LoD_12

1050 Kata
Aku mencoba menjelaskan lebih lanjut ke Pak Danar dan mereka yang ada di ruangan ini, “Seperti misalnya begini, pihak Pak Danar bekerja sama dengan mall yang menjual produknya, akan memberikan diskon berapa persen atau hadiah kepada konsumen yang mau scanning barcode tersebut. Dari situ, barcode tadi akan terhubung langsung ke handphone si konsumen, dan Pak Danar atau tim bisa mengirimkan semacam pesan promosi. Nah, pihak Pak Danar bisa mencantumkan pada form tersebut data apa saja yang ingin diketahui dari konsumen. Mungkin nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, status pernikahan, jumlah anak atau jumlah tanggungan, dan yang lainnya.” Aku mencoba menarik napas sejenak, sepertinya urusan ini bakal panjang, program ini, entah mengapa aku mencium ada sesuatu yang besar di baliknya. “Tentu saja Pak Danar harus memberikan imbalan lagi ke konsumen, sebagai daya tarik agar mereka meluangkan waktu untuk mengisi form data tersebut.” Lanjutku lagi. Terlihat Pak Danar menganggukkan kepalanya, sepertinya dia sudah mengerti apa yang aku coba jelaskan, tapi masih ada hal yang belum sesuai dengan keinginannya. “Tapi, apakah ini efektif?” aku menganggukkan kepala dengan yakin, lalu buka suara lagi untuk mencoba menjelaskan, “Efektif. Tapi dengan syarat, kalo tim marketing Pak Danar mampu membuat konsumen tertarik dengan tawarannya. Konsumen akan sangat rela menghabiskan waktu mereka semenit dua menit untuk suatu hadiah, sekali lagi, hadiahnya harus menarik, loh, ya.” terlihat Pak Danar menyilangkan kedua tangannya dan dibawa ke dagu, seperti sedang berpikir. Kemudian dia menggelengkan kepala, “konsep yang kamu tawarkan ini menarik, hanya saja, ke-efektivitasan-nya masih harus diuji dan itu akan makan waktu lama. Bisa, gak, kalo dengan konsumen yang scanning barcode, langsung ketahuan data-datanya dari nomor telepon yang dia pakai, IMEI terdaftar atas nama siapa.” Aku terdiam, cara ini sangat memungkinkan, tapi beresiko, dengan ragu menganggukkan kepala, “Bisa aja sih, Pak. Tapi ini akan sangat beresiko dan membutuhkan kerja sama dengan pihak aplikasi scanner, pihak provider, dan pihak brand handphone yang digunakan konsumen tersebut. Dan itu tidak mudah.” Pak Danar kembali bertanya, “Bisa kamu retas, kan?” kali ini pertanyaannya membuatku benar-benar terkejut. “Bisa, Pak. Tapi saya tidak mau.” Aku dengan tegas menolak, dia tersenyum lalu menjentikkan jarinya “Well … di situlah kita perlu bantuan Dimas dan Viko.” Pak Danar menengok ke arah mereka berdua. Yang dituju, seperti sudah tau bahwa mereka akan dipresent, menganggukkan kepala dan tersenyum ke arahku, dan aku bisa melihat Mas Dimas maju ke arahku, bukan, ke arah podium maksudnya, “Hai Ri.” Ucapnya, aku menggeser berdiriku ke samping, “Jadi, tugas Ri hanya sampai membuat barcode untuk setiap jenis produk yang ada pada perusahaan Pak Danar, yang ada di semua mall, dan tentu saja ini memakan waktu, karena membuat program barcode tidak muda, apalagi dengan banyaknya jenis barang dan produk yang diproduksi dan dipasarkan perusahaan Pak Danar. Setelah semua barcode selesai dikerjakan, sisanya Ri bisa menyerahkan data tersebut ke kami, kami yang akan melanjutkan proses selanjutnya, yaitu, menyambungkan barcode tadi ke data base yang dimiliki provider, perusahaan perakit handphone, dan yang lainnya.” Aku terdiam, menganga sedikit. Kenapa Mas Dimas dan Mas Viko mau terlibat untuk urusan begini. Ketika sedang mencoba mencerna semua, menimbang apakah akan aku lepas saja proyek ini, Mas Dimas mengerling ke arahku, dan membetuk tanda “Oke” pada jarinya. “Berarti proyek ini sudah bisa dijalankan, ya. Ri, honormu untuk termin pertama sudah ditransfer, ya. Karena proyek ini besar, info yang diberikan Dati kemarin saya ganti, program ini bernilai lima puluh juta. Dengan rincian pembayaran, uang muka sebesar lima puluh persen dari nilai total, yaitu dua puluh lima juta, lalu termin kedua akan dibayarkan ketika proyek selesai dan siap diuji coba sebesar sepuluh juta, sisanya dibayarkan full ketika program sudah running dan tidak ada kendala dengan masa pemeliharaan selama tiga bulan. Jadi setelah program running, tiga bulan ke depan, kamu masih harus bertanggung jawab atas program ini.” Aku menarik napas panjang, rasanya kok enggan banget ngurus proyek yang banyak teka teki begini. “Saya bisa mempertimbangkan dulu, kan, Pak?” aku melihat wajah kaku Pak Danar, “Setelah kamu masuk ke ruangan ini, kamu tidak bisa mundur. Saya pikir, Dati membawa teman dan orang yang memang sudah siap kerja.” Aku bisa melihat wajah Dati pucat, lebih ke arah memelas melihat ke arahku. Akhirnya, aku menyetujuinya, mau tidak mau. Kasihan Dati, “Baiklah. Tapi saya juga minta perjanjian hitam di atas putih, jika terjadi sesuatu pada program ini, apalagi menyentuh ranah hukum, saya dibebaskan dari segala bentuk ancaman, tuntutan, dan hukuman.” Pak Danar tertawa, bos Dati tertawa, terpaksa, bisa dilihat dari wajahnya, dan semua orang di ruangan ini juga tertawa, “Tenang saja, Ri. Kamu hanya membuat barcode, tidak lebih.” Aku bergeming, “Itu syarat dari saya, Pak. Jika tidak ada itu, maka saya akan mundur dari proyek ini. Uang yang sudah ditransfer akan saya kembalikan.” Aku tidak mau mengambil resiko, biarlah aku kehilangan proyek puluhan juta, asal tidak mengancam keamanan aku, Kakak, dan Tante Andriane. Demi apa pun, keselamatan mereka adalah prioritasku. Ruangan hening beberapa menit, aku bisa melihat Pak Danar dan bosnya Dati sedang berdiskusi, mungkin, dengan suara bisik-bisik. “Oke. Kita akan membuat surat pernyataan dan perjanjian tersebut. Tapi kamu juga tidak bisa membicarakan atau membocorkan proyek ini ke mana pun. Jika sampai proyek ini bocor, maka jika terjadi sesuatu dengan proyek ini, kamu juga akan ikut terseret.” Aku memejamkan mata, mencoba berpikir cepat, dengan memperhitungkan berbagai hal, “Sepakat. Tapi saya minta honornya dinaikkan. Dua ratus juta atau batal.” Uang ini akan aku gunakan untuk membeli sebuah rumah sederhana di pelosok. Jadi jika terjadi sesuatu yang membahayakan keluargaku, aku bisa lari dan bersembunyi di sana. Pak Danar terlihat terkejut, “Kamu sedang tidak berada pada posisi yang bisa tawar menawar, Ri.” Aku mengangkat bahuku, “Ya, kalo begitu, saya batal ikut dalam proyek ini, Pak. Kan ada Mas Dimas dan Mas Viko yang pasti jauh lebih hebat dari saya.” Ucapku, mencoba mempertahankan apa yang jadi keputusanku. Terlihat Pak Danar sedang berpikir, aku gak menyangka urusan ini bakal lama, memakan banyak waktu untuk saling tawar menawar. Aku pikir proyek ini proyek biasa saja, tapi ketika mengetahui bahwa akan menyangkut data-data pribadi banyak orang, proyek ini berbahaya. Data pribadi banyak orang mereka kumpulkan dan aku tidak tau data tersebut akan digunakan untuk apa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN