LoD_22

1710 Kata
“Dek. Coba cerita dulu sama Tante, kamu ada masalah apa. Kata Kakak tadi, kamu mau beli rumah di Kepulauan Indrigiri. Itu jaraknya satu hari satu malam perjalanan dari sini, loh. Di kerjaanmu ada masalah?” Tante tiba-tiba aja bertanya mengenai rencana aku membeli rumah di kepulauan yang jauh dari sini, ketika aku baru saja duduk dan menyendokkan nasi ke piringku. “Untuk berjaga-jaga aja, Tan. Kerjaanku ini, kadang ada resikonya, berhubungan sama proyek-proyek rahasia pemerintah, bahkan mungkin orang jahat yang aku gak tau. Jadi kalo terjadi hal-hal di luar kendaliku, kita bisa menyelamatkan diri ke rumah itu.” Hanya sekilas saja aku mencoba untuk menjelaskan ke Tante, aku gak mau bicara panjang lebar karena sekarang aja, wajah Tante terlihat khawatir banget. “Kalo memang kerjaanmu berbahaya gitu, ya, gak usah diambil proyek-proyek yang membahayakan gitu, Dek. Ngurus program absensi di beberapa sekolah selama ini kan udah cukup buat bantu kamu, bantu Tante. Gak usah ngoyo, Dek. Jangan tergiur sama nilai gede, tapi kerjaannya berbahaya.” Aku tidak menyahuti lagi ucapan Tante, hanya menganggukkan kepala, untuk mempersingkat waktu agar pembahasan ini tidak terlalu panjang dan terlalu dalam, sehingga bisa bikin Tante makin parno. Aku menuju ke kamar Kakak, “Kak. Aku masuk, ya.” setelah mendapat izin, aku langsung masuk dan menanyakan apakah uang yang aku pinjam itu udah ditransfer, “Udah ditransfer, Kak, uang yang mau aku pinjam?” dia menepuk jidatnya, tanda bahwa dia lupa mengirimkan uangnya, “Bentar, aku langsung transfer sekarang. Untung limit transfer harianku udah aku upgrade. Kamu beneran, mau cari rumah di Pulau Indrigiri? Kapan mau ke sana?” aku menganggukkan kepala, “Besok. Sekalian ada yang mau aku beresin juga.” Kakak menganggukkan kepalanya, “Udah aku transfer, Dek.” Aku mengucapkan terima kasih dan berjalan ke pintu hendak keluar, “Kak. Kalo bepergian, hati-hati, ya. Idupin GPS mobilmu, biar aku bisa cek keadaan Kakak.” Dia tertawa, “Gayamu, Dek. Kayak kakaknya ini anak kecil aja.” Aku memasang wajah serius dan mungkin Kakak bisa menangkapnya, “Iya, Dek. Aku bakal hati-hati, tenang aja. Ada dua temen cowok Kakak yang pasti jagain kalo kita pergi.” Aku mengangguk, meskipun masih khawatir, tapi ada sedikit lega, “Pokoknya jangan pernah sendirian. Jangan percaya sama orang yang gak dikenal. Kalo aku ada perlu apa-apa sama Kakak, aku pasti langsung hubungin Kakak, gak mungkin lewat orang lain.” Kakak mendecak, mungkin dia kesal, “Iya, ih. Cerewet banget. Tenang aja.” Setelah memastikan Kakak aman dan uang dari Kakak masuk, aku kembali ke kamarku, untuk mendownload data dari data base proyek like-nya Kakak. Sudah lumayan juga viewe Kakak yang ikut program ini dan aktif juga. Mungkin karena hadiah dan sponsornya juga banyak dan menggiurkan, jadi banyak yang tertarik. Hadiah utamanya juga lumayan banget, selain bisa dinner sama Kakak, pemenang juga dapet voucer menginap di hotel tiga hari dua malam udah include breakfast, lunch, dinner. Belum lagi hadiah uangnya, lumayan banget. Juara dua dapat lima juta, juara tiga dapat dua juta lima ratus. Terus yang gak menang pun, dapat hadiah berupa produk-produk yang disediakan, gratis. Ongkos kirim pun ditanggung pihak sponsor. Ketika sedang melihat data tersebut, handphoneku berbunyi, ada pesan masuk, “Ri, hari ini aku mau ketemu sama kamu, bisa, kan?” aku tidak berniat untuk bertemu dengan siapa pun sekarang ini. Toh kalo ada hal yang mau ditanyakan sama Mas Dimas atau Mas Viko mereka bisa mengirim email. Karena semua prosesnya sekarang tergantung sama mereka. Karena malas, aku mengabaikan pesan tersebut dan tidak membalasnya. Setelah memeriksa semua data, mencocokkan dengan form yang masuk, dan sudah tidak ada selisih antara nomor handphone juga data, aku menghubungi Lexi, teman ketika aku di bangku sekolah menengah dan sampai sekarang masih sering membantuku mengerjakan beberapa proyek dan selalu bisa diandalkan untuk mencari berbagai informasi. Niatku hari ini mau meminta dia untuk mencari informasi mengenai Delisa, Mas Dimas, dan juga Mas Viko, latar belakang mereka, asal usul, hingga kalo memungkinkan semua proyek yang pernah mereka kerjakan, “Lexi, gw minta tolong untuk cari donk, data-data mereka. Gw lagi ada proyek sama mereka, aman apa enggak nih.” Hanya itu yang aku minta ke Lexi, “Untuk jelasnya, siang ini jam abis zuhur kita ketemu di tempat biasa, ya. Jangan pake telat.” Itu pesanku sama Lexi, karena manusia unik satu ini, sering banget dateng lebih dari jam yang udah disepakati. Tidak berapa lama pesan balasan masuk dari Lexi, “Mereka ini bahaya. Lu kenal sama mereka di mana? Idup kok gak pernah lurus-lurus aja, sih, Ri. Demen banget nyerempet masalah?” jawaban tidak terduga dari Lexi tadi membuatku bingung, “Mereka berbahaya apanya?” lama tidak ada balasan, lalu handphoneku berdering, “Sekarang aja kita ketemunya. Kebetulan gw di luar, deket sama tempat biasa kita ketemu. Nanti semuanya gw jelasin. Jangan di handphone, rawan disadap. Handphone lu ini, aman apa enggak?” aku menjawab pertanyaan Lexi, “Aman, lah. Gak pernah lepas nih handphone dari tangan gw. Gak ada yang pegang kecuali gw.” Setelah menutup telepon, aku jadi kepikiran juga, apa iya handphoneku disadap? Aku gak kepikiran sampe sejauh itu. Karena memang tidak ada gerakan yang mencurigakan dari mereka, Delisa, Mas Dimas maupun Mas Viko. Setelah mematikan laptop, komputer, dan CPU, aku bergegas keluar, “Tan, aku mau ketemu sama Lexi, ya. Kayaknya pulang agak sore.” Tante menganggukkan kepala, “Kenapa gak pacaran aja, sih, sama dia. Dia baik, loh, Dek. Jadi kamu kalo kemana-mana ada yang anterin, aman. Gak pegi sendiri begitu.” Aku tertawa, ngakak, “Aku? Pacaran sama Lexi? Ya, gak mungkin banget, lah, Tan.” Dan agar tidak terlalu banyak lagi pertanyaan dan Tante yang akan terus menggoda aku perihal Lexi, aku bergegas ke garasi, menghidupkan motor, lalu pergi menemui Lexi di tempat yang biasa kami bertemu. Menempuh waktu setengah jam dari rumah ke Kafe Tinggal, nama kafe tempat kami janjian, aku bisa melihat Lexi menungguku di depan kafe. Setelah memarkirkan motor, aku melambaikan tangan ke arahnya, “Udah lama? Udah sampe duluan aja.” Lexi seperti biasa, tersenyum manis. Tampan dan kerennya anak ini berpenampilan tidak pernah berubah sejak kami sekolah dulu, “Gw udah pesan tempat di pojokan situ.” Dia menggandeng tanganku dengan setengah menariknya, “Iya. Santai aja ih. Ini tangan gw kenapa diseret-seret.” Aku bisa melihat wajahnya seperti khawatir. “Duduk.” Aku tau, kalo Lexi sudah begini, berarti ada yang gak beres. “Lu kenal di mana sama mereka?” aku terdiam sesaat, “Ri. Lu kenal di mana sama mereka?” aku tergagap, “Jadi, awal bulan lalu, temenku info ke gw info kalo kantornya butuh orang yang bisa bikin program untuk mengetahui data konsumen yang beli barang-barang dari suatu perusahaan. Awalnya gw pikir, ya, itu semacam untuk survey konsumen aja. Ternyata, setelah gw tau, gw dateng ke tempat mereka, si pemilik proyek, mau tau semua data base konsumen mereka dengan cara menyadap hanphone melalui nomor handphone yang konsumen berikan ketika mereka membeli produk-produk tadi. Dengan imbalan, mereka akan diberikan hadiah dan diikutkan dalam undian. Lumayan gede hadiahnya, umroh sama rumah.” Aku bia melihat wajah Lexi pucat, “Sekarang juga, lu matiin handphone lu.” Dengan buru-buru aku mematikan handphoneku, “Tante sama Kakak, di mana?” ketika Lexi menyebutkan mereka, aku benar-benar khawatir, “Ada apa sama mereka?” tapi alih-alih menjawab pertanyaanku, dia justru menelepon seseorang, “Hai, Tan. Ini Lexi. Iya, nih. Ri lagi sama aku. Tan, tolong, hari ini Tante jangan ke mana-mana, ya. Bilang sama Kakak juga. Tutup dan kunci pintu rumah. Buat seolah-olah di rumah itu tidak ada orangnya. Sebentar lagi lexi ke sana. enggak, enggak ada apa-apa, Tan.” Aku menggoyang-goyangkan tangan Lexi, meminta penjelasan, “Mereka ini komplotan hacker. Lu gak tau, kalo nomor lu itu udah disadap? Gak heran, hah, rumah lu bisa diketahui sama mereka bertiga?” aku menundukkan kepala, “Tolong lindungin Tante sama Kakak. Rumah yang kemarin, udah lu bayarin, kan? Uangnya udah gw transfer ke rekening lu semua. Kalo ada apa-apa sama gw, tolong bawa Tante sama Kakak ke sana, ya.” Lexi menggelengkan kepalanya, “Gak aka nada apa-apa. sekarang, lu tunggu di sini, gw ambil mobil abis itu kita ke rumah lu.” Aku menggeleng, “Motor gw?” Lexi menggeleng tidak sabar, “Situasi begini lu masih mikirin motor, ih. Tunggu gw di pintu masuk, jangan keluar sebelum lu liat mobil gw.” Aku menganggukkan kepala. Setelah Lexi pergi, aku duduk tidak tenang. Karena butuh ke kamar mandi, akhirnya aku berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di dekat pintu masuk. Ketika selesai urusanku di kamar mandi, aku belum melihat tanda-tanda mobil Lexi, karena penasaran, mungkin Lexi sudah menungguku di parkiran, aku melihat ke arah luar, tapi sedetik kemudian, aku sesak napas, ada seseorang yang membekap mulutku, “Diam. Atau Kakak dan tantemu tidak akan selamat.” Pria itu memperlihatkan pergerakan di dalam rumahku, dan seketika dunia gelap. *** “Belum sadar juga, Del?” sayup-sayup aku mendengar suara seseorang yang aku kenal, “Belum, sayang. Khawatir banget. Nanti juga kalo dia siuman aku kasih tau.” Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, buram, di sini pencahayaannya remang, hanya terlihat sebuah meja dan dua buah kursi di pojok ruangan, “Nah. Bintang tamu kita sudah siuman, nih.” Benar dugaanku, suara yang aku dengar tadi adalah Mas Dimas dan Delisa? Aku mengerjapkan mataku berulang, memastikan bahwa yang ada di depanku ini benar Delisa. “Kenapa. Kamu kaget, ya? kok bisa aku dan Mas Dimas ada di sini? Andai saja hari ini kamu tidak menemui lelaki sialan itu, Lexi. Kamu pasti akan selamat melewati semuanya.” Delisa berkata seperti itu dengan wajah penuh dengki. “Ada salah apa dengan dia? Bukannya kalian yang memang jahat dan mau menjebakku? Mas Dimas, aku percaya sama kamu, Mas. Aku mengikuti semua arahan darimu, tapi ternyata kamu sama busuknya dengan mereka. Apa sebenarnya yang kalian inginkan, UANG? AMBIL SEMUA UANGKU, AKU TIDAK PEDULI. LEPASKAN AKU!” ucapku sambil berteriak. Tiba-tiba pipiku memanas, Mas Dimas menamparku, “Diam. Tolong diam, Ri. Jangan buat aku semakin kesal denganmu.” Hening. Mereka berdua keluar dari ruangan. Aku mencoba membuka kedua tangan dan kakiku yang diikat. Aku mencoba untuk meraih handphoneku. Sia-sia. Handphoneku sudah tidak ada di saku celanaku. Bayangan Tante dan Kakak menari di benak membuat air mataku luruh, bagaimana keadaan mereka sekarang, aku mengkhawatirkan mereka berdua.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN