[Aku hamil.]
Tertera di notifikasi pesan masuk ponsel suami.
Hari itu ....
Cely tertegun.
Pernikahan megah yang berfondasikan cinta satu sama lain rupanya masih kurang. Tak lantas membuat bangunan rumah tangga menjadi kukuh, padahal telah terjalin delapan tahun.
Lantas, harmonis yang tersuguh selama ini tidak nyata. Perhatian yang ada ternyata tidak lebih dari kamuflase belaka.
Oh, Cely Daneswara Semesta. Dia berdiri di sisi pria yang merupakan suami delapan tahunnya. Pria yang tak sekali pun menunjukkan adanya cela dalam rumah tangga mereka.
Tatapan Cely lurus ke depan, menunggu pintu lift terbuka.
Tahu?
Cela itu sudah Cely temukan, lengkap dengan bukti yang tak bisa membuat suaminya mengelak. Hal yang membuat Cely ada di sana saat ini, di bangunan apartemen menuju unit si wanita simpanan.
Jangan tanya kabar hati, sudah pasti sakit sekali. Namun, tidak Cely tunjukkan raut kesakitan itu. Dia kuat-kuatkan di sini, setelah beberapa saat lalu berucap, "Bawa aku ke tempatnya." Kepada sang suami.
Pria yang mengaku mencintainya, pria yang selama ini telah menyembunyikan duri dengan sangat apik di rumah tangga mereka dengan kasih sayangnya. Pria yang sangat Cely cintai lebih tepatnya.
Sangat.
Kini, langkahnya tegas dan pasti menuju unit tersebut, dengan sesosok pria yang tampak serba salah telah ketahuan mendua. Sialnya, sampai hamil pula. Padahal, hubungan rumah tangga selama ini sangat baik-baik saja. Apik betul, bukan, disembunyikan?
Sementara itu, di dalam unit yang tengah suami Cely tekan pin kuncinya, terdapat sesosok wanita cantik yang baru selesai mandi.
Mendengar suara pintu unit dibuka, gegas dia beranjak dan menyambut antusias. "Sayang!"
Cely masuk, tepat di setelah suaminya. Lalu melihat seorang gadis yang tampaknya lebih muda dari Cely—seorang mahasiswa, menghampiri.
Gadis itu tersentak.
Sepertinya tahu siapa Cely bagi pria yang disebutnya sayang barusan.
So, si wanita pamit hendak memakai baju dulu, soalnya menyambut dengan lilitan handuk saja di badan, dengan jejak kiss mark di sekitaran tulang selangka.
Cely melihat itu. Mengabaikan. Lain dengan suaminya yang melengos, kehilangan kata-kata.
Cely lalu melangkah maju, duduk di salah satu sofa. Diikuti suaminya. Belum ada yang bersuara lagi. Hanya gemuruh di d**a masing-masing yang tak sampai terdengar oleh satu sama lain.
Cely memandang sekitar, lalu melihat gadis dengan rambut sebahu yang telah rapi berpakaian meletakkan minuman. Sedang berusaha memperlakukan tamu dengan sopan rupanya, ya? Sayang, gadis itu ... dengan suami Cely, pernah bercinta—mungkin di sofa ini juga?
Tatapan Cely pun jatuh di perut si gadis yang masih rata, tetapi katanya sedang hamil dan itu oleh satu-satunya pria di sini. Sementara, Cely belum. Belum hamil, bahkan sudah delapan tahun berumah tangga. Apa karena itu ... suaminya ... oh, sakit sekali memerankan peran istri yang diselingkuhi.
Cely menekan geraham, menarik napas dalam, lalu mengatakan, "Jadi kamu?"
Teruntuk si wanita.
"Kita pernah bertemu, kan?"
Wanita yang tak pantas disebut gadis lagi itu melempar tatap ke arah suami Cely. Meminta bantuan, hm?
"Zilla," tekan Cely. "Mahasiswi magang di kantor Mas. Benar?" Tatapan Cely juga beralih kepada sang suami.
Pria itu melengos lagi.
Tak menjawab iya maupun tidak.
Oke, Cely anggap benar. Karena toh memang benar.
Sekali lagi Cely menarik napas dalam, mengusir sesak di d**a. Menahan genangan air yang mulai merambati mata.
"Apa hubungan kalian?" Cely memulai interogasi. Meski ini sudah jelas dari yang dia temukan di ponsel suami, tetapi Cely ingin mereka langsung yang mengakui. Sambil dia rekam di ponsel.
Tak ada yang berkutik di sini.
"Kami saling mencintai." Itu kata si mahasiswi.
Cely menekan emosi. Alih lagi ke suami. "Kamu mencintainya, Mas?"
Lelaki itu geming.
Tuhan ....
"Kuanggap ya," imbuh Cely. Sakitnya, lelaki itu tidak membantah. Setia dengan diam.
Cely kembali memandang si wanita. "Kamu cantik dan masih muda. Pas, sih, memang dengan suami saya yang tiga puluhan tahun. Tapi sebelumnya, kamu tahu kalau laki-laki ini sudah beristri, kan?"
"Maaf ...."
Dia tahu, tetapi tetap menjalin hubungan itu dengan pria beristri.
"Sejauh mana hubungan kalian?"
Mereka diam.
"Jawab." Cely menekan.
"Satu tahun lalu ...."
"Satu tahun lalu? Berarti bukan pas kamu baru magang di kantor? Sebelum itu, artinya kalian udah pernah ketemu dan makanya kamu magang di sana? Oke, kapan? Pada saat apa awal mula kalian bertemu?"
Si wanita menjawab, "Seminar kewirausahaan di kampus ...."
Mata Cely kian berembun. Alih kepada suami. "Oh, waktu kita bertengkar gara-gara anak, ya, Mas?"
Tak disahuti.
Cely menelan saliva yang terasa berduri, menyakiti.
"Dengar-dengar kamu hamil?"
Si wanita merengkuh perutnya, mungkin takut akan Cely apa-apakan. Tatapan Cely juga jatuh di sana.
Hamil ....
Padahal Cely sebagai istri, yang delapan tahun sudah berjuang, mau mengonsumsi itu dan ini, mau melakukan ini dan itu. Namun, ....
"Sayang—" Sambil meraih lengan Cely, tetapi ditepis, sontak tutur kata sang suami langsung berhenti.
Apalagi Cely lanjut mendesak si wanita dengan segala pertanyaannya. "Berapa bulan?"
Zilla tampak tertekan. "Dua ...." Pelan sekali suaranya. "Dua bulan."
Ya Tuhan ....
Dua bulan ....
"Dua bulan, Mas." Cely alih menatap suaminya, berkaca-kaca. "Kamu ...." Astagfirullah. Dua bulan ....
Bahkan di dua bulan itu, hubungan intim antara dirinya dengan suami masih berlangsung. Masih sempat ke dokter untuk program anak. Namun, apa ini?
Jijik sekali Cely atas fakta yang dia terima.
Dari sekian banyak laki-laki, kenapa harus suaminya yang seperti ini?
Dari sekian banyak rumah tangga, kenapa harus rumah tangganya yang begini?
Oke, fine.
Cely menatap Zilla. Dengan satu tarikan napas dalam, Cely berucap, "Menikahlah kalian. Saya kasih dia ke kamu."
Zilla yang semula menunduk sontak menatap istri dari kekasihnya di detik dia mendengar hal itu.
"Ambil saja. Kami akan bercerai." Cely lalu beridri, menatap suami. "Nggak perlu diantar, kamu tetap di sini. Silakan bicarakan masa depan Mas bersama Zilla dan anak itu. Lalu, biar aku yang bilang sama ibu. Sama keluarga kita. Mas tinggal tahu beres aja."
Gegas Cely beranjak. Rasanya sudah tak tahan. Air mata mendesak untuk lekas dialirkan.
Dia pun meninggalkan tempat itu. Unit apartemen yang sudah pasti fasilitas dari suaminya untuk Zilla. Lengkap dengan perabotan rumah tangga di sana.
Bahkan sepertinya benda bermerek, berikut berlian yang Zilla kenakan di jari manisnya, itu semua pemberian suami Cely.
Sakit sekali rasanya, hati Cely. Hingga air mata tak lagi bisa dia tahan walau ini hanya sekadar berakting.
Si suami mengejar di belakang, yang lalu berhasil menyusul Cely di sini, menyentak lengannya.
"Cut!"
Oh, selesai.
Sutradara sudah memberi aba-aba berhenti. Cely lalu memupus air mata dan lengannya sudah dilepaskan oleh si tokoh suami.
"Bravo, Cely, bravo!" ucap salah satu kru.
"Aktris terbaik emang!" imbuh yang lain sambil mengacungkan dua jempolnya.
Cely terkekeh. Berterima kasih.
"Mantap, Cel!" Ini sang manager.
Well, perkenalkan ... Cely Daneswara Semesta. Dia yang dulu tidak mau bercita-cita menjadi aktris, kini di kehidupan mendewasa rupanya profesi Cely mengikuti jejak orang tua.
Debut di saat masih SMA. Dapat tawaran dari orang-orang papi. Entah kenapa, Cely menerima saat itu. Casting film sebagai peran figuran mulanya, yang kini sudah menjadi bintang favorit para penonton. Pun, dinobatkan sebagai aktris terbaik karena selama lima tahun berturut-turut memenangkan nominasi. Dan yang sekarang adalah series pertamanya sebagai tokoh yang sudah menikah, selama delapan tahun pula pernikahannya.
Wajah Cely lebih dewasa daripada umur tampaknya. Dia sekarang berusia 24 tahun. Yeah, tetapi masih yang kepala dua, kok. Tampak seperti usia 28 kalau kata orang-orang. Ini kalau di-make up dengan nuansa seperti itu. Wajarlah, ya.
Bicara-bicara, Cely tengah duduk manis di bangku naungan tendanya. Dia tersenyum membalas pesan masuk dari sang kekasih.
Sayangku: [Baru nyampe, nih.]
Habis perjalanan bisnis dari luar kota.
***
"Kakak pulang!"
Cely tiba di rumah dengan riang. Mood-nya sedang bagus. Sebagai anak sulung dari pasangan Mars Tatasurya Semesta dan Tania Maira Daneswara, Cely menjelma sebagai kakak yang baik dan ramah kepada adik-adik.
Cely mencium tangan mami dan papi, mereka ada di rumah rupanya. Tumben sekali, biasanya papi di studio. Betul, studio pribadi. Papi Cely sudah vakum di dunia perfilman, tetapi aktif di channel You-tube mengisi konten, sesekali manggung di acara besar nasional yang disiarkan di televisi, paling tidak papi menjadi juri untuk para kontestan pencari bakat.
"Udah makan, Kak?" tanya papi.
"Belum. Tapi Kakak mau makan di luar." Bersama pacar.
"Di rumah aja. Tuh, mami udah masak menu spesial buat Kakak." Masih papi yang bilang.
"Kakak udah janji."
"Sama laki-laki itu lagi?"
"Ih, Papi ... jangan gitulah. Dia, kan, pacar Kakak."
Papi mendengkus. Bibir Cely mengerucut.
"Ya udah, pacarnya aja yang diajak ke sini, Kak. Makan di sini bareng-bareng," tukas mami.
Duh.
Gimana, ya?
Cely juga inginnya begitu, tetapi kekasih Cely belum siap bertemu orang tuanya ini. Makanya selalu beralasan kalau Cely meminta masnya ke rumah. Awalnya Cely sampai marah, tetapi kini dia sudah bisa memahami prianya.
Sedang menyiapkan mental kalau-kalau habis dari rumah Cely, hubungan ini akan go public nanti. Sementara, pacar Cely orang biasa (bukan aktris) yang agak keberatan disorot media. Apalagi dia salah satu petinggi di perusahaan start up. Baru-baru ini diangkat.
Kariernya baru menanjak. Yang sebelumnya merasa minder dan menunggu kesuksesan untuk kemudian berkenalan dengan orang tua Cely, kini menunggu mental siap.
Cely tidak masalah. Hanya saja, akhir-akhir ini papi yang agak mempermasalahkan. Sampai-sampai sepertinya jadi kurang suka dengan kekasih Cely.
Fine, akan Cely usahakan kekasihnya mau datang. Namun, bagaimana kalau gagal lagi? Sedang Cely hubungi, tetapi tak kunjung diangkat.
"Apa lagi alasannya sekarang? Lagi dinas? Meeting? Atau ada pekerjaan yang nggak bisa ditinggalkan?"
"Papi—"
"Ya udahlah, Kak. Toh, udah terlambat. Papi udah nerima pinangan laki-laki lain buat Kakak."
Eh?
Apa katanya?
"Segera akhiri hubungan kalian, bilang aja nggak disetujui Papi soalnya buat datang ke rumah aja itu laki susah banget."
"Pi—!"
"Laki-laki itu, ya, Kak ... kalau memang dia cinta, serius sama perempuan, atau laki-laki yang baik, deh. Dia nggak bakal beralasan tiap diminta datang ke rumah orang tua si cewek. Ini sampai Papi yang minta, lho. Dan apa coba jawaban pacar Kakak? Sopan yang begitu? Cowok baik-baik?"
Tuh, kan ....
Pasti begini.
Bukan sekali dua kali meributkan hal itu akhir-akhir ini. Namun, yang barusan papi sampai mengucap pinangan orang. Alias katanya, telah menerima lamaran laki-laki lain untuk Cely.
Yang benar saja!
"Tapi nggak harus sampai nerima pinangan orang juga, kan, Pi? Minimal Papi ngobrol-ngobrol dulu sama Kakak. Nggak bisalah asal nerima, sedangkan laki-laki itu buat Kakak! Apalagi Papi tau Kakak udah punya pacar walau dia kayak gini."
"Lho, Papi udah bilang, kan? Sebulan lalu. Ingat, nggak, Papi bilang apa? Bawa pacar Kakak ke rumah. Kalau dalam sebulan itu nggak datang juga, minimal datang dulu aja ketemu kami, Papi nggak bakal bertindak. Tapi apa? Mana? Nggak datang, kan? Ini udah lewat satu bulan, Kak."
"Dan sebulan itu Kakak udah kasih tau alasannya, kan—"
"Yang Papi mau dia datang, bukan alasan."
Argh!
Apa, sih?
Papi, kok, jadi 'kolot' begini?
Sebelumnya papi menyenangkan, tetapi kini terasa sangat menyebalkan.
Hati Cely menggemuruh kencang, kali ini bukan di lokasi syuting, bukan saat sedang berakting, bukan pula sedang mendalami isi naskah drama, tetapi kenyataan.
"Pokoknya, putusin. Udahin aja hubungan nggak jelas kalian. Udah ada laki-laki baik yang datang, minta Kakak ke Papi dengan sangat sopan."
Oke, fine.
Cely meraih kembali tas selempang yang semula dia simpan, kemudian melenggang. Melintasi mami yang sejak tadi tidak kuasa melerai.
Namun, mami lantas mengejar. Langkah Cely cepat-cepat meninggalkan rumah. Meninggalkan papi yang sepertinya sudah bulat memutuskan, menerima pinangan si pria sopan.
Tapi buat apa kalau hati Cely telah bertaut kepada sang kekasih? Malah membuatnya marah, bahkan sampai tidak memedulikan panggilan mami. Semarah itu terhadap papi dan keputusan beliau.
Padahal sabar sedikit, kan, bisa!
Toh, Cely tidak sedang diam. Dia juga sedang membujuk prianya, termasuk pacar Cely pun telah berkata akan datang, hanya tinggal menunggu waktu kesiapan mental. Tak akan lama.
Cely saja sabar menunggu, kenapa papi yang geregetan ingin segera didatangi lelaki itu? Apa sudah tidak sabar ingin punya menantu?
Ya ampun!
Pokoknya Cely marah sama papi. Dia meninggalkan rumah saat itu. Mood yang semula baik pun rusak total.
Lihat saja, Cely tidak akan pulang, kecuali kalau papi menarik kata-katanya tentang sudah menerima pinangan orang. Akan Cely sampaikan soal ini kepada mami.
Sungguh, Cely bukan anak pembangkang. Namun, ketidakterimaannya atas putusan papi yang membuat dia seperti sekarang.
Mobil Cely henti melaju. Dia kabur ke tempat sang kekasih, sekalian mau cerita. Mana tahu, kan, masnya lalu ikut Cely ke rumah dan bicara dengan papi.
Laki-laki yang mulai dicap tidak baik oleh papi, sebetulnya dia laki-laki yang baik, kok. Percaya sama Cely.
Dia laki-laki dewasa yang sangat mengerti Cely. Mengasihinya. Hanya saja memang belum siap datang ke rumah. Selama berpacaran, Cely tidak pernah tak dihargai, selalu dimengerti pula, dan amat perhatian. Tak pernah ada pertengkaran selain Cely yang marah gara-gara cemburulah, overthinking, dan terkait papi ini. Namun, lelaki itu menanggapinya dengan sabar, dengan penuh pengayoman.
Alasan yang masnya beri juga masuk akal di pendengaran Cely. Papi saja yang terlalu suuzan, ditambah lagi dengan kehadiran sosok yang meminta Cely dengan sopan—hal yang belum dilakukan oleh sang pacar. Tapi, kan ... ah, sudahlah!
Cely menekan angka lantai di mana unit pacarnya berada. Dia mendatangi tempat sang kekasih tinggal.
Karena sudah sering ke sini, Cely jadi tidak sungkan-sungkan lagi untuk asal masuk. Toh, dia tahu password kunci pintunya. Ditekanlah satu demi satu angka itu. Saat terbuka, Cely gegas ke dalam.
Namun, tunggu dulu!
Apa hal yang dia lihat sekarang?
Di depan pintu yang sudah dirinya masuki, ada sepasang heels hitam. Tentu, milik wanita. Namun, siapa? Hanya Cely yang semestinya bertamu ke kediaman ini. Atau jikapun saudara, mestinya ada berpasang-pasang sepatu yang lain.
Pelan langkah Cely diambil, berdebar-debar sambil menduga-duga.
Cely sudah membuktikan di hubungan selama satu tahunnya ini, tak ada wanita di sekitar masnya, kecuali yang sekelebat muncul dan Cely cemburui, padahal bukan siapa-siapa.
Dan lain dengan sang pacar yang belum berkenan datang ke rumah Cely, di sini Cely beberapa kali pernah datang ke rumah kekasihnya. Bertemu orang tua dan adik-adik beliau. Hanya ibunya yang perempuan. Jadi, sepatu heels siapa itu?
Semakin masuk, semakin terdengar suara decap hingga lenguhan. Dan semakin jauh langkah Cely, semakin memelan, lalu kini berhenti. Tepat di depan ruang TV.
"A-apa-apaan kalian?!"
Mata Cely ternodai. Melihat dua insan lawan jenis yang sedang berpagutan, dengan tubuh wanita yang ada di atas si lelaki, lalu ... mana busana mereka? Dan lagi, lelaki itu ... pacarnya!
Pacar Cely.
Oh, apa-apaan ini?
Kembali d**a Cely bergemuruh kencang. Tatapannya menyingsing tajam ke arah dua manusia yang kini telah saling menjauh. Lebih tepatnya, si lelaki yang mendorong tubuh perempuan itu.
"Menjijikkan," desis Cely.
Yang mana mengundang tatapan sengit perempuan tersebut, dia berucap, "Kenapa kamu yang marah melihat kebersamaan kami, padahal saya istrinya?"
H-hah?
Istri?
Air mata yang mendesak untuk jatuh seketika geming, hanya membuat genangan, dan urung menetes. Bahkan gemuruh menyesakkan di d**a itu kini berganti jadi kecamuk yang sulit Cely jelaskan.
"Istri?" Memandang si lelaki yang sudah berpakaian.
"Jadi kamu orangnya?"
Tunggu, tunggu! Cely merasa deja vu dengan adegan di lokasi syuting. Bedanya, di sini Cely yang dilabrak.
Tatapan Cely alih kepada wanita itu.
Tidak.
Enak saja kenapa jadi dirinya yang kena marah?
"Dan Masnya ini ternyata udah punya istri? Wah ... dia ngaku lajang sama saya, Mbak." Cely menyela niat bicara mereka. Menyela Mas Regan dan istrinya.
Istri, ya?
Astaga.
"Memalukan sekali. Kok, aku bisa ketipu?" gumam Cely, mencebik bibir.
Di matanya, lelaki yang dia bela mati-matian di depan papi, yang dia cintai, yang rupanya membodohi, kini bukan lagi sosok lelaki, melainkan 'buaya darat'.
Astagfirullah.
Cely geleng-geleng, lalu melenggang tanpa membiarkan mereka menjawab ucapannya. Masih Cely dengar suara si istri yang bilang, "Mas mau ke mana? Tetap di sini atau aku—!"
Entah apa, Cely sudah melewati pintu. Sudah dia tutup. Dan sudah memasuki lift sekarang dengan gemuruh emosi melahap hati.
Ya Allah ....
Kok, bisa?
Bisa-bisanya ....
Selama setahun ini berarti Cely tertipu? Mas Regan lelaki beristri tanpa Cely tahu. Demi Tuhan, tidak ada tanda-tandanya sama sekali.
Mas Regan yang Cely bela mati-matian di depan papi, mami ... ternyata adalah pria yang telah habis-habisan membohonginya?
Satu tahun, gila!
Satu tahun Cely membersamai tanpa merasa curiga. Lantas, satu tahun pula dia mencintai pria yang hendak membuatnya jadi sosok pelakor?
Rasanya Cely ingin mendirikan pusat pemberdayaan wanita agar terhindar dari jeratan lelaki buaya.
Bagaimana ini?
Malu sekali, apalagi terhadap papi. Terus sekarang Cely harus ke mana? Oh, jangan sampai nasibnya tersiar di media.
Tidak, tidak!
Tuhan ....
Menangis di dalam mobilnya. Menangisi kebodohan yang dia emban, juga desakkan kesal berikut rasa malu yang merengkuh begitu kuat.
Ih, amit-amit!
Ya Allah ....
'Sayangku is calling.'
Cely jijik sekadar melihat nama kontaknya, meski memang dia yang menamai begitu. Gegas saja dia reject, lalu menghapus nomornya, blokir sekalian. So, Cely melajukan mobil ke mana pun asal bukan ke rumah.
Tempat favorit menjadi pilihannya, yakni pusat kebugaran. Lalu Cely teringat satu hal, kenapa tadi dia tidak mengeluarkan bogem mentahnya, ya? Minimal dihajar.
Cely memasuki area gym. Memilih treadmill sebagai aksi pelariannya dari patah hati, kekesalan, hingga mood yang berantakan di hari ini. Cely bahkan belum sempat makan.
Namun, sebelum itu, sebelum sampai di treadmill, langkah Cely tersumbat oleh berbaliknya seseorang dari treadmill yang lain, dan Cely mendapati sosok yang seketika melempar ingatannya ke masa remaja.
Masa lalunya yang tak pernah Cely lupa, tentang sosok Sakti Adhyaksa.
Dia ... si cinta pertama.
***