberikan selamat. Aku tidak dekat secara personal kepada semua tamu, tetapi aku mengenal mereka semua. Hari ini hari ulang tahunku yang ke-34 dan menjadi momentum semakin dekatnya waktuku dinobatkan menjadi pemilik JTV yang akan diserahkan oleh Papaku.
Rasa bangga dan puas kurasakan mengingat perjuanganku yang tidak sia-sia akan segera berbuah hasil. Aku ingin JTV semakin berkembang dan untuk itu aku harus terlibat di dalamnya sepenuhnya. Kini aku sudah menjabat sebagai CEO dan dibantu oleh John sebagai COO. Namun, kekuasaan penuh sebagai pemilik dan pemegang saham terbesar dari JTV adalah yang menjadi tujuan utamaku.
Aku ingin merayakan kebahagiaan ini juga dan meminta seorang pelayan mendekat untuk mengambil segelas minuman di nampannya. Namun si pelayan wanita dengan wajah yang sangat mempesona memilih gelas minuman yang akan diberikan padaku. Aku sempat terhanyut dalam sorot matanya yang hitam pekat dan besar, hingga kemudian sang pelayan menundukkan wajah lalu pergi begitu saja.
Aku kembali tertegun dan rasanya ingin memanggil kembali si pelayan menghadapku. Namun, rasa haus membuatku ingin segera meminum alkohol di dalam gelas tersebut. Tetapi lagi-lagi tertunda karena seseorang yang menepuk bahuku dari belakang.
“Hai Bro! Happy birthday to you!” ucap Mir, Direktur Operasional perusahaan obat ternama di Indonesia.
“Thanks Mir! Please enjoy the party!” jawabku sambil mengangkat gelas mencoba mendentingkan gelasku dan gelasnya.
Namun saat itulah aku menyadari bahwa gelas yang dipegang oleh Mir kosong. Aku mencoba mencari keberadaan pelayan disekitarku untuk mengantarkan gelas baru pada Mir. Sayangnya, aku tidak menemukan satu orang pelayan pun didekatku saat ini.
Mir yang sudah cukup mabuk pun mengambil gelas di tanganku.
“Pemeran utama sebaiknya mengalah. Kau tidak boleh terlalu banyak minum hari ini dude!” ucapnya dan menenggak habis langsung seluruh cairan di dalam gelas itu.
Aku sempat tertawa saat mendengar perkataan Mir barusan, sebelum akhirnya aku membeku terkejut. Mir mendadak jatuh tergeletak disisiku. Tubuhnya menggelepar dan tidak lama kemudian busa keluar dari mulutnya.
Seluruh bodyguard yang menjaga disekelilingku datang mendekat. Beberapa dari mereka menghubungi kontak pusat pertolongan pertama, beberapa lainnya mengelilingiku menjaga dari kemungkinan serangan mendadak lainnya.
Aku berucap kepada salah satu dari bodyguard-ku “Minuman itu diberikan untukku. Ada yang mencoba meracuniku. Segera geledah setiap orang di tempat ini!”.
Seketika itu juga, pengawalku memerintahkan untuk menutup seluruh akses keluar masuk. Setiap orang diminta tidak beranjak dari tempatnya hingga pemeriksa datang. Puluhan penjaga tambahan pun datang tidak lama kemudian untuk menggeledah setiap tamu yang ada di klub ini.
*****
Selama proses pemeriksaan dan penggeledahan dilakukan, aku telah dievakuasi ke salah satu ruang VIP di klub ini. Turut bersamaku dievakuasi juga John dan Livya. Keduanya adalah sahabatku sejak kecil, sehingga mereka tidak perlu ikut digeledah.
“Ric, kamu nggak apa-apa ‘kan?” tanya Livya sesaat setelah memasuki ruangan dan duduk di sisiku.
“Aku hampir saja meminum racun itu, jika saja Mir tidak datang dan menyapaku. Bagaimana dengan Mir? Apa dia terselamatkan?” tanyaku kemudian mengingat bahwa Mir bisa dibilang sebagai penyelamatku hari ini.
“Entahlah Ric. Belum ada kabar dari rumah sakit dan melihat kondisi Mir tadi, racun yang dimasukkan pelaku bukanlah main-mainan,” John menjelaskan sambil bergedik ngeri.
“Ya John! Tuhan masih memberi aku kesempatan hidup ternyata. Siapapun yang mencoba membunuhku harus segera ditemukan,” jawabanku kemudian nyaring dan tegas ingin pelaku segera ditemukan.
“Tuan, setelah dilakuan pemeriksaan kepada seluruh tamu dan juga rekaman CCTV yang tersedia, ada 5 orang yang dapat dicurigai sebagai tersangka,” penjelasan diberikan oleh kepala penjaga yang baru saja memasuki ruanganku.
“Siapa saja mereka?” tanya John mencoba mengambil alih proses penyelidikan. Aku pun mengapresiasinya, karena aku masih cukup shock melihat rekananku sendiri menggelepar karena racunnya yang harusnya ditujukan padaku.
“Ada 3 orang pria dan 2 orang wanita. Dua orang pria bertugas sebagai barista malam ini, sedangkan satu pria dan dua wanita lainnya bertugas sebagai pelayan,” kembali kepala penjaga itu melaporkan temuannya.
“Apa bukti-bukti yang mengarahkanmu pada kesimpulan ini?” akhirnya aku bertanya karena tidak ingin sampai ada kesalahan dalam menangkap si pelaku.
“Hanya mereka berlima yang memiliki akses pada gelas yang akhirnya diberikan pada Tuan,” jelasnya dan kemudian membuatku teringat pada pelayan yang memberikan gelas itu padaku. Apakah dia termasuk dalam 5 orang itu? Mungkinkah dia pelakunya?
“Bawa kelima orang itu ke sini sekarang!” perintahku kemudian.
*****
Aku menyaksikan lima orang yang dicurigai sebagai tersangka yang memasukkan racun ke minumanku digiring masuk. Kelimanya berada dalam posisi berlutut dengan kedua tangan terborgol di belakang tubuhnya.
Benar saja, aku menemukan si pelayan yang sangat menarik perhatianku tadi diantara mereka. Dia terlihat tenang dan sangat berbanding terbalik dengan seorang pelayan wanita lain di sisinya, yang sudah menangis tersedu-sedu.
“Saya bukan pelakunya Tuan. Mohon lepaskan saya!” isakan salah satu pelayan wanita itu memenuhi ruang yang tadinya sunyi ini.
Aku yang sedari tadi sibuk mengamati wajah kelima orang ini pun kemudian berhenti karena bertemu tatapan langsung dengan mata hitam pekat si pelayan wanita yang mempesona. Beberapa saat aku sempat terdiam, hingga akhirnya dehaman suara John menyadarkanku kembali ke alam nyata.
“Emm ... kita serahin mereka semua langsung ke polisi aja, gimana Ric?” tanya John.
“Nggak ... bawa mereka berlima ke Jakarta untuk aku interogasi satu per satu!” titahku kemudian pada kepala penjaga dan langsung diikutinya dengan segera mendirikan kembali lima orang itu untuk dibawa pergi.
Namun sebelum si pelayan wanita yang mempesonaku itu ikut dibawa, aku menghentikannya.
“Dia ... biarin tinggal dulu sebentar. Kalian semua keluar, aku mau berbicara dengannya, em untuk kebutuhan interogasi!” ucapku kemudian beralasan.
Setelah semua orang keluar dan hanya tinggal diriku berdua dengannya, aku berjalan mendekat di posisi dirinya berlutut. Aku berjongkok di hadapannya dan meraih nametag yang menempel di baju seragamnya, tepatnya di bagian d**a kirinya.
“Ayana Maylia? Itu nama lengkapmu? Siapa nama panggilanmu?” tanyaku sambil mengamati wajahnya yang membeku tidak ingin menjawab.
“Jawab aku! Atau kau mau aku melacak seluruh keluargamu hanya untuk menjawab siapa namamu dan nama panggilanmu? Aku yakin kau tak mau aku melakukannya, dear!” kembali aku memerintahnya untuk segera menjawab sambil sedikit mengancam keselamatan keluarganya.
“Namaku bukan Ayana,” akhirnya wanita itu menjawab. Suaranya serak dan rendah, astaga aku merasa tidak tenang setelah mendengarnya.
Namun aku juga terkejut karena wanita ini ternyata tidak menggunakan identitas sebenarnya untuk bekerja saat melayani acara ulang tahunku.
“Bukan namamu? Menarik! Kau tahu kan informasi ini malah akan memberatkanmu membuktikan dirimu bukan pelakunya?” tanyaku kembali.
Wanita itu kembali diam dan memilih tidak menanggapi pernyataanku barusan. Dia benar-benar berani menantangku.
“Jadi siapa namamu? Jika kau mau menjawab jujur pertanyaan ini, aku mungkin akan mempermudah proses interogasimu berikutnya. Kau tahu ‘kan integorasi tidak akan menyenangkan jika dilakukan oleh para penjagaku barusan?” kembali aku melontarkan penjelasanku untuk menyudutkannya agar memberi tahu namanya padaku.
“Sashi. Namaku Sashi,” akhirnya dia kembali membuka suaranya dan kini aku sudah mengetahui namanya.
“Hmmm ... Sashi ... baiklah ... Sampai bertemu di Jakarta, Sashi!” ucapku kemudian sebelum memanggil penjaga masuk dan membawanya juga ke Jakarta.
*****
“Ric, kenapa kamu tidak menyerahkan kasus ini ke kepolisian saja?” tanya Papa sesaat setela aku menghadapnya setelah mendarat dari Bali pagi ini.
Kejadian kemarin malam di pesta ulang tahunku memang sudah sampai di telinga Papa juga. Beberapa berita yang tidak terkonfirmasi pun sudah muncul di beberapa media, kecuali JTV. Aku sudah memerintahkan agar media di bawah naungan JTV untuk fokus pada berita perayaan ulang tahunku saja, tanpa mencakup kehebohan yang terjadi di dalamnya.
Hal ini kulakukan untuk tidak menimbulkan kegaduhan yang lebih besar dan malah akan berakibat negatif pada perusahaan. Melibatkan kepolisian pun kunilai bukan waktu yang tepat sekarang. Aku ingin menemukan dahulu otak rencana pembunuhan, baru menyerahkan kasus ke kepolisian.
Jika langsung menyerahkannya sekarang, aku khawatir hanya pelaksana saja yang akan dihukum tetapi tidak dengan otak yang merencanakannya.
“Nanti Pa. Aku harus cari tahu dalang di balik ini semua dahulu dari beberapa tawanan yang sudah kubawa ke sini sekarang,” aku menjelaskan kondisi ini pada Papa.
“Di mana kamu menahan mereka, Ric?” tanya Papa padaku.
“Bangunan belakang Pa. Aku akan memulai interogasiku pada mereka hari ini!” aku menjelaskannya kemudian.
“Setiap orang akan kuuji dengan beberapa cara. Hari ini aku akan menguji mereka dengan memberikan sebuah telepon genggam. Aku akan membiarkan mereka menelepon siapa saja dalam waktu 5 menit. Semua yang mereka lakukan di dalam ruangan mereka masing-masing akan terekam dan dari situ aku akan mencoba menemukan pelakunya,” jelasku.
“Apa yang coba kamu cari tahu dari siapa yang mereka hubungi?” tanya Papa penasaran.
“Akan kuberitahu nanti Pa. Sekarang aku harus menuju kantor dulu, ada penandatanganan perpanjangan kontrak Livya sebagai brand ambassador kita dulu. Sampai ketemu lagi nanti, Pa!” pamitku pergi meninggalkan rumah menuju kantor.
Sesampainya di kantor, aku langsung disambut oleh Livya yang memeluk tubuhku erat. Aku sebenarnya risih dengan perlakuan ini, khususnya Livya seringkali tidak kenal tempat bahkan ketika dihadapan banyak media seperti ini.
“Ric!” sapanya sambil mengecup pipiku.
“Liv, banyak media please behave!” bisikku.
“Biarin sih, mereka juga udah pada tahu kok kita kenal dari kecil,” jawab Livya kemudian sambil menarikku ke meja di mana penandatanganan akan dilakukan.
“John belum datang?” tanyaku saat tidak menemukan John disekelilingku.
“Tuan John masih di Bali untuk memastikan kondisi Tuan Mir,” salah satu penjagaku menjawab dan aku pun mengangguk untuk menandakan aku sudah memahami penjelasannya.
Tidak berapa lama proses penandatanganan selesai dan aku sudah tidak sabar ingin melaksanakan rencana interogasiku. Secepat kilat aku pun beranjak pergi dan menuju lokasi penawanan kelima terduga tersangka.
*****
Aku sudah memasuki 4 ruang tersangka yang pertama dan memberikan mereka kesempatan yang sama, menelepon siapapun dalam waktu 5 menit. Sejauh ini, keempat orang itu tidak menunjukkan hal-hal yang mencurigakan.
Hingga akhirnya aku memasuki ruang kelima, di mana Sashi yang mempesona berada. Aku memberikan telepon genggam padanya, dan mendapati wajahnya yang bertanya tanpa bersuara.
“Telepon siapapun yang kau mau dalam waktu 5 menit!” perintahku.
Sashi terlihat menatap kosong pada telepon genggam itu sebentar, sebelum kemudian memberikannya padaku kembali.
“Kenapa? Kamu tidak ingin menelepon siapapun? Atau kamu tidak memiliki siapapun untuk ditelepon?” tanyaku kembali.
“Aku tidak ingin menelepon siapapun,” jawabnya singkat.
“Boleh aku dengar alasannya?” tanyaku penasaran sekaligus juga mencoba menginterogasi sebenarnya.
“Aku tidak ingin membuat orang yang kutelepon malah menjadi semakin khawatir,” jelasnya dan membuatku malah bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang dia tidak mau menjadi khawatir. Kekasihnya ‘kah?
“Siapa?” tanyaku singkat.
“Maksudnya?” tanyanya balik.
“Siapa yang tidak ingin kau buat menjadi khawatir?” ulangku bertanya lebih lengkap.
“Oh ... orangtuaku,” jawabnya dan entah mengapa aku lega. Aku lega bukan kekasih yang ingin dihubunginya. Artinya, ada kemungkinan dia tidak memiliki kekasih.
“Bukankah akan lebih baik jika kau mengabari mereka? Memberi kabar kau baik-baik saja, misalnya?” tanyaku.
“Lalu bagaimana jika mereka bertanya di mana aku berada? Apa aku harus menjawab aku sedang ditawan di Jakarta, karena diduga mencoba meracuni seorang CEO perusahaan televisi besar di Indonesia?” suara Sashi yang bertanya cukup panjang ini adalah pertama kalinya aku dengar. Suaranya ternyata sangat merdu.
“Hahaha ... kau pintar bersarkasme ternyata!” aku tidak kuasa menahan tawa sebagai respon pertanyaan sinisnya barusan.
“Kapan kau akan membebaskan kami?” tanyanya lagi.
“Setelah aku menemukan siapa pelakunya di antara kalian,” jawabku pasti.
“Aku bukan pelakunya! Lepaskan aku! Aku harus melanjutkan kuliahku!” keluhnya. Akhirnya untuk pertama kali aku bisa melihat raut lain di wajahnya yang sejak pertama kali bertemu selalu dingin itu.
Tapi, apa maksudnya tadi? Dia harus melanjjutkan kuliah? Jadi dia masih kuliah? Sebenarnya berapa umur wanita ini?
“Kau masih kuliah? Berapa umurmu? Jangan bilang kau masih di bawah umur, lantas kenapa kau bisa masuk ke klub malam itu?” tanyaku beruntun.
“Aku tidak di bawah umur. Umurku 21 tahun dan ya aku masih kuliah karena aku masih harus menyelesaikan tugas akhirku!” jelasnya dan kembali membuatku lega. Kali ini lega karena selain dia tidak punya kekasih tetapi juga karena dia ternyata sudah berusia legal untuk dijadikan kekasih.
Aku tersadar mendadak dari pikiran anehku barusan. Bagaimana mungkin aku bisa berakhir memikirkan mengenai hal itu. Lalu mengapa aku membiarkan waktu interogasiku habis lebih lama dengan wanita ini? Sedangkan dengan yang lainnya, aku hanya maksimal berada 6 menit di ruangan yang sama.
“Aku mewajibkanmu menelepon siapa saja! Kau tidak memiliki pilihan untuk tidak menelepon. Cepatlah!” akhirnya aku menyadarkan diri dan kembali melanjutkan rencana yang sudah kususun.
Bersambung