Masuk ke dalam rumah dengan keadaan yang sudah berantakan. Tak hanya penampilannya, hatinya pun juga. Seusai menutup pintu utama rumah kedua orang tuanya ini, tubuh Elya yang sejak tadi berusaha menahan semuanya. Kini merosot ke lantai. Mengenaskan. Segala keceriaan yang ia bangun selama ini runtuh pada suatu sore. Elya melemparkan tas kerjanya sembarangan. Ia mencengkeram, dan menarik rambutnya frustasi. Elya benci pada wanita bernama Ghina yang berhasil dengan mudah membuat Ghibran-nya jatuh cinta. Sedangkan selama ini, Elya sudah menjelma selayaknya badut—selalu menghibur—tetapi tak pernah bisa membuat Ghibran jatuh cinta padanya. Jangankan jatuh cinta padanya, untuk tersenyum pun berbeda.
Yaa, Elya menyadari hal itu. Tetapi ia mencoba membutakan matanya dan terus melangkahkan kakinya pada Ghibran. Padahal sudah jelas, cara Ghibran tersenyum pada Ghina dan kepadanya sangat berbeda. Jika pada Ghina, senyumnya begitu lebar dan matanya berbinar. Seperti memancarkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Lain halnya tatkala tersenyum pada Elya, semua berisikan keterpaksaan.
Tangisnya mulai terdengar. Isakan pilunya mampu membuat para pembantu di rumahnya cepat-cepat menghampiri sumber suara. Mereka adalah Mbok Dami, dan Mbak Atika. Dua pembantu berbeda usia itu memang dipekerjakan di rumah ini untuk mengerjakan segala macam pekerjaan rumah. Karena Sang Nyonya Besar tidak diizinkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah oleh Tuan Rumah ini, putri kesayangannya pun juga..
“Non Cantik, kenapa menangis!? Aduh..ayo berdiri dulu!”
Ucapan Mbok Dami barusan bak angin lalu. Seperti tidak mendengar apapun, telinga Elya hanya mendengar tangis memilukannya yang meratapi akhir kisahnya dengan Ghibran.
Sad ending..
“Atika, gimana ini? Kok Non Cantik bisa nangis kejer begini..”
Mbak Atika yang usianya beberapa tahun lebih tua daripada Elya, tentu mempunyai banyak praduga tentang alasan Elya menangis tersedu-sedu seperti sekarang ini. Hingga hembusan napas Mbak Atika terdengar. “Mbok Dami kembali ke dapur saja. Non Cantik biar Atika yang urus.”
“Beneran!?” tanya wanita paruh baya itu, demi memastikan. Mbak Atika hanya mengangguk-angguk yakin.
Wanita itu yakin bahwa dirinya bisa menenangkan Elya. Sesama wanita, Mbak Atika tentu jauh lebih pengalaman di atas Elya, statusnya yang baru saja menikah dengan seorang pria tak lantas membuatnya lupa bahwa dahulu ia pernah menangis seperti Elya ini hanya karena satu dua hal. Memang hanya dengan menangis tersedu-sedu mungkin setelahnya kita merasa lega dan semua beban enyah begitu saja.
Sepeninggalan Mbok Dami, tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Mbak Atika langsung membantu Elya berdiri. Awalnya tubuh Elya seperti menolak perlakuan Mbak Atika, tapi lama-lama Elya pasrah juga. Tak lupa memungut tas kerja Elya, Mbak Atika pun membantu Elya berjalan menuju kamarnya.
Sampai di dalam kamar pun, Elya enggan duduk di atas ranjangnya. Ia memilih duduk melantai, lagi. Sama persis seperti sebelumnya. Mbak Atika hanya bisa menghela napasnya. Berusaha untuk sabar dan mengerti bahwa kondisi yang Elya hadapi ini memang berat. Nona Cantiknya itu sepertinya membutuhkan teman berbagi cerita.
Mbak Atika turut duduk melantai. Kini kedua wanita berbeda usia itu duduk bersebelahan. Pandangan mereka sama-sama terarah ke depan, lurus, dengan pikiran mereka masing-masing. Tangis Elya masih terdengar, tetapi sudah tidak seperti sebelumnya. Seiring lelahnya menangis, isakan Elya pun lirih terdengar kini.
Sebagai seseorang yang kini ada bersama dengan Elya, menemani Elya disaat-saat terpuruknya yang entah karena apa. Mbak Atika merasa harus membuka suara. Dengan begitu hati-hati, Mbak Atika lantas berucap, “Non Cantik kalau butuh tempat untuk berkeluh-kesah, bisa kok berbagi sama Mbak Atika. Mbak Atika tungguin sampai puas nangisnya.”
Awalnya Elya masih belum merespon ucapan Mbak Atika. Tetapi beberapa saat kemudian, gadis itu pun mau menoleh pada Mbak Atika. Lantas menghambur ke pelukan pembantu rumah tangga yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri. Elya yang merupakan anak tunggal tentu selalu merasa kesepian. Ia ingin mempunyai seorang kakak untuk berbagi. Maka setelah Mbak Atika menikah pun, Mbak Atika masih belum diizinkan untuk resign. Toh suaminya juga sangat baik dan masih mengizinkan Mbak Atika untuk bekerja di kediaman Maher—Papa Elya.
Di dalam pelukan Mbak Atika, Elya masih berusaha menuntaskan isak tangisnya. Sampai pada akhirnya hening, barulah pelukan Elya terlepas. Tangan Mbak Atika tidak tinggal diam. Diraihnya kedua tangan Elya, dan disatukannya. “Non Cantik sebenarnya kenapa?”
“Aku sakit hati, Mbak!”
“Mas Ghibran lagi? Bukannya sudah biasa, ya?”
Lagi?
Sudah biasa?
Ahh, jangan heran. Mbak Atika ini memang selalu menjadi tempat curhat Elya mengenai Ghibran dan segala sikapnya selama ini yang terkesan tidak pernah membalas perasaan cinta tulus Elya. Wajar saja jika bagi Mbak Atika ini merupakan hal biasa.
Tetapi, mengapa Nona Cantiknya sampai menangis tersedu-sedu seperti tadi? Itu yang menurut Mbak Atika tidak wajar.
“Tapi kali ini benar-benar sakit, Mbak.”
“Kenapa? Mas Ghibran nggak mau diajak dinner? Atau ke mall?”
“Enggak, Mbak!” Elya menggeleng keras. Lagi-lagi air matanya luruh kembali. Sepertinya kali ini memang benar-benar jauh lebih menyesakkan daripada sebelumnya. “Mas Ghibran..hikss..hikss..M—mas Ghibran dua bulan lagi mau menikah, Mbak…”
Seketika itu juga, raut wajah Mbak Atika menunjukkan keterkejutannya. Hal seperti ini sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Lalu ketika muncul, seperti menghancurkan semuanya dalam satu detik. Mbak Atika tentu tahu bagaimana hancurnya hati Elya. Ini benar-benar menyakitkan.
Beginilah resiko dari mencintai dan berjuang seorang diri.
“Non Cantik, Mbak Atika nggak bisa berkata apa-apa lagi selain meminta Non Cantik untuk ikhlas dan sabar. Hal seperti ini memang tidak pernah kita duga sebelumnya. Tapi memang inilah resiko dari mencintai dan berjuang seorang diri. Mbak Atika pernah mencintai seseorang yang tidak pernah mencintai Mbak Atika. Sakit, memang. Tapi ketika Mbak Atika belajar untuk ikhlas dan selalu sabar. Tuhan justru mengirimkan sosok lain yang jauh lebih baik daripada orang yang pernah Mbak Atika cintai itu. Jadi, untuk sekarang ini..Non Cantik hanya perlu ikhlas dan sabar, ya.”
Ketika Mbak Atika hendak memeluk Elya kembali. Gadis itu sudah lebih dulu meluruhkan segala amarahnya. “Tapi susah, Mbak! Aku ‘kan udah pernah bilang, kalau aku cuman mau Mas Ghibran yang nantinya menjadi suami aku. Tapi apa? Mas Ghibran malah milih Ghina-Ghina itu untuk menjadi istrinya. Sakit, Mbak! Sakit.” Elya marah, bahkan ia sampai meraih tasnya dengan kasar dan mengambil undangan yang diberikan oleh Ghibran padanya.
Gadis yang tengah dikuasai oleh amarah itu lantas menyobek-nyobek undangan tersebut di hadapan Mbak Atika. Elya marah. Marah dengan keputusan Ghibran yang dinilainya tidak berperasaan sama sekali. Padahal selama ini, hanya Elya-lah satu-satunya wanita yang selalu memberikan perhatian lebih pada Ghibran. Cinta Elya untuk Ghibran pun sangat tulus. Tidak hanya menurut Elya saja, menurut semua orang yang tahu seperti apa Elya—pasti mereka yakin bahwasannya cinta Elya untuk Ghibran ini benar-benar tulus.
Mbak Atika merasa harus memunculkan sisi tegasnya kali ini. Karena ia tak ingin membiarkan Elya nantinya akan merusakk rencana indah orang lain dan lagi-lagi menjatuhkan harga dirinya. Sangat disayangkan apabila hal tersebut terjadi. Elya Yonna Mehrunisa—Nona Cantiknya itu merupakan wanita yang sangat cantik, baik, ceria, dan satu lagi..sangat cerdas. Andai pria bernama Ghibran-Ghibran itu menyadari segala kelebihan Elya, pasti ia akan bertekuk lutut di hadapan Elya. Namun sayangnya, Ghibran memang sejak awal menunjukkan ketidaktertarikannya untuk menjalin hubungan lebih dengan Elya. Sehingga selama ini sikap baik yang ditunjukkan Ghibran yaaa hanya sekedarnya. Tetapi sialnya Elya selalu saja berharap bahwa suatu saat Ghibran mungkin akan bisa diluluhkannya.
“Terus sekarang Non Cantik mau apa? Mau merusakk segala rencana indah yang telah susah payah Mas Ghibran susun?”
Elya menggeleng masih dengan tangisnya yang tersisa.
“Terus?”
“Aku nggak mau Mas Ghibran nikah, Mbak! Tapi Mas Ghibran jahatt banget. Dia peringatin aku untuk nggak coba-coba merusakk rencana indahnya. Jahatt banget ‘kan, Mbak!?”
Mbak Atika hanya mengangguk-angguk, mencoba untuk sependapat dengan Elya yang masih dikuasai oleh amarahnya itu. Walau sebenarnya, apa yang dilakukan Ghibran memang semata-mata agar rencana menikahnya tidak menemui hambatan karena ada wanita lain yang mencintainya setengah mati. Ghibran tentu tahu bahwa wanita itu adalah Elya. Si gadis ambisius yang tahan banting dengan segala sikapnya selama ini.
Sebagai sesama wanita, Mbak Atika hanya bisa memberikan pelukan hangatnya dan sedikit nasihat Elya. Karena orang yang patah hati biasanya hanya perlu didengarkan. Toh, percuma. Diberi nasihatpun..rasa sakit di hatinya tidak akan langsung sembuh begitu saja. Patah hati ini lebih panjang urusannya!
“Non Cantik?”
“Ya, Mbak..” jawab Elya yang sepertinya sudah sangat lelah karena baru saja memforsir tenaganya untuk menangis.
“Mbak Atika pernah mendengar. Katanya, ‘Kita akan turut bahagia jika orang yang kita cintai bahagia. Sekalipun kebahagiaan yang ia rasakan itu sangat menyakiti kita’. Kalau Non Cantik memang benar-benar mencintai Mas Ghibran, Non Cantik harus ikut bahagia saat Mas Ghibran bahagia. Yaa meskipun itu sangat menyakiti hati Non Cantik,” ujar Mbak Atika yang cukup panjang. Kemudian, mengakhiri ucapannya itu dengan senyum manisnya. Sangat tulus..Mbak Atika sepertinya juga sudah menganggap Elya selayaknya adiknya sendiri.
Baginya segala rasa sakit yang Elya rasakan, turut dirasakannya juga saat ini. Tentu selama ini sudah banyak perjuangan yang Elya lakukan hanya demi bisa meluluhkan hati Ghibran. Tetapi ternyata takdir berkata lain. Ghibran justru bertemu dengan pujaan hatinya yang lain di muka bumi ini.
Merasa terpukul, itu pasti. Tetapi Elya semakin tertampar oleh kenyataan. Ucapan terakhir Mbak Atika benar-benar mengena di hati Elya. Bahkan saat ia sudah seorang diri di dalam kamarnya pun, suara terakhir Mbak Atika masih menggema. Elya merasa sangat bodohh. Jika memang mencintai Ghibran berarti harus berteman dengan rasa ikhlas dan sabar, seharusnya Elya melakukannya.
Karena memang hanya itulah yang bisa Elya lakukan.
“Tapi ini nggak adil, Tuhan. Elya nggak minta banyak. Elya cuman minta Mas Ghibran. Tapi, kok, nggak bisa!?” seru Elya seorang diri di dalam kamarnya. Matanya lantas menatap nanar kertas undangan yang sudah berupa kepingan karena berhasil ia robek-robek itu. Biarlah.. ia tidak peduli dengan undangan tersebut. Padahal di sana tertera tanggal pastinya yang belum sempat Elya baca.
Masa bodo!
Memangnya Elya peduli dengan pernikahan Ghibran dan Ghina?
***
Malam harinya, Elya tak terlihat di meja makan. Maher dan Eva tentu merasa khawatir. Kedua orang tua itu merasa ada sesuatu yang mungkin terjadi pada Elya tanpa sepengetahuan mereka. Mbok Dami dan Mbak Atika hanya diam saja, tidak berusaha menceritakannya karena sudah pasti Elya tidak ingin kedua orang tuanya tahu dari bibir orang lain. Biarlah gadis itu sendiri yang menceritakan keluh-kesahnya pada sang papa dan mama.
Kekhawatiran Maher membuatnya seperti tidak begitu bernafsu menyantap makan malamnya ini. Biasanya ia selalu saja mendengarkan ocehan Elya. Ocehan tentang seharian ini yang terjadi saat Elya bekerja di kantor Dana, dan pastinya juga diselipi mengocehkan tentang Dana yang perfeksionis. Yang hal itu kerap membuat Elya kesal dan gerah dengan segala sikap Dana. Untung sepupunya sendiri, coba kalau orang lain—Elya mungkin akan mengirimkan paket gas beracun!
Melihat kekhawatiran yang nyata di raut wajah suaminya, Eva kemudian mengusap pelan lengan sang suami. “Nanti biar Mama yang samperin Elya dan bawakan makan malamnya ke kamar. Kalau perlu, Mama suapin. Papa makan yang banyak, ‘kan seharian sudah sibuk bekerja..”
“Iya, Ma..” jawab Maher dengan mengukir senyum tipisnya. Kekhawatirannya pada putri tunggalnya itu memanglah sangat wajar. Pasalnya hanya Elya harapan Maher dan Eva satu-satunya. Elya-lah yang kelak akan mewarisi semuanya.
Seusai makan malam dalam keadaan hening tanpa Elya itu, Eva langsung membawa sebuah nampan berisikan makanan dan minuman untuk putri kesayangannya yang tidak mau ikut makan malam. Hmm, ada apa dengannya? Mungkinkah karena ulah sang sepupu yang tak lain bosnya di kantor, yang membuat Elya sesibuk ini sampai tidak sempat untuk makan bersama dengan kedua orang tuanya di meja makan.
Melewatkan makan malam bukanlah hal yang baik. Tidak baik untuk kesehatan. Serta tak baik pula untuk kebersamaan. Mau bagaimana pun, makan malam bersama yang rutin ada setiap malam itu selalu dijadikan Maher dan Eva untuk berinteraksi dengan Elya setelah seharian mereka semua sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Tak terkecuali juga Eva. Selain menjadi seorang ibu dan nyonya besar. Eva juga membuka usaha toko kue yang sudah berjalan beberapa tahun belakangan ini. Berawal dari kebosanannya yang selalu berada di rumah dan tidak boleh mengerjakan pekerjaan rumah, Eva pun bertekad membuka toko kue pada waktu itu. Untungnya justru didukung oleh sang suami juga putri semata wayangnya. Syukurlah.. hingga sekarang toko itu masih saja laris pembeli dan Eva juga membantu banyak anak muda terutama para anak gadis untuk bekerja di toko kuenya. Ada sekitar tiga sampai dengan empat orang yang saat ini bekerja di “Nyonya Eva Bakery”. Maka dari itu, beliau juga terkadang sibuk mengurus toko kuenya.
Tok…tok…tok..
“Elya!”
“Sayang!? Ini Mama. Buka pintunya, dong!”
“Mama bawa makanan ini!!”
Tak ada sahutan apapun dari dalam sana. Eva yang kepalang khawatir pun mencoba membuka knop pintu kamar sang putri. Untungnya dalam keadaan yang tidak terkunci. Eva pun lantas masuk ke dalam kamar Elya.
Ketika sampai di dalam kamar, keadaan kamar Elya sangat gelap. Seperti tidak ada tanda kehidupan di dalam sini. Tidak biasanya Elya mematikan lampu kamarnya seperti ini. Mungkin beberapa kali saja, ketika gadis itu memang menginginkan tidur dengan kondisi gelap.
Masih mencoba memanggil-manggil nama putrinya, sembari tangannya mencari saklar lampu. Eva pun pada akhirnya menemukannya, dan langsung menyalakan lampu kamar putrinya ini.
Klik.
Tatkala menyala, Eva terkejut bukan main. Bahkan nampan berisikan makanan dan minuman yang ia bawa jatuh ke lantai begitu saja. Pemandangan di hadapan Eva saat ini benar-benar mengenaskan.
Kondisi kamar Elya berantakan. Sepertinya gadis itu habis mengamuk. Sedangkan Elya?
Elya tengah tidur terlentang di kasur empuknya.
Eva masih tidak percaya dengan pemandangan yang didapatinya. Ia lantas mendekat pada Elya yang tengah tidur dalam posisi terlentang itu. Putrinya masih mengenakan baju yang tadi pagi ia gunakan untuk pergi ke kantor, benar-benar jorokk—pikir Eva. Tetapi ketika sekali lagi Eva mencoba mengamati putrinya dengan seksama. Disitulah Eva baru sadar bahwasannya Elya tidak sedang tertidur.
“Elya?” Eva mencoba menepuk-nepuk kedua pipi Elya. Tak ada respon sama sekali di sana.
Eva sangat takut saat ini. Sekali lagi ia mencoba memanggil Elya dengan suara yang sedikit keras. “Elya!?”
“Elya Sayang!? Bangun, Cantik! Ini Mama..”
“Elya, kamu kenapa!?”
“PAPA!! PAAA! ELYA, PA!!!”
***