Janda 3

1498 Kata
Tak terasa hari terus beranjak menuju sore. Dhena dan Wildan pun sudah bersiap-siap untuk berangkat. Namun baru saja mereka akan berjalan menuju garasi. Tiba-tiba Noviar datang seorang diri dengan naik ojek online.. "Hei, tumben lu naik ojol. Kemana mobil lu, digadaikan? Hehehehe." Seru Dhena menyambut kedatangan Noviar yang wajahnya ditekuk tak bersahabat. Sekilas Dhena melihat wajah Wildan yang berubah tegang dan merah padam saat bertatapan dengan Noviar. "Berisik lu!" sergah Noviar setelah dekat dengan Dhena, dan tanpa basa-basi, setelah mendelikkan mata penuh kebencian pada Wildan, Noviar langsung menarik tangan Dhena dan menyeretnya kembali masuk ke rumah. "Lu kemana aja, Nov, kata Mas Bayu pergi ke Semarang, bener gak sih!" Dhena terus bertanya sambil berjalan mengikuti Noviar yang terus membawanya masuk ke ruangan tengah. "Eh kenapa jalan lu singkang? Kayak orang habis ngelahirin, aja?" Dhena mengernyitkan dahinya seraya menatap sahabatnya yang berdiri dekat sofa marun. "Berisik lu. Gue terjatuh di toilet hotel tadi, p****t gue sakit banget," jawab Noviar asal. "Hahahah, untung cuma p****t lu doang yang sakit. Biasanya orang jatuh di kamar mandi kan langsung stroke, hehehe." Dhena terkekeh. "Sialan lu! Eh Dhena kenapa lu bawa-bawa gigolo ke rumah?" Noviar berkacak pinggang. "Gigolo? Siapa yang gigolo?" "Itu yang di depan, siapa?" "Hah! Itu Wildan, sopir pribadi gue yang baru, ganteng kan? Hehehehe." "Hah! Sopir baru, emang Yoga kemana?" "Gak tahu, katanya mau kerja di Jakarta." "Terus lu cari gantinya dengan si gigolo itu? Yoga masih ada Dhen. Kemarin sore gue ketemu sama dia. Besok juga dia masuk kerja lagi sama lu." "Ya, biarin aja, Yoga kan udah biasa gitu. Sebentar pergi, entar juga nonghol sendiri, tapi emang gue udah janjian mau ke Bandung sama Wildan." "Iya, tapi gak berarti lu langsung cari ganti. Mana diganti sama gigolo lagi!" "Hei, perasaan semua brondong ganteng yang kenal sama gue, di mata lu kok jadi gigolo semua? Emang menurut lu kriteria gigolo itu gimana, Nov?" Dhena menyilangkan kedua tangannya di d**a. Sejujurnya dia mulai curiga, mengapa Noviar selalu menuduh semua lelaki itu adalah gigolo. "Oh God. Dhena lu tahu apa tentang dunia ini? yang lu bilang sopir ganteng itu, si Wildan ojol kan?" Noviar sedikit menurunkan intonasi suaranya. "Yes. Lu kenal Wildan juga?" Dhena melongo. "Hadeuh Dhena. Siapa yang gak kenal si Wildan Bangla? Gigolo yang berpura-pura jadi ojol gadungan!" Noviar menggerakkan kedua tangannya. "Maksud lo?" Dhena melangkah mendekati Noviar dengan mimik wajah terkejut. "Dhena. Si Wildan itu cuma pura-pura jadi ojol, aslinya dia cowok bayaran. Dia itu gigolo yang biasa dipake siapapun!" "Oh my God. Nov!" Dhena terbelalak, "kenapa lu kenal dengan semua gigolo di dunia ini? Kenapa lu menuduh semua cowok itu gigolo? Apakah lu pemakai jasa mereka?" Dhena bicara kesal. Kedua matanya tajam menatap Noviar yang mencibir. "Astaga Dhena! Gue masih waras, masih punya iman. Gue punya suami yang gak kurang suatu apapun. Buat apa gue pake jasa gigolo begitu?" Noviar menahan napasnya yang tersengal. "Lu kenal gue bukan sehari dua hari. Sejak kapan gue doyan laki-laki gak bermutu begitu? Daripada duit gue dipakai buat bayar gigolo, mendingan ikut saran papa, jadi donatur salah satu panti asuhan atau sejenisnya. Najis amat gue harus main sama brondong penghisap duit wanita!" tegas Noviar. "lagian lu itu aneh, Nov. Kenapa semua cowok yang dekat sama gue, selalu saja salah dan gak bermutu di mata lu?" sergah Dhena. "Dhena, lu itu teman gue. Saat ini, di sini gue berdiri sebagai saudara kandung lu. Gue capek, gue terluka dan gue geram dengan hidup lu yang terus-terusan disakiti cowok b******k. Lu udah tahu kan gimana brengseknya si Rayan dan si Rizal? Sejak dulu gue gak suka sama mereka dan kenyataannya apa? mereka memang b******k kan?" Noviar bela diri. Dhena terdiam, hatinya membenarkan ucapan sahabatnya. "Dhen, please hargailah Andrean. Dia benar-benar tulus mencintai lu. Dia merelakan segalanya buat lu. Mana ada cowok yang berani berkorban habis-habisan buat lu." Dhena kembali menatap tajam mata Noviar yang sendu. "Di saat cowok lain berniat memoroti harta lu, Andrean datang dengan tujuan sebaliknya. Dia setia menunggu lu sejak lama. Dia rela tak menikah demi lu." Noviar makin bersemangat. "Lu yakin Andrean belum nikah?" Dhena bertanya ragu. "Dhen, gue udah dua kali ke rumahnya. Sekedar menyelidiki kehidupan dia yang terkini. Dan kenyataan dia memang masih single. Gua bahkan bisa menjamin kalau dia masih perjaka tingting. Berkali-kali dia ngomong sama gue, siap menikahi lu kapan saja. Siap menerima lu apa adanya, dia bahkan siap pindah agama. Pengorbanan apalagi yang lu ragukan dari dia?" Noviar memegangi kedua bahu Dhena. "Gue masih ragu dengan Andrean, Nov!" ucap Dhena lirih. "Allahu Akbar, Dhena! Terus lu masih tetep ngejar-ngejar si Rizal, cowok miskin super b******k itu? Lu mengabaikan sebongkah emas demi mendapatkan sebatang tembaga yang kucel? Andrean rela mengorbankan segalanya. Sedangkan si Rizal bisa apa? Dimana logika lu, Dhen?" Noviar menggoyang-goyangkan bahu Dhena, untuk menyadarkannya dari pengaruh cinta sang Rizal. "sejujurnya gue masih mencintai Rizal, Nov!" Dhena kembali menjawab lirih dan matanya mulai berkaca-kaca. "Dhen, kenapa hidup lu hanya dihabiskan untuk mengejar lelaki yang gak jelas seperti si Rizal itu? Semua brondong baik sama elu, hanya demi mengincar harta lu! Mereka mau numpang hidup dari lu! Fasilitas yang mereka dapat dari lu, nantinya akan mereka pakai buat foya-foya dengan cewek seusianya. Mereka pasti selingkuh dari elu Dhen. Sedangkan Andrean? Sudah terbukti dia setia sama lu." "Terus gue mesti gimana, Nov?" Noviar segera memeluk erat tubuh Dhena. "Dhen, kita bersama-sama bukan baru hitungan jam atau hari, tapi sudah tahunan. Kita selalu bersama melewati suka dan duka. Kita menangis bersama ketika salah seorang diantara kita terluka. Kita tertawa bersama jika salah seroang diantara kita bahagia. Kita bahkan nyaris tak butuh orang lain dalam persahabatan, karena kita sudah bisa saling melengkapi satu sama lain." Noviar menciumi kening dan pipi Dhena yang memeluknya erat. "Gue emang anak orang miskin. Kedua orang tua gue udah tiada. Ketiga adik gue udah berkeluarga. Mereka sibuk dengan kehidupannya masing-masing. Kami bahkan jarang berjumpa." Noviar menyeka air mata Dhena yang sedikit mengalir di pipinya. "Tapi.. gue gak pernah merasa sendiri. Gue selalu bahagia karena gue punya lu dan keluarga besar lu. Gue gak pernah merasa jadi orang lain dan merasa menjadi manusia paling beruntung berada di antara kalian. Sampai kapan pun gue akan tetap menjadi bagian dari keluarga kalian." Noviar pun menyeka air matanya. "Kecintaan gue sama keluarga lu, bukan karena papa memberi warisan buat Mas Bayu dan Gue, harta bisa kami cari sendiri. Tapi kenyamanan, ketenangan dan penghargaan serta keharmonisan hubungan kita, itu yang tak mungkin gue dapatkan dari siapapun. Dan tak mungkin gue tuker dengan apapun." Noviar kembali mencium pipi Dhena yang sembab. "Dan... dan.. dan gue merasa tidak adil jika kebahagiaan itu hanya gue yang merasakannya. Gue ingin, elu pun sama seperti gue. Merasakan nikmatnya memiliki keluarga kecil bahagia, harmonis dan sejahtera seperti keluarga gue." "Gue juga kadang iri lihat keluarga lu, Nov. Gua sering bermimpi bisa memiliki kehidupan yang bahagia seperti pasangan lain. Gue gak peduli dengan harta kekayaan, gue rela hidup sederhana asal bisa bahagia." "Nah, Andrean lah yang akan mewujudkan mimpi-mimpi besar lu itu, Dhen." "Tapi gue belum bisa mencintai Andrean, Nov." "Dhena, Sayang. Lu pasti inget perjalanan rumah tangga gue dengan Mas Bayu. Walau pada awalnya Mas Bayu menikahi gue demi membahagiakan dan menyenangkan hati papa dan Kak Adit, tapi akhirnya dia bisa menjadi suami yang terbaik buat gue. Sekaligus ayah yang bertanggung jawab untuk anak-anak gue." Noviar kembali tercekat, entah mengapa kalimat yang diucapkannya, terasa melukai perasaannya sendiri. "Iya, Nov, gue salut sama perjuangan dan pengorbanan lu." Noviar tersenyum lembut. "Sayang, lupakan si Rizal, si Wildan, atau siapapun para lelaki yang tak bermutu itu. Kembalilah pada Andrean. Dia masa depan lu, dan sumber segala kebahagiaan lu yang sesungguhnya. Andrean lah yang terbaik buat lu. Percayalah sama gue, Dhen!" ucapan Noviar mengandung magis yang sulit untuk diabaikan Dhena. Tak ada alasan bagi Dhena untuk tidak percaya pada semua ucapan Noviar yang selalu tulus. Satu-satunya sahabat yang tak pernah mengecewakannya walau setitik. "Nov, lu bener-bener sahabat terbaik gue. Gue gak tahu kalau gue gak kenal sama lu." Suara Dhena terdengar sedikit parau. "Itu pula yang gue rasakan, Dhen. Gue gak tahu apa jadinya hidup gue, kalau dulu gak kenal dengan lu. Mahasiswi super tomboy yang bahkan gue pernah menduga kalau lu itu seorang lesbian." "Sialan lu!" "Dan ternyata, lu adalah Malaikat tak bersayap yang menyusup pada tubuh seorang wanita cantik jelita yang sangat tegar dan gagah perkasa, bernama Dhena Malinda Prawira. I love you." "Nov, beri gua waktu buat melupakan Rizal, oke. Gue mau istirahat di Bandung." "Iya, tapi gak sama si Wildan juga, Dhen. Gimana kalau sama Andrean?" "Gue sedang ingin sendiri dulu. Wildan hanya nganter sampai Bandung, setelah itu dia akan menemui keluarganya." "Oke, untuk kali ini gue izinin. Tapi, jangan sekali kali main api dengan si Wildan. Gue gak rela kalau gigolo itu masuk dan merusak tatanan hidup lu. Tetap teguh dan segera gapai mimpi-mimpi besar bersama Andrean, oke." "Gue janji. Gue berangkat sekarang ya, Nov. Mumpung masih sore." "Dhen, selamanya gue bakal ada buat lu. Hati-hati di jalan. Salam buat papa dan mama. Gue pasti akan nyusul, kangen juga sama mereka." "Oke, Nov." ^^^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN