Part 3 (Mencari Melisa)

1769 Kata
Seminggu sudah terlewati sejak kejadian aneh yang menimpa Vian. Suara petir diikuti oleh gemercik suara hujan membuatnya tidak tenang belum lagi terror yang ia terima di saat yang bersamaan. Bahkan CCTV pun sudah ia cek dan hasilnya nihil. CCTV tidak bisa menjangkau tempat parkir mobil Vian. Siapa yang berani mempermainkan dirinya? “Ada apa Tuan Vian memanggil saya?” tanya Riko saat sampai di hadapan Vian. “Cari tahu orang yang bernama Malin Kundang,” sahut Vian. Riko terkejut namun tidak berlangsung lama karena karena sekarang Riko sedang menahan tawanya. Vian menatap Riko tidak suka. Ia sedang serius bukan bercanda. Ia yakin aksi pencoretan yang terjadi seminggu yang lalu karena ulah pria bernama Malin Kundang itu. s**l bagaimana bisa ia tidak tertangkap kamera CCTV. “Tuan Vian baik-baik saja?” tanya Riko mencoba mengulum tawanya. “Kamu pikir saya sakit? Cepat cari tahu pria yang bernama Malin Kundang!” Suara Vian naik satu oktaf. Mobil mahal seharga miliaran rupiahnya harus kotor karena lipstick yang menempel. Siapa pun orangnya akan dia cari sampai ke ujung dunia. “Tuan Vian, Malin Kundang itu pria yang terkenal. Dia―” “Aku tidak peduli yang jelas aku ingin bertemu dengannya.” “Sepertinya tidak bisa karena dia hanyalah dongeng.” Vian menatap Riko dengan kening mengkerut. “Apa maksudmu?” “Malin Kundang itu sebuah dongeng yang berasal dari Sumatera Barat. Cerita ini sangat terkenal. Tapi apa benar Tuan tidak tahu?” tanya Riko “Jangan bertanya. Katakan semua yang kau tahu tentang Malin Kundang.” Riko memutar bola matanya kesal. Bosnya lulusan luar negeri tapi tidak tahu dongeng  negara sendiri. Miris, kalau Riko jadi Vian mending nyebur ke kali saja. “Malin kundang itu anak durhaka karena tidak mengakui ibunya. Dia kemudian dikutuk menjadi batu. Tamat.” “Hanya itu saja?” tanya Vian. Baru saja ia bersiap mendengar cerita Riko lebih lama lagi. “Itu inti ceritanya. Saya tidak bisa mendongeng. Lebih baik Tuan cari di internet tentang Malin Kundang,” ujar Riko. “Dikutuk jadi batu? Itu cerita konyol. Mana ada seorang ibu yang mengutuk anaknya sendiri. Bukan anaknya yang durhaka tapi ibunya juga durhaka,” protes Vian tidak terima dengan kiah yang diceritakan Riko. “Bukan ibunya yang mengutuk Tuan, tapi Tuhan. Kenapa jadi Anda yang keberatan? Malin Kundang yang dikutuk aja santuy sujud di pantai.” Vian meneguk air putih yang ada di atas meja kerjanya. Ia kesal belum menemukan pelaku yang mencoret mobilnya. Tiba-tiba Vian merenung seolah sadar dengan satu hal. “Pasti gadis itu yang mencoretnya,” gumam Vian. Riko menggaruk kulit kepalanya saat mendengar ucapan Vian. “Gadis? Siapa?” “Melisa. Mantan OB di perusahaan ini. Aku memecatnya seminggu yang lalu,” jelas Vian. “Dipecat? Apa dia melakukan kesalahan?” tanya Riko. “Dia terlalu banyak cuti. Kita tidak butuh karyawan pemalas seperti dia.” Riko hanya mampu memukul pelan jidatnya. Vian seenaknya saja memecat karyawan pantas saja setiap pagi seorang pria yang membersihkan ruangan bosnya. Jadi gadis yang malang itu sudah dipecat. Sungguh tidak berperasaan. “Cari tahu keberadaan gadis itu. Aku akan mencarinya, bila perlu memenjarakannya.” “Itu berlebihan Vian. Kau belum tahu alasan dia kenapa banyak libur.” Vian merapikan jasnya. Ia pun berdiri dengan gagah. “Tugasmu adalah mencari tahu tentang Melisa. Selebihnya aku yang urus,” ujar Vian sebelum pergi. Riko menatap punggung tegap itu menghilang di balik pintu. Jika sudah seperti ini apa boleh buat, ia hanya bisa menurut saja. *** Suara gelak tawa menggema di rungan berukuran 3 × 4 yang kedap suara. Bau alcohol tercium sangat menyengat, asap rokok pun turut ambil bagian mencemari udara di ruangan itu. “Kalian bisa saling berkenalan dulu. Kau tau Vian, Tika sangat pintar dalam segala hal. Dia lulusan Harvad,” ujar pria berperut buncit itu sambil tertawa. “Paman jangan bicara seperti itu. Aku sama saja seperti wanita lain yang memiliki kekurangan,” kata Tika. Vian terkagum mendengar suara dan cara bicara Tika. Selain cantik di luar wanita itu juga cantik di dalam. Vian tidak salah pilih. “Jangan merendah, kau pantas mendapat sanjungan seperti itu. Saya bisa melihat semua yang dikatakan Pak Albert dari sorot matamu yang cantik,” ujar Vian. Wajah Tika bersemu merah. Ia terlihat malu menatap Vian. Pujian itu membuatnya melayang. Siapa yang tidak berbunga-bunga dipuji pria setampan Vian. Senyumnya manis melelehkan hati. “Kalian sangat serasi. Aku akan bicara pada kedua orang tua kalian untuk menjodohkan kalian berdua.” Pria itu kembali tertawa. Vian mencuri pandang ke arah Tika. Gadis itu smart, cantik dan tentunya dari keluarga mapan sangat berbeda dengan Melisa. Gadis itu tidak menarik sama sekali. Tunggu kenapa saya jadi memikirkan gadis itu? batin Vian. Ia menggeleng untuk mengenyahkan pikirannya dari Melisa. “Vian kamu baik-baik saja?” tanya Tika. Tangan halusnya membelai pipi mulus Vian. Pria itu menangkap tangan Tika yang menyentuh pipinya. “Kepalaku sedikit pusing lebih baik aku pulang saja,” ujar Vian. Paman Albert menegakkan tubuhnya saat mendengar ucapan Vian. “Kau tidak enak badan? Biarkan Tika yang mengantarmu,” usulnya. “Tidak perlu repot aku masih bisa menyetir. Aku senang malam ini bisa mengenalmu Tika. Sampai jumpa lagi.” Vian tersenyum tipis sebelum pergi meninggalkan ruangan itu. udara segar menyapa hidungnya yang sejak tadi sesak karena bau rokok dan alcohol. Vian berjalan santai menuju parkir mobil. Moodnya berubah drastic saat mengingat Melisa. Gadis yang menerornya dengan cara murahan. Vian meremas stir mobilnya. Ia marah dan kesal entah pada siapa. Vian melajukan mobilnya meninggalkan gedung karaoke itu. Pikiran Vian hanya tertuju pada Melisa, gadis polos yang membuat hidupnya kacau. Vian menghentikan mobilnya saat lampu menyala merah. Kembali ia merenung tentang kejadian yang telah ia lalui. Tanpa sengaja Vian melihat seorang wanita yang mirip dengan Melisa. Vian bermaksud turun dan menghampiri gadis itu tapi suara klason kendaraan saling bersahutan membuat Vian menggerutu. Lampu sudah menyala hijau pantas saja mereka seperti cacing kepanasan minta cepat-cepat jalan. Vian menepikan mobilnya dan keluar untuk menemui gadis itu. Namun gadis yang ia lihat sudah tidak tampak lagi. Kenapa susah sekali mencari gadis seperti Melisa? Erang Vian frustrasi. Dengan langkah lebar Vian kembali ke dalam mobilnya dan melesat pergi.  Ia harus segera mengalihkan pikiran dari Melisa. *** Vian tengah asik membaca semua informasi yang baru saja ia dapatkan dari asistennya. Pria itu mengangguk paham dengan apa yang tercantum di dalam laporan itu. “Jadi dia ada di Sumatera Barat?” tanya Vian tanpa menatap Riko. “Iya, Tuan. Menurut informasi yang kami dapatkan dia pergi menemui pamannya.” Vian meletakkan kembali laporan yang ada di tangannya. Sekarang ia bisa menemui pelaku dari terror itu. Kita lihat saja nona kecil, kau harus tahu seberapa berkuasanya aku. Kita akan segera bertemu, batin Vian. Riko bergidik ngeri melihat ekspresi tidak biasa dari bosnya. Ini lebih menyeramkan dari wajah triplek Vian yang sering ia lihat. “Kapan jadwal kita ke Sumatera?” tanya Vian. Riko merogoh ponselnya dan mencari note khusus yang ia buat untuk mencatat jadwal Vian. “Kamis depan,” jawab Riko. “Kita berangkat lusa. Persiapkan semuanya aku tidak mau mengulur bayak waktu.” Riko mengangguk sebelum pergi dari ruang kerja Vian. Tubuh tegapnya bersadar di kursi kerja, Vian dengan tangan yang menopang dagu tengh menyusun rencana ketika bertemu dengan Melisa. Sesekali Vian tersenyum membayangkan apa yang baru saja dipikirkan. Tok… tok…tok…. Vian mengenyahkan senyumannya. Badannya kembali tegak sebelum membiarkan orang di luar masuk. Vian cukup kaget melihat tamunya kali ini. Wanita cantik bak malaikat surge kini berdiri di depannya. Di belakangnya menyusul seorang pria yang ditemuinya kemarin. “Paman Albert aku tidak tahu kalian akan berkunjung,” ujar Vian. “Kau tidak menyapaku?” tanya Tika manja. Wanita itu memanjunkan bibir merah meronanya yang senada dengan pakaian yang ia gunakan hari ini. Vian tersenyum kemudian berdiri menghampiri tamunya. “Maaf aku terlalu gugup menyapamu,” ujar Vian. “Duduklah.” Mereka duduk di sofa empuk yang ada di ruangan Vian. Wajah Tika bersemu merah saat menatap pria tampan di depannya. Vian terlihat sangat tampan dengan jas birunya. Apa pun yang dipakai lelaki itu tetap membuatnya terpesona. Tubuh atletis itu terlihat kokoh membentuk lekuk tubuhnya.   “Aku datang ke mari hanya ingin mendukungmu. Sebagai salah satu pemegang saham aku akan memilihmu sebagai pimpinan perusahaan,” ucap Apaman Albert dengan tagas. Vian tersenyum menatap pria tua itu. “Saya sangat senang mendengarnya. Saya tidak akan mengecewakan kepercayaanmu,” sahut Vian. “Aku yakin kau akan menang. Seharusnya Paman Martin tidak mencalonkan kakak perempuanmu.” Ucap Tika memberi arguman. “Tapi kakakku tidak bisa diremehkan. Dia juga hebat sama seperti ayah,” sahut Vian. Dia jadi ingat tentang kakaknya yang selalu menjadi kebanggan ayahnya sedangkan Vian hanya bisa berlindung di baying-bayang ibunya. Vian sangat dimanja oleh wanita itu, tapi sekarang Vian akan buktikan pada ayahnya bahwa dia bisa seperti kakaknya. “Kau benar, dia hebat. Tapi sekaranglah waktunya untuk membuktikan kemampuanmu. Dengan Vian kamu tidak boleh menyerah dengan mudah. Lakukan segala cara. Aku akan selalu membantumu,” kata Paman Albert. Vian terdiam sejenak kemudian mengangguk pelan. Tuan Albert pergi setelah mendapat panggilan dari asistennya. Hanya tinggal Tika dan Vian yang ada di ruangan itu. “Aku belum pernah bertemu dengan pria sepertimu. Kau berbeda,” ucap Tika lembut. “Benarkah? Aku merasa senang mendengarnya.” Tika mendekati Vian duduk di samping pria itu. Kepala Tika bersandar di pundak kokoh Vian sedangkan tangannya meraba lengan pria itu dengan lembut. “Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku tidak menyangka orang yang bisa membuat aku nyaman adalah kamu.” Tika mendongkak menatap wajah Vian dari dekat. Hidung mancung dan bulu mata lentik pria itu membuat Vian semakin tampan di mata Tika. Ciptaan Tuan yang sempurna kini berada di depan Tika. Perlahan Tika mendekatkan wajahnya pada Vian. Kedua tangan Tika mengalung di leheh Vian membuat pria itu terdiam kaku.  Namun sayang sebelum bibir keduanya bertemu pintu ruangan Vian terbuka dengan kasar. “Ups… maaf, apa aku mengganggu?” Riko mematung di depan pintu saat melihat Vian bersama wanita cantik dan seksi sedang bermesraan. Riko pikir Vian lebih suka pria dari wanita tapi asumsi itu terpatahkan saat melihat Vian dekat dengan Tika. “Kau sudah kembali?” Vian melepaskan tangan Tika pada lengannya. Pria itu kembali duduk di kursi kerjanya meninggalkan Tika yang masih terdiam di sofa. Betapa menyedihkannya Tika saat Vian asik bicara masalah pekerjaan dengan Riko tanpa menghiraukannya. Seakan Tika tidak pernah hadir di ruangan itu. “Vian aku pergi dulu,” ujar Tika kesal. Vian hanya menatap Tika keluar dari rungannya. “Kamu buat dia kesal,” celetuk Riko. “Kesal kenapa? Saya tidak ada bilang apa-apa.” Vian melanjutkan pekerjaannya, menandatangani berkas yang diberikan Riko. Setelah semuanya beres Vian mengembalikannya. “Tentang gadis bernama Melisa itu apa kau yakin ingin bertemu?” “Tentu. Aku tidak akan melepaskannya.” “Ayolah Tuan Vian, itu hanya lipstik biasa yang bisa dihapus dengan air dan sabun. Mobilmu tidak akan lecet,” kata Riko. “Bukan hanya mobil tapi ada hal yang ingin aku tanyakan.” Riko mengedikkan bahunya. Terserah Vian saja, berdebat pun akan percuma kalau orang itu adalah Vian. “Aku harap kau tidak membuat ulah lagi.” Vian termenung setelah Riko pergi. Kata-kata Melisa masih terngiang di telinganya. Bagaikan racun nama Melisa terus membayangi pikiran Vian. Gadis itu sudah membuatnya kesal. Vian beranjak pergi menuju rumah sakit tempat ibunya di rawat. Ini adalah permintaan kakaknya agar Vian mengunjungi ibunya sesekali. Vian menatap pintu kamar inap di depannya dengan ragu. Ia belum sanggup menemui ibunya. “Saya akan menemuimu setelah membuktikan bahwa saya pantas menjadi pemimpin perusahaan. Bukan anak mami yang bisanya menangis.” Vian menatap nanar pintu coklat di depannya  dan meletakkan setangkai bunga di depan pintu. “Saya akan segera kembali,” gumam Vian. Langkah kaki lebarnya membawa Vian pergi menjauh dari kamar inap. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN