Part 20

1336 Kata
“Besok pagi ada kapal yang akan berlayar ke pantai Air Manis,” ucap Lisa dengan suara gemetar. Riko dan Vian kompak menoleh. Seperti mendapatkan angin segar mereka tersenyum lega. “Lisa pergilah bersama Riko. Kalian harus kembali,” ujar Vian. Lisa menggeleng, ia tidak mau meninggalkan Vian sendiri. Bagaimana nasib Vian jika dia tinggal tanpa Riko. “Kalau saya hanya jadi beban, saya akan pulang sendiri.” “Tidak. Bagaimana jika terjadi sesuatu? Riko akan menemani kamu.” Lisa tetap bersikukuh ingin tinggal bersama Vian. Apa pun yang terjadi gadis itu ingin melewatinya bersama Vian. “Dengar Lisa, saya sudah mengorbankan banyak hal untuk menyelamatkan kamu. Dengarkan saya kali ini, kamu harus pergi bersama Riko. Tidak ada penolakan,” kata Vian tegas. “Tapi―” Belum sempat Lisa bicara Riko sudah menarik tangannya untuk pergi, diikuti Vian dari belakang. Hujan deras mengguyur, dari kejauhan beberapa orang berjalan dalam kegelapan. Vian tidak bisa melihat wajah mereka satu per satu. “Mereka datang,” celetuk Riko. “Kita harus cepat pergi dari sini.” Vian menimpali. Vian menutup kepala Lisa dengan sebuah selendang tebal. Hujan deras disertai angin yang cukup kencang membuat tubuh ketiganya menggigil. Vian menarik Lisa ke dalam rangkulannya, memberikan kehangatan untuk gadis itu. Perjalanan menuju dermaga cukup jauh dengan kondisi hujan dan jalan yang licin. Mereka saling berpegangan tangan untuk bisa melewati jalan yang berlumpur. Kilat menyambar menjadi satu-satunya penerangan malam itu. Bulan tengah malu-malu menampakkan diri di balik awan gelap. Tubuh ketiganya kaku, dingin menusuk hingga ke tulang. Bibir Vian membiru merasakan dingin bagaikan es. Lisa dan Riko tidak berbeda jauh dengan keadaan Vian, ketiganya menggigil sembari mengusap tangan untuk mencari kehangatan. Hujan semakin deras membuat Vian memutuskan untuk mencari tempat berteduh. Sebuah rumah mereka sambangi. Sungguh beruntung nasib baik berpihak pada mereka, pemilik rumah dengan  ramah menyambut kedatangan Vian, Lisa dan Riko. “Kalian bisa istirahat di sini. Kenakan pakaian ini untuk mengganti pakaian basah kalian,” kata seorang wanita tua pada Vian. Wanita itu mengingatkan Vian pada Mande Rubayah yang tinggal sendiri. “Terima kasih telah menerima kami,” kata Riko menimpali. Mereka bergegas mengganti pakaian yang basah. Hujan belum reda, suara ribut akibat angin kencang terdengar jelas di luar sana. Vian menghembuskan napas panjang, meski tubuhnya sedikit menghangat bukan berarti ia bisa tenang. Lisa harus segera pergi bersama Riko, itulah yang ada dipikirannya. “Saya masih ingin bersama kamu di sini. Apa saya tidak boleh tinggal?” tanya Lisa menghampiri Vian yang tengah gelisah. Keduanya duduk sambil bersandar pada tembok. Kedua kaki tertekuk untuk mencari kehangatan. Dengkuran halus Riko menjadi satu-saunya musik pengiring untuk memecah keheningan. Vian memejamkan matanya, kepalanya menengadah ke atas. Lisa melihat Vian sembari tersenyum. Gadis itu menyenderkan kepalanya pada bahu Vian. “Di sini bahaya, kamu pulang saja bersama Riko. Dia akan menjagamu di sana,” jawab Vian. “Kenapa kamu tidak ikut bersama kami? Kita bisa pergi bersama-sama.” “Tidak bisa Lisa. Saya harus menepati janji saya. Apa pun yang saya katakan harus bisa saya pertanggung jawabkan. Saya tidak bisa pergi dari masalah, apa pun yang terjadi akan saya hadapi.” Hening kembali menyerang, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Lisa memejamkan matanya mencari kenyamanan dalam dekapan Vian. Ini akan menjadi malam terakhirnya bersama Vian sebelum ia pergi. Mengingat Vian akan menikah dengan Ningrum membuat perasaan Lisa menjadi kacau. “Baik-baik di sini, saya akan menunggu kamu di rumah,” ujar Lisa membuat perasaan Vian menghangat. *** Matahari mulai menampakkan dirinya, malam yang dingin sedikit menghangat ketika pagi menyapa. Tubuh Vian diguncang membuat pria itu mengerjapkan mata berkali-kali. Semalam tidurnya pulas setelah hujan reda dan udara dingin membuatnya cepat terlelap. Vian merenggangkan ototnya yang terasa kaku.  Riko dan Lisa sudah bangun sejak tadi. “Kalian menunggu lama?” tanya Vian. “Tidak masalah, kamu terlihat kelelahan,” sahut Riko. “Sebentar lagi kita akan sampai ke dermaga, kata nenek kita hanya perlu berjalan lurus dari sini,” jelas Lisa. Vian mengangguk. Setelah semuanya beres mereka pun pergi dari rumah itu setelah berpamitan. Jalanan masih licin. Genangan air ada di mana-mana membuat Vian, Lisa dan Riko berhati-hati melakukan pijakan. Udara basah masih terasa walau matahari mulai memancarkan sinarnya lebih hangat. Suara riuh di depan sana menyadarkan mereka bahwa sebentar lagi mereka akan sampai di tempat tujuan. Orang-orang penuh sesak mengantri untuk masuk ke sebuah kapal yang mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Lisa dan Riko menatap Vian sejenak. Sekarang saatnya mereka berpisah. Baru satu hari Lisa bisa bersama Vian tapi sekarang mereka harus pergi. “Jaga diri kalian baik-baik. Sampaikan salamku pada Bu Mande, katakan aku merindukannya,” ujar Vian. “Kamu juga jaga diri, ingat cara potong rumput yang benar,” kata Riko membuat Vian langsung down, mengingat puluhan sapi sedang menunggu untuk diberi makan. Vian harus melakukannya sendiri tanpa bantuan Riko. “Jaga dirimu baik-baik, cepatlah pulang bertemu dengan Bu Mande,” ucap Lisa. Vian mengangguk dengan seulas senyum di bibir. Meski berat ia harus merelakan keduanya pergi. Lisa melambaikan tangannya pada Vian sebelum berjalan ke arah kapal. Tatapan mereka tidak pernah lepas sampai Lisa dan Riko hilang dari pandangannya. Vian tahu pengorbananya tidak akan sia-sia. Lisa sudah aman dan itu sudah cukup baginya. Vian meninggalkan dermaga setelah memastikan kapal itu berlayar membawa cinta dan juga harapannya pergi. Saatnya Vian kembali dan menyelesaikan semuanya dengan cepat. Sore menjelang saat Vian tiba di rumah Juragan Saleh. Tiga orang pria tengah menunggu dirinya di depan bilik. Vian mengepalkan tangannya tahu siapa yang tengah menunggu. Pria yang disuruh oleh pria tua yang menyatakan diri sebagai calon suami Lisa. Mereka juga yang ingin membunuh dirinya dan Lisa. Sungguh tidak tahu malu, bisa-bisanya mereka manampakkan diri setelah merencanakan tindakan k**i itu. “Kalian ingin mencari siapa?” tanya Vian lantang. Ketiga pria itu sontak menoleh membuat Vian was-was. Dia tidak boleh lengah sedikit pun. “Di mana gadis itu? Cepat serahkan dia pada kami jika kamu ingin selamat.” “Apa?” Vian tertawa kecil mendengar gertakan pria itu. “Kalian ingin membunuhnya, kan? Dia sudah tidak ada di sini. Pergilah sebelum orang-orang datang dan memukul kalian habis-habisan,” ujar Vian membuat ketiganya tertawa kencang. Tangan Vian mengepal namun ia masih mampu mengendalikan diri tidak menghajar ketiga pria itu. “Justru kami yang akan menghabisimu.” Vian dengan cepat menghindar dari pukulan yang dilayangkan oleh salah satu dari mereka. Serangan bertubi-tubi ia dapatkan dari ketiga pria itu namun masih bisa Vian hindari.  Vian terus bertahan, namun satu pukulan bersarang tepat di perutnya membuat Vian tersungkur. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh ketiga pria itu untuk menghajar Vian sepuasnya. “Hentikan!” Ningrum berlari menghampiri Vian yang tidak berdaya. Ketiga pria itu langsung kabur membiarkan Vian terkapar di atas tanah. Ningrum memeluk kepala Vian erat. Ari matanya jatuh melihat Vian tidak berdaya. Luka si wajah Vian membuat pria itu tidak sadarkan diri. “Malin!” teriak Ningrum. *** Lisa menatap hamparan laut di depannya. Rambut panjang  miliknya biarkan terurai tertiup angin kencang. Perasaannya benar-bear kacau, apa yang dilakukan Vian saat ini? Apa dia itu baik-baik saja? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya. “Saya yakin Vian akan baik-baik saja. Dia pria yang kuat jika sudah memilki tekad,” ujar Riko menenangkan. Lisa tersenyum simpul, dia harap juga seperti itu tapi Lisa tidak bisa berbohong bahwa dirinya sangat khawatir dengan Vian. “Saya merasa bersalah pada Vian. Saya tidak memaafkan diri saya jika terjadi sesuatu pada Vian.” Lisa menunduk menyembunyikan wajah sedihnya. “Saya mengerti kalian saling jatuh cinta tapi kalian berada di dunia yang berbeda. Vian tidak bisa menjalin hubungan dengan orang di masa lalu. Suatu hari nanti kami akan kembali ke masa depan tempat di mana seharusnya kami hidup.” Lisa mengangguk, ia sudah mengerti dan paham, cepat atau lambat Vian dan Riko akan kembali ke masa depan. Masa di mana Lisa tidak akan ada dalam hari-hari mereka. “Apa di masa depan hidup itu lebih mudah?” tanya Lisa. Rasa penasarannya kembali muncul tentang kehidupan masa yang akan datang. “Hidup tidak pernah mudah, semua ada tantangan yang harus dihadapi. Walau pun di masa depan teknologi lebih canggih justru itu akan menjadi tantangan yang lebih berat.” Riko menatap Lisa, wajah cantik itu terlihat murung tanpa semangat. Sebuah ide terlintas di pikiran Riko. Ini akan sangat menyenagkan, batinnya. “Kamu tidak mau tahu bagaimana kehidupan Vian di masa depan?” tanya Riko membuat Lisa mendongkak. Mata bulatnya menyiratkan bahwa Lisa tertarik dengan pertanyaan Riko. Ia ingin tahu bagaimana kehidupan pria yang dicintainya di masa depan. “Apa aku boleh tahu?” tanya Lisa memastikan. Riko tersenyum senang, ini saat yang tepat untuk membeberakan sifat jelek bosnya. Kapan lagi Riko bisa gibahin Vian kalau bukan sekarang, mumpung ada kesempatan emas yang sayang untuk dilewatkan. “Tentu dan kamu harus tahu semuanya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN