Lisa menatap Vian sendu, jalannya terseok saat dua pria menyeretnya naik ke atas delman. Gadis itu tidak berdaya ketika digiring paksa.
“Tunggu!” teriak Vian. Ia berdiri dengan susah payah, kakinya gemetar sembari menahan sakit di wajah akibat pukulan yang ia terima. Pandangan Vian bertemu dengan Lisa, bekas air mata mengering di pipi gadis itu. Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Lisa bisa berada di tempat ini? Vian mengalihkan tatapannya pada sosok pria yang berada di atas delman.
“Lepaskan gadis itu,” kata Vian lantang membuat pria yang berada di atas delman terbahak. Pria itu turun menghampiri Vian yang tak berdaya dengan luka di wajah.
“Dia calon istri saya, kamu tidak perlu ikut campur,” kata pria itu tegas.
“Tapi dia tidak mencintai Anda. Dia kabur, itu berarti dia tertekan bersama Anda. Lepaskan gadis itu.”
Vian menahan rasa sakitnya saat bicara.Luka memar di sudut bibir menyulitkannya untuk membuka mulut. Pria dengan pakaian sutra itu mendekat, tubuhnya tidak kalah besar dari Vian, namun perut buncitnya membuat pria itu terlihat lebih tua dari usianya.
“Apa yang bisa kau tawarkan untuk menukar gadis ini? Harta saja kau tidak punya, lihatlah penampilanmu yang berantakan dan dekil. Jangan berani padaku.” Pria itu tertawa bersama pengikutnya, puas meledek Vian yang tak berdaya.
“Saya bisa berikan dua kantong emas pada Anda, asal lepaskan gadis itu!” Vian bersikukuh untuk meminta Lisa dibebaskan. Amarah menguasainya hingga Vian tidak berpikir panjang tentang apa yang baru saja ia katakan.
“Dua kantong emas? Baiklah. Bawakan dua kantong emas itu padaku besok sore di tempat ini. Kau akan mendapatkan gadis itu, saya tidak butuh wanita pembangkang seperti dia,” tunjuk pria itu pada Lisa. “Jika kau tidak datang maka gadis ini akan mati,” ancam pria itu.
“Cepat bawa dia naik,” perintahnya tegas.
Lisa menatap Vian lekat, tidak sedikit pun tatapannya lepas dari pria itu. Air matanya turun begitu saja tanpa Lisa sadari, bibirnya terasa kering belum menegak setetes air sejak pagi.
Vian mematung menatap delman itu menjauh, otaknya sedang berpikir bagaimana cara mendapatkan dua kantong emas dalam waktu satu hari. Kalau saja ia berada di masa depan dengan sekali jentik keinginannya bisa terwujud. Namun Vian sadar sekarang situasinya berbeda. Jangankan emas, untuk makan hari ini saja ia harus bercucuran keringat.
“Malin,” teriak Ningrum, berlari kecil mendekati Vian.
“Kamu terluka? Ayo kita pulang obati luka kamu,” kata Ningrum panik. Ningrum menarik tangan Vian untuk pergi dari tempat itu. Tidak ada perlawanan dari Vian dia hanya diam dan terus berpikir.
***
“Aww, sakit,” jerit Vian saat Ningrum mengoleskan parutan kunyit pada lukanya. Wajah Vian menguning membuat Riko tertawa. Bosnya kini menjelma sebagai makhluk kuning mirip minions.
“Kamu kenapa berkelahi, jangan ikut campur urusan orang. Kamu belum kenal,” kata Ningrum.
“Justru aku ingin menolong gadis itu. Dia harus bebas,” ucap Vian dengan tatapan menerawang jauh. Bagaimana keadaan Lisa sekarang, apakah gadis itu baik-baik saja? pikir Vian.
“Malin, apa yang kamu pikirkan?” tanya Ningrum membuat pikiran tentang Lisa buyar. Vian menghela napas berat, ia tidak tahu harus melakukan apa, jalan satu-satunya adalah meminta bantuan pada orang yang tepat, tapi siapa?
“Saya harus pergi, nanti saya akan kembali.”
Vian menatap punggung Ningrum yang menjauh, terbesit keinginan untuk berhutang pada Juragan Saleh―ayah Ningrum. Mereka orang kaya, memberikan dua kantong emas tentu tidak masalah bagi mereka.
“Apa yang terjadi,” tanya Riko, duduk di tempat Ningrum.
“Saya bertemu Lisa di pasar.”
“Apa? Kenapa Lisa bisa berada di sini? Apa yang terjadi?” Riko terkejut dengan kenyataan itu.Vian mengacak rambutnya hingga berantakan. Keadaannya benar-benar kacau.
“Lisa benar-benar dijodohkan. Aku bertemu Lisa saat dia kabur dari pria tua itu. Aku ingin Lisa dibebaskan dengan dua kantong emas,” kata Vian.
Wajah Riko berubah pucat, bagaimana bisa mereka menyelamatkan Lisa sementara harta saja tidak punya. Riko memijit kepalanya yang tiba-tiba pusing.
“Apa yang harus kita lakukan? Lisa dalam bahaya tapi kita tidak punya kuasa sedikit pun. Kamu tahu satu keeping emas saja kita tidak punya.”
“Aku akan berhutang pada Juragan Saleh, itu cara satu-satunya,” kata Vian.
“Aku akan memberikan emas itu padamu.”
Vian dan Riko kompak menoleh ke belakang. Seorang pria berbaju hitam menatap mereka. Vian ingat betul wajahnya, ia tidak mungkin salah mengenali orang.
“Paman Albert,” gumam Vian membuat Riko menatapnya.
“Kau mengenalnya?” bisik Riko.
“Dia pamannya Tika. Setahu saya Tika sudah tidak mempunyai orang tua lagi dan dia tinggal dengan pamannya,” jelas Vian dengan suara kecil.
“Kalian membutuhkan emas bukan?” tanya pria itu.
“Anda siapa?” Riko memberanikan diri untuk bertanya.
“Panggil saya Mahzar. Saya akan memberikan apa yang kalian inginkan,” ujarnya.
“Benarkah?” Vian mengernyitkan dahinya. Ia mencium ada sesuatu yang diinginkan pria itu.
“Tentu dengan satu syarat.”
“Apa itu?”
“Malin harus menikah dengan Ningrum.” Vian tersentak, ternyata pria itu tahu namanya.
“Kenapa saya harus menikah dengan Ningrum?” tanya Vian.
Pria itu menyunggingkan senyumnya. “Ningrum akan mewarisi harta kekayaan Juragan Saleh, jika kau menikahinya maka warisan itu akan jatuh padamu selaku suaminya. Jadi kau bisa membayar emas-emas itu dengan harta warisan yang diberikan Juragan Saleh.”
Vian tersenyum kecut, ternyata orang itu memiliki niat jahat. Vian tidak bisa mengorbankan hal sebesar itu.
“Saya akan pikirkan nanti. Terima kasih atas tawaran. Saya akan menemui Nada segera,” kata Vian membuat Riko mengguncang tangannya.
“Baiklah, saya tunggu keputusannya besok.”
Pria itu pergi membuat Riko mengerang frustrasi. Kesempatan emas disia-siakan oleh Vian. Ini kesempatan baik agar Vian bisa menolong Lisa.
“Kenapa tidak menerimanya?” tanya Riko
“Membuat keputusan di saat pikiran kacau akan menjadi hal yang fatal. Setidaknya aku harus memiliki lebih dari dua opsi untuk memutuskan.”
“Jadi apa yang akan kau lakukan?”
“Aku akan meminjam langsung pada Juragan Saleh.” Vian beranjak pergi meninggalkan Riko sendirian. Riko hanya bisa memejamkan mata sejenak untuk menenangkan pikiranya yang ikut kacau.
***
“Dua kantong emas?” tanya Juragan Saleh setelah mendengar maksud Vian berkunjung.
“Saya akan bekerja keras jika Juragan bersedia memberikan dua kantong emas kepada saya.”
Vian menundukkan kepalanya, memohon agar pria di depannya mau memberikan apa yang dia inginkan. Namun sayang Juragan Saleh tidak berkenan memberikan apa yang Vian mau.
“Saya tahu kamu orang baik, tapi saya baru mengenalmu. Kepercayaan saya belum spenuhnya untukmu jadi untuk sekarang saya tidak akan memberikan apa pun.”
Vian memejamkan matanya sejenak menerima kenyataan pahit akan penolakan. Tidak ada pilihan selain menerima tawaran Mahzar, walau pun ia harus menikahi Ningrum, yang terenting adalah Lisa selamat dari pria kasar itu.
“Malin,” panggil Ningrum saat Vian keluar dari bilik ayahnya. Gadis itu mendekati Vian dengan wajah murungnya.
“Iya, ada apa?” tanya Vian.
“Saya sudah mendengar pembicaraan kamu dengan bapak. Saya akan memberikan emas itu untuk kamu asalkan kamu menikahi saya.”
Vian tersentak mendengar ucapan Ningrum. Apa gadis itu tidak salah dengan keputusannya?
“Kita tidak saling mencintai bagaimana bisa kamu mau menikah dengan saya?”
“Saya mencintai kamu, Malin. Saya tidak mau kamu dimiliki oleh perempuan lain. Saya hanya mau kamu,” kata Ningrum.
Vian berpikir sejenak, apa pun yang dipilihnya hasil akhirnya tetap sama. Vian akan menikahi Ningrum.
“Saya tidak bisa menjanjikan kebahagiaan untuk kamu,” sahut Vian.
“Saya hanya ingin kamu menjadi suami saya, hanya itu.”
Vian berpikir sejenak kemudain mengangguk. Keputusan ini adalah yang terbaik. Lisa harus selamat dari pria tua itu.
“Baiklah, saya setuju.”
Senyum Ningrum mengembang, pria yang ia sukai akan menjadi suaminya. Tidak ada yang lebih bahagia lagi selain bersama dengan Malin Kundang, pikir Ningrum dengan wajah berseri.
***
Sesuai perjanjian, Vian datang membawa dua kantong emas ke tempat itu. Terlihat tiga pria tengah menunggunya. Satu diantaranya berbadan subur sedangkan dua lainnya memiliki postur yang lebih kecil. Ketiga pria itu mempunyai kumis yang unik, melengkung ke atas.
“Saya ingin bertemu dengan Tuan kalian,” kata Vian lantang. Riko yang mengintip dari kejauhan menjadi was-was.
“Serahkan emas itu,” kata salah satu dari ketiganya.
“Saya harus melihat gadis itu terlebih dahulu. Lepaskan gadis itu dan kalian bisa dapatkan emasnya.”
Tepat setelah mengatakan itu sebuah delman mendekat, di sana ada Lisa dan pria tua yang menjadi calon suami Lisa. Vian merasa lega tahu jika Lisa baik-baik saja walau wajahnya terlihat kotor dan layu.
“Ambil uangnya dan lepaskan gadis ini,” perintah pria tua itu pada anak buahnya. Lisa di dorong dengan kasar mendekati Vian. Dengan cekatan Vian menangkap tubuh Lisa.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Vian. Lisa mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Koin emas itu dirampas paksa dari tangan Vian oleh salah satu pengawal pria itu, diserahkannya koin emas itu pada pria yang masih duduk di atas delman. Setelah memeriksanya pria itu tersenyum lebar setelah mendapatkan emas yang banyak. Tawanya menggelegar membuat Vian muak.
“Bunuh mereka berdua!” perintahnya pada seluruh anak buah. Lisa mengeratkan pelukannya pada lengan Vian saat ketiga pria itu mendekat. Sementara pria tua yang berada di atas delman itu kabur dengan dua kantong emas.
Vian menelan liurnya dengan susah payah melihat wajah sangar pria-pria itu. Mungkin sebentar lagi wajah tampannya kembali mengalami luka-luka.
“Pegang tangan saya,” bisik Vian.
Lisa menautkan jemarinya dengan jemari Vian, tangan halus keduanya bertautan. Vian tidak punya pilihan selain kabur menyematkan diri. Ditatapnya Lisa yang berada di sampingnya. Vian mengangguk pelan membuat Lisa mengeratkan pegangannya.
“Lari!” teriak Vian.