Mas Adji melangkah mendekatiku. Ia pun memegang kedua lenganku sambil menatap lirih.
"Ayo kita pulang. Mas ingin menjelaskan semuanya padamu dan Mas ingin kita mencari solusi bersama. Tolong ikutlah dengan Mas," pinta mas Adji sambil menatapku tak berkedip.
Aku membuang nafas kasar lalu memalingkan wajah ke samping, enggan menatap wajah yang membuatku semakin merasa mual.
"Tolong ikut Mas pulang, Re. Mas ingin mengatakan sesuatu padamu ini tentang kita dan tentang pernikahan kita."
Mas Adji masih mencoba membujukku, meski semua itu sia-sia.
Aku menghela nafas panjang lalu menatap suamiku. Bulir bening belum berhenti mengalir dari kedua mataku, seperti tak ada habis-habisnya.
"Aku sudah mendengarnya Mas, kamu ingin aku menerima pernikahanmu itu kan? Dan kamu ingin aku menerima istrimu beserta anakmu. Iya kan?"
Suaraku terdengar parau menahan tangisan yang semakin sulit terbendung lagi.
Mas Adji menundukkan kepala lalu mengangguk pelan. "Kita bicarakan semua itu di rumah ya," katanya dengan suara lembut.
Aku mengusap air mata dengan kasar sambil tersenyum lirih. "Aku tidak mau dimadu! Sampai kapanpun jawabanku akan tetap sama. Aku tidak mau diduakan, lebih baik Mas ceraikan aku sekarang dan bawa wanita itu. Hiduplah bersama wanita itu dan lupakan aku!"
Aku berbicara lantang seolah sudah benar-benar merelakan suamiku, meski dalam hati aku tidak pernah ikhlas melepas Mas Adji dan membiarkan Mas Adji hidup bersama wanita lain.
Setelah mengatakan itu, aku pun melepas kedua tangan Mas Adji dari lenganku. "Aku ingin pulang ke Surabaya, cepat urus surat perceraian kita!" tegasku.
Mas Adji menggelengkan kepala berkali-kali. "Mas tidak akan menceraikanmu. Kita bisa menyelesaikan semua ini dengan kepala dingin, tidak perlu bercerai. Sampai kapanpun Mas tidak akan menceraikanmu karena Mas sangat mencintaimu Re."
Aku tertawa getir, "Cinta? Setelah kamu tidur dengan wanita lain, bahkan menghamili wanita itu, kamu masih bisa mengatakan kalau kamu cinta sama aku? Di mana letak hatimu Mas? Apa kamu masih memilikinya?"
Aku menekan d**a Mas Adji menggunakan jari telunjuk. "Di mana hatimu? Apa masih ada di sini? Aku ragu kamu masih memilikinya!"
Mas Adji kembali memegang kedua lenganku lalu memelukku erat. Ia pun menangis pilu sambil mengecup pundakku dengan lembut.
"Maafkan Mas, Re, Mas menyesal, tapi semua ini sudah terjadi. Mas tidak mungkin bisa mengembalikan semuanya seperti awal lagi. Mas tahu Mas salah, Mas sudah berdosa sama kamu, lalu apa yang bisa Mas lakukan agar kamu mau memaafkan Mas? Mas tidak mau bercerai."
Ucapan Mas Adji semakin menusuk hatiku, rasanya sangat sakit lebih sakit daripada luka sayatan pisau.
"Mas tidak akan menceraikanmu, Sayang. Mas mencintaimu, kamu tahu itu kan? Mas tidak sanggup hidup tanpamu. Mas mohon, jangan katakan cerai lagi," pinta Mas Adji memohon.
'Ya Allah, kenapa semua ini harus terjadi di dalam rumah tangga ku? Kenapa harus Mas Adji? Lelaki yang aku cintai dengan sepenuh hati, bahkan lelaki yang aku pikir akan menjadi pendamping hidupku hingga di akhirat nanti, ternyata hanya lelaki b******k yang tega mengkhianati cinta suci kami.'
Aku menghela napas kian panjang dan lirih, lalu melepas pelukan suamiku.
"Pulanglah Mas, beri aku waktu untuk berpikir. Aku ingin tidur di sini malam ini. Aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini," ucapku pelan.
"Tolong jangan meminta untuk bercerai, karena Mas tidak akan menceraikanmu," ucap Mas Adji lalu berjalan meninggalkanku.
Aku hanya diam sambil menatap punggung Mas Adji yang perlahan hilang dari pandangan.
Mas Adji kembali pulang ke rumah kami, dan aku pun terduduk lemas di depan pintu kamar.
Arin berjongkok, membantuku berdiri lalu membawaku ke kamar.
"Kenapa semua ini terjadi? Katakan kalau ini hanya mimpi, tolong katakan, Rin. Aku ngga sanggup menjalani hidup ini lagi. Kamu tahu kan, cuma Mas Adji yang aku punya di sini, bahkan di dunia ini. Aku hanya anak yatim piatu, yang tidak memiliki siapapun untuk menjadi sandaran."
Arin memelukku erat, menenangkanku yang sedang rapuh.
"Aku ngga sanggup hidup lagi Rin, Aku ingin menyusul kedua orang tuaku aja."
"Mbak, jangan bicara begitu. Aku yakin, kelak Mbak akan merasakan kebahagiaan yang sebenarnya."
"Aku ngga punya siapa-siapa di dunia ini Rin, satu-satunya orang berharga yang aku miliki hanya Mas Adji, tapi kenapa dia tega mengkhianatiku?"
Aku terdiam sejenak, merasakan mual yang semakin mengaduk perut.
Tak lama, aku pun berlari keluar kamar menuju kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi lambungku.
Arin berjalan cepat mengikutiku lalu berdiri di dekat pintu kamar mandi yang memang tidak aku tutup.
"Sejak kapan Mbak Rere muntah muntah begini?" tanya Arin.