Bab.6 Hadiah Dari Pak Boss

1381 Kata
Mara seperti kena mental setelah mendapat balasan frontal untuk mulutnya yang keceplosan menyinggung soal bosnya gay. Aryan kembali menyetir dengan menahan geli melihat gadis di sampingnya kicep, tidak berani berkutik lagi. Bukan maksudnya kurang ajar ke Mara, tapi harus diberi efek jera supaya lain kali lebih bisa mengontrol ucapannya. Hingga kemudian, dia kembali bersuara setelah Aryan berbelok ke arah mall. “Bapak mau belanja?” “Hm,” gumam Aryan mengangguk mengurangi kecepatan mobilnya saat masuk ke area parkir. “Agak malam sedikit sampai kost nggak apa-apa kan? Hanya sebentar kok,” tanyanya ke Mara. “Nggak apa-apa,” jawab Mara menggeleng. Kelar dengan urusan parkir, Aryan bergegas masuk dengan Mara mengekor di belakangnya. Sudah mendekati pukul sembilan malam, namun mall masih tampak ramai. Di lift yang tidak begitu besar, beberapa orang pengunjung berdiri agak berjubel. Mara yang kecil kurus semakin terpepet di pojok, nyaris menempel dengan bosnya yang berdiri di sampingnya. Saat di lantai dua lift kembali berhenti, pria di depan Mara tiba-tiba saja mundur karena ada pengunjung yang masuk. Sebelum sempat Mara kena tubruk, Aryan lebih dulu meraih tangan gadis itu dan menariknya merapat di belakang punggungnya. Perut Mara sampai mulas merasakan tangannya digenggam erat oleh bosnya. Jantungnya saja masih belum normal gara-gara diajak membahas soal ranjang di mobil tadi. Sekarang malah harus menempel di punggung kokoh Aryan, menghirup wangi parfum bercampur keringat dan merasakan genggaman hangat jemarinya. Sumpah, dengkul Mara sampai lemas rasanya. “Ayo!” ucap Aryan menggandeng Mara keluar saat lift berhenti di lantai lima, dengan posisi dia di depan untuk membuka jalan. Namun, setelah sampai luar pun nyatanya Aryan lupa melepaskan genggamannya. Mara tidak fokus lagi kemana dia mau dibawa. Hanya bungkam menatap tangan besar bosnya yang seperti mengalirkan setrum, hingga membuat otaknya blank tidak bisa untuk berpikir. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Suara sapaan itu baru menyadarkan Mara, kalau mereka sudah berada di toko ponsel yang harganya saja bikin mual itu. “Saya mau yang model itu!” tunjuk Aryan ke ponsel model terbaru. “Bapak mau yang warna apa?” tanya pegawai itu, tapi Aryan justru menoleh ke Mara. “Kamu mau yang warna apa?” “Kok saya? Kan Bapak yang beli?” sahut Mara bingung apa mau bosnya sebenarnya. “Cepetan pilih! Aku masih ada pekerjaan setelah ini!” ucapnya tidak sabaran. Mara tidak membantah lagi. Matanya mengernyit menatap gambar ponsel dengar beberapa warna yang disodorkan pegawai itu. Padahal bosnya sudah punya ponsel model yang sama dengan warna hitam. “Putih,” jawab Mara karena dia memang suka warna itu. “Saya ambil yang warna putih. Tolong, sekalian ajari dia bagaimana pakainya!” ucap Aryan sontak membuat Mara menoleh kaget. “Maksud Bapak ponselnya buat saya?” tanyanya bingung. “Kenapa? Tidak mau?” sahut Aryan ingin tertawa melihat raut lucu Mara. “Nggak usah, ini terlalu mahal. Besok saya serviskan saja dulu ponsel yang tadi, siapa tahu masih bisa dibenerin. Kalau tidak bisa, saya masih punya tabungan buat beli sendiri.” tolak Mara, tapi bosnya tetap bersikeras membelinya. “Ponselmu kan rusak gara-gara aku. Jangan sampai karena hal sepele begini, aku jadi ketiban sial terus kamu maki dalam hati.” “Nggak lah! Saya orangnya baik, tidak pendendam seperti Bapak.” ujar Mara menggeleng. Aryan tertawa terkekeh menonyor kening Mara. Sudah dibelikan ponsel baru, malah masih mengoloknya pria pendendam. “Anggap saja itu bonus lembur kamu hari ini. Sekarang kamu kan asistennya Dila, berarti juga asistenku. Aku tidak mau saat butuh, kamunya tidak bisa dihubungi. Paham!” terang Aryan. “Paham, tapi tetap saja itu berlebihan.” sahut Mara menatap ponsel yang sudah dibongkar dari kardusnya itu. “Ponsel yang dipakai Dila itu juga dari aku, jadi kamu juga tidak apa-apa menerimanya.” Biarpun begitu, tetap saja Mara tidak enak hati. Dila itu orang kepercayaan bosnya, wajar kalau mendapat fasilitas lebih. Sedang dia hanya anak magang yang baru seminggu disana, dan sudah mendapat hadiah ponsel yang bahkan kembaran dengan yang dipakai bosnya. Aryan baru melepaskan gandengan tangannya saat pegawai itu meminta Mara mendekat untuk diajari sekilas cara pakai ponsel itu. Dari tempatnya duduk, Aryan terus mengamati setiap gerak gerik dan mimik muka Mara. Ucapan Ethan di meja makan tadi kembali terngiang di telinganya. Tidak mungkin dia tertarik pada gadis ingusan yang masih labil, cengeng dan apalagi sudah punya pacar seperti Mara. Aryan hanya merasa senang saat bisa menggoda Mara, hingga membuatnya sewot dan marah-marah. Mukanya benar-benar terlihat imut saat ngambek. “Hallo …” sahutnya mengangkat panggilan masuk di ponselnya. “Kita lagi ngumpul di tempat biasanya. Mau nyusul kesini? Dicari Steve, tuh! Kangen katanya,” goda teman Aryan di seberang sana. Mata Aryan kembali tertuju ke Mara, lalu tertawa pelan melihat bibir mungilnya yang mencebik lucu setiap kali sedang serius. “Nggak, aku sedang sibuk sekarang.” tolak Aryan. “Sibuk apa? Kerja apa ngerjain orang?” sindir temannya. “Sibuk menemani calon istriku belanja. Yang begituan, sekarang aku sudah tertarik lagi.” jawab Aryan, lalu menyudahi obrolan mereka. Sengaja dia mengatakan itu, supaya lain kali mereka tidak merecokinya lagi. Meski belum punya keinginan untuk menikah dan punya anak, tapi Aryan benar-benar menepati janjinya ke mendiang mamanya. Dia sudah meninggalkan pergaulan salah dan menyimpangnya itu. Memulai kembali semua dari awal, dan menjadi lebih baik lagi. *** “Ibu kostmu tidak marah kan, kalau kamu pulang telat? Nanti biar aku yang jelaskan ke dia,” ucap Aryan saat mengantar Mara. “Ibu kost tidak tinggal disitu, jadi tidak masalah kalau pulang telat.” sahutnya. “Kost khusus wanita kan?!” “Iya,” angguk Mara. “Kalau tidak ada ibu kost, lalu bagaimana kalau ada yang bawa laki-laki masuk? Tempat seperti itu mana aman!” ucap Aryan melirik Mara yang justru tersenyum. “Kalau memang ada yang begitu, ya urusan mereka. Yang penting tidak sampai mengusik kenyamanan saya disana. Cari hunian baru yang cocok dan dekat kampus juga tidak gampang,” lontarnya tenang. “Berarti kalau ada tempat yang dekat kampusmu dan lebih aman, kamu mau pindah?” tanya Aryan. Mara menoleh, konglomerat seperti Aryan Jarvis mana tahu derita orang kelas bawah seperti mereka. Tempat kost dekat kampus yang aman dan nyaman tentu saja banyak. Masalahnya sudah pasti harganya juga jauh lebih mahal. Seperti ponsel dengan logo buah sisa digigit ini tadi contohnya. Buat Aryan mana ada artinya, tapi bagi Mara uang itu bahkan bisa buat biaya hidupnya selama setahun disini. “Bisa kuliah saja saya sudah beruntung, mana mungkin memberatkan orang tua keluar lebih banyak uang untuk cari tempat kost yang seperti itu.” “Kamu bukannya dapat beasiswa?” sahut Aryan yang ternyata tahu banyak soal Mara. “Tapi biaya hidup disini kan juga mahal,Pak. Sebelum magang, biasanya saya juga kerja paruh waktu di kafe. Lumayan, bisa ditabung kalau sewaktu-waktu ada butuh nggak usah minta ke orang tua.” ucap Mara dengan senyum lebar yang membuat Aryan tertohok. Pantas saja kerja Mara cekatan, karena sudah biasa mandiri dan bekerja di luar jam kampus. Mata Aryan tidak salah menilai gadis itu. “Orang tuamu kerja apa?” tanyanya. “Buka toko bahan material. Tidak terlalu besar, tapi hasilnya cukup buat menghidupi keluarga.” jawab Mara tampak bangga saat menceritakan soal orang tuanya. “Kamu berapa bersaudara?” tanya Aryan lagi. “Dua, saya punya satu adik perempuan umur lima belas tahun.” Aryan tampak manggut-manggut. Membantu Mara tentu saja adalah hal kecil buatnya. Masalahnya, gadis itu pasti akan menolak jika tidak ada alasan yang tepat untuk menerima bantuannya. “Saya turun di depan situ ya, Pak. Yang pagar warna putih!” ucapnya menunjuk ke bangunan yang dimaksud. Tepat di depan pagar putih rumah tingkat tiga yang Mara maksud, Aryan menghentikan mobilnya. Gadis itu kembali menoleh sambil tersenyum mengangkat tas berisi ponsel barunya. “Terima kasih untuk ponselnya. Kalau bukan dari Bapak, saya mana mungkin bisa punya ponsel mahal.” “Iya, sebagai gantinya kerja yang rajin dan jangan ngambekan.” gurau Aryan. “Saya masuk dulu. Hati-hati di jalan!” ucap Mara sebelum turun dari mobil. Dia menunggu sampai mobil sport warna merah bosnya melaju, baru berbalik hendak masuk. Namun, di belakangnya ternyata sudah ada yang berdiri menunggunya. “Beb …” sapa Mara tanpa bisa menyembunyikan kagetnya. Pria itu hanya berdiri mematung dengan sorot marah. Menatap mobil sport Aryan yang mulai menjauh, lalu beralih ke pacarnya, dan kemudian turun ke tas berlogo yang Mara tenteng.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN