Filosofi Pohon Pisang

1154 Kata
"Selaras apakah kita sudah masuk pedesaan?" Giliran Leandra yang bertanya, setelah mengamati jalanan di depan terlihat lenggang dan sedikit menyempit, pada sisi kanan dan kiri tampak rumah mulai berjarak. Kadang ada rumah kadang berupa tanah kosong berisi tumbuhan. Suasananya pun sedikit unik, di depan pintu gerbang atau jalan memasuki pelataran halaman rumah. Pasti terdapat bambu yang melengkung lalu janur dipasang seperti rambut yang menjuntai ke bawah. Untuk beberapa rumah yang lebih modern janur itu berubah menjadi kain warna-warni yang menjuntai masih melengkung di pintu gerbang masing-masing rumah. Anehnya kadang pada lengkungan janur tersebut terdapat tandan pisang yang terikat kadang disisi kanan atau kiri. Belum lagi lampu yang menghiasi setiap rumah kelap-kelip menawan pandangan mata. Bukan hanya Leandra yang tercengang sepertinya makhluk-makhluk diam di kursi belakang juga larut dalam pengamatan budaya unik yang baru pertama kali mereka lihat. "mengapa di setiap gerbang gang selalu diberi hiasan berupa janur dan pohon pisang?" Nana tidak tahan atas rasa penasarannya. "Em.. kalian baru lihat ini pertama kali?" pertanyaan Selaras dijawab dengan anggukan oleh mereka yang masih larut dalam idiosinkratis[1] suasana menyambut Ramadan versi kota kecil bernama Trenggalek. "Bagi kami, dalam fallsafah Jawa, Janur bermakna sejane ning Nur 'Harapan pada Nur Ilahi' dan kuning berarti kalbu kang wening 'hati yang bening/bersih'. Janur kuning yang menjadi gerbang masuk tiap halaman rumah bisa dimaknai sebagai niat dari hati yang bersih untuk siapa pun yang akan bertamu. Termasuk harapan datangnya tamu istimewa mereka di malam-malam ganjil atau malam lailatul qodar yaitu malam ketika para malaikat turun terutama malaikat jibril dengan izin Tuhan akan mengatur segala urusan. Dari situlah masyarakat kami dengan budaya asimilasi lokalnya berhajat salah satu tamunya adalah bagian dari urusan Jibril di malam spesial, begitulah cara kami memohon ridho Tuhan Yang Maha Esa." Jelas Laras panjang lebar. "Jadi ini semacam peleburan antara budaya dan agama? Begitu ya..," Martin ikut penasaran. "Sepertinya begitu," malah Nana yang menjawab. "Lalu apa filosofi pohon pisang?" Leandra memelankan mobilnya dia turut merunduk ikut mengamati rumah-rumah warga yang dia lalui pada kanan kiri sisi jalan. "filosofi pohon pisang Raja lebih tepatnya, memang sebenarnya hanya ada satu jenis pisang yang digunakan," jelas Laras. "Oh, mirip tradisi pernikahan Jawa" ini suara Rio yang dari tadi diam. "Benar, pisang raja dipilih sebagai simbol doa terkait kemakmuran dan keluhuran seperti raja dan ratu selain itu juga merupakan lambang terang ke arah kebahagiaan atau Ngudi ambabar tuwuh." "Hah? Apa itu? Aku juga keturunan Arab Jawa, hehe tapi Jawa Surabaya, tidak tahu bahasa apa itu?" Nana kian penasaran. "Itu artinya terpilih dan terpuji dalam meraih kesejahteraan sandang, pangan dan papan (busana, beksana lan sasana). Bisa memenuhi kebutuhan busana, beksana dan sasana adalah syarat mutlak bagi orang jawa untuk dikatakan sebagai masyarakat makmur sejahtera, semacam itu deh" senyum Selaras menutup penjelasan dam mampu menyuguhkan wajah-wajah terpukau. Diskusi mereka berlanjut ke hal-hal yang lebih kritis, "Di aku juga ada yang seperti ini, misalkan kami yang beragama Kristen dimakamkan dengan cara Kristen tapi juga disembahyangi seperti pemakaman Tionghoa kuno. Masalahnya nggak semua keluarga setuju, seperti ketika opungku meninggal dunia, jadinya ribut antar keluarga," Martin turut bercerita. "apalagi aku Islam keturunan Arab, kebanyakan untuk Islam dengan mazhab tertentu mengenggap apa yang aku lihat hari ini bisa di kategorikan penyimpanan walaupun filosofis-nya bagus" Nana menimpali ungkapan Martin, dua orang ini bicara tidak ada hentinya saling bertukar pikiran dalam ruang diskusi yang tak terjamah oleh yang lain. "Jangan terkejut" lirih Leandra melihat ekspresi Selaras termenung mendengar pembahasan mahasiswa kedokteran vs mahasiswa psikologi yang dapat di kategorikan cukup berat. "Dua orang itu emang begitu" lanjut Leandra. "Seperti adu argumen?" "Kadang mereka berdebat, tapi tidak ada lima menit baikkan lagi, kayak tidak ada apa apa dan tidak terjadi apa apa. Melerai adalah kegabutan[2] tak berarti" Selaras tersenyum mendengar ucapan Leandra, dan pemuda ini nyengir melihat raut wajah mencair Laras. . . "belok kiri ya..," pinta Selaras. Sejalan kemudian Leandra menyalakan lampu sen dan mobil mereka memasuki jalanan bukan aspal. Jalan kampung? Begitu benak Leandra memperkirakannya, sebab dia harus berbagi tempat dan saling menunggu ketika berpapasan dengan mobil lain. Memang jalanan yang terlihat di depan mirip lantai cor hasil swadaya masyarakat. walaupun di sisi kanan dan kiri cukup lebar, mobil tidak bisa serta merta melaju dengan mudah sebab sisi tersebut berupa tanah liat. Dalam upaya Leandra yang sedang berkonsentrasi mengemudi, Nana malah ribut ingin turun. "Kau tidak lihat! Kalau kita berhenti mobil ini akan memakan separuh badan jalan" Jengkel Leandra. "Ih, kenapa sih Leandra marah-marah? Aku cuma ingin foto nggak lama kok" Nana bahkan membalas Leandra dengan juluran lidah. "Tidak apa-apa kita turun saja di depan dekat gang itu ya?" reda Selaras. "Nggak masalah nich? Kalau aku di maki orang karena parkir sembarangan aku nggak mau tahu" tiap kata yang keluar dari mulut Leandra memang cenderung bikin hati panas. Patahan intonasinya sudah mirip pemeran pria antagonis. Ini Trenggalek bukan Jakarta, tenang saja, mendekati magrib seperti ini jarang sekali ada mobil yang lewat." reda Selaras. Dan benar, di luar sangat menakjubkan padahal tempat mereka berhenti saat ini di depan tanah kosong. Tapi hiasan di atas kepala mereka begitu indah. Leandra, Rio, Martin dan Nana yang baru keluar dari mobil serta merta menangkap panorama kerlap kerlip lampu yang menyala berpadu dengan bendera segitiga warna warni bergelantungan sepanjang mata memandang. Hal yang paling mengesankan ialah tiap-tiap depan rumah terdapat lampion cantik yang bentuknya sesuai kreativitas sang pemilik rumah. Nana menghambur berlarian di tengah jalan lenggang, dia meminta Rio mengambil foto dirinya, sengaja sekali Rio yang di pilih karena mahasiswa arsitektur ini punya hobi lain yakni fotografi. Tentu saja hasil bidikan Rio lebih dari memuaskan. "Kau sedang apa?" pria berambut panjang itu menatap Selaras dengan alis menyatu. "Perjalanan menuju rumahku butuh 30 menit, padahal tak lama lagi sudah masuk waktu berbuka" terang Laras dengan buah pisang dalam dekapannya, ternyata pemilik pita ceri pudar ini meminta mobil parkir dekat gang dikarenakan ada setandan buah pisang masak yang terpasang pada tiang Janur. "Apakah ini tidak dikategorikan mencuri?" tentu saja Selaras turut mengerutkan keningnya. Kemudian gadis ini tertawa renyah, "tentu saja tidak, siapa pun boleh mengambilnya, memang sengaja dipasang buat para pengendara yang melintas. Bantu aku membawa lebih banyak!" pinta Selaras. "kenapa kita tidak membeli camilan atau kue di minimarket," (untuk buka sementara) "Tidak ada minimarket di sini" "Ah, yang benar saja?" "Buat apa aku berbohong" Selaras berbicara sambil meletakkan satu per satu buah pisang yang dia ambil perlahan di atas dekapan tangan Leandra. "Tidak ada B Mart di sini? Papa payah!" _Ih, anak ini ngomong apa? Nggak jelas banget_ . . [1] Idiosinkratis : ungkapan yang sering digunakan untuk merujuk pada situasi yang tidak biasa. [2] Kegabutan dari kata gabut : gabungan dua buah kata yaitu gaji dan buta. Arti gabut bisa dideskripsikan sebagai kondisi di mana seseorang sedang tidak memiliki kegiatan atau aktivitas tertentu di mana pun mereka berada. Dalam ungkapan Leandra bermakna tidak ada pentingnya alias percuma saja. _______________ NGGAK FOLLOW AKUN AKU DOAKAN BUKANYA PAS AZAN MAHGRIB FIX!! kwkwkw emang buka pasti mahgrib. FOLLOW semua n****+ itu penting bagi Author kaleng-kaleng hehehe bantu ya...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN