Kemarahan

1409 Kata
   Aku mulai membuka mata saat alarm di nakas berbunyi, ku lihat masih jam tujuh pagi, rasanya aku ingin tidur kembali, terbiasa bangun siang saat liburan membuatku malas bergerak dari perapianku, namun aku sadar mungkin nanti saat bertemu dengan Rendra dan yang lainnya aku bisa menghilangkan kejengkelan yang masih saja bersemayam di hatiku.       Tak berapa lama aku sudah siap dengan seragam putih abu-abu, rambut ku kuncir kuda dan sepatu hitam. Ku turuni anak tangga dengan cepat takut aku telat. Saat sampai di ruang makan sudah ada mama dan papa yang menungguku. Ingin sekali aku langsung pergi saja namun ku urungkan karena panggilan sang tuan Damar Subastiab yang terhormat.    "Sarapan sini dulu Vin," ajaknya, ingin menolak namun tak bisa, yang membuat aku mau tak mau harus mendekat. Ku tarik kursi di samping kiri papa. Ku ambil Sandwiches yang sudah mbok siapkan pikirku. Ku makan habis isi piringku. "Rasanya beda."  batinku. Namun aku tak perduli mungkin saja kan mbok punya resep baru.           Bisa jadi.     Setelah ku teguk habis s**u di depanku aku diam membamtu mendengar kata mama. "Enak nggak buatan mama Vin?" Seandainya aku sedang minum, ku pastikan akan tersedak. Tapi syukur saja isi gelasku telah habis. Tak ku jawab perkataan mama. "Aku duluan pa? Nanti nggak usah jemput biar aku pulang bareng temen." Ucapku. Ku cium pipi kanan papa, tapi tidak untuk mama  baruku. Sebelum ku keluar dari pintu ada sedikit bahagia karena ucapan papa. "Mobil kamu datang tiga hari lagi Vin, papa harap kamu bisa pakai untuk hal yang baik." Ujarnya. "Ya, pa." Hanya itu jawabanku. Tanpa menoleh ku lanjutkan perjalanku, mobil sudah siap buat mengantar aku kesekolah seperti biasa.     ****** Dua jam dalam ruang kelas dengan guru yang membuatku sedikit bosan, menambah kesialan hidupku.  "Vinaaaaaa!"     Teriakan dari ruang pintu  membuat senyum terukir tanpa ku sadari. Ada Lola, Neni, Bagas, Restu, dan jangan lupakan Rendra pujaan hatiku melangkah menghampiriku. Rendra tanpa malu memeluk ku, kami satu sekolah namun beda kelas hanya Bagas dan Lola yang seruang, selain itu kami di ruang kelas yang berbeda. "Hey! Muka lo belum di setrika ya?" Pertanyaan yang seperti sindiran membuat ku menabok bahu Restu. "Lo kayak nggak ngerti penderitaan Vina yang hakiki aja." Kata yang nggak ada ahlak dari Neni semakin membuat ku cemberut dan memanyunkan bibirku. "Lho kalau terus gituin bibir lho, bisa di cipok ama Rendra mau lho?" Ucapan Bagas membuat ku menoleh ke sisi di mana ada Rendra yang sedang melihatku dengan senyum jahil sekaligus mengedipkan matanya. "Ihhhh kamu yang!" Ujarku memukul bahunya. "Ihhh kenapa sih yang?" Dia pura-pura sok nggak tau padahal aku lebih dari tau isi otak m***m Rendra. "Ehhh bay the way, nanti pulang sekolah jalan yuk, gue bawa mobil loh." Ucap Restu. "Jalan kemana?" Tanya Neni. "Kemana aja, yang penting happy." "Cewek gue?" Membuatku melihat pada Rendra yang ragu akan kehadiranku nanti. "Gimana lho mau jalan nggak Vin? Biasanya juga lho nggak pernah absen kan kalo kita happy Fun, masak gara-gara lho punya nyokap baru jadi berubah sih?" Aku tak terima dengan ucapan Bagas. "Siapa bilang gue nggak pergi! Dimana ada kalian disitu ada gue." Jawabku tegas. "Jadi fix ya, nanti pulang sekolah jalan."  Kami semua setuju usulan Restu. Setelah selesai dari ruang kelas, kami akhirnya pergi ke kantin mengisi perut yang kosong. Hari ini giliran Rendra yang membayar tagihan kantin, setelah sebelum liburan Neni yang membayar. Kami punya giliran setiap harinya untuk membayar tagihan kantin. Usai dari mengisi perut kami kembali ke kelas masing-masing.     Bel kedua berbunyi, kami kembali berkumpul di gudang belakang sekolah. Memadu cinta layaknya remaja yang lain, saling berpegangan tangan tanpa perduli dengan dunia sekitar. Rendra memegang tanganku dan merangkul pundakku. "Gimana di rumah yang? Apa mama barumu nggak kasar?" Pertanyaaan yang membuatku menghela napas berat. 'Kamu taulah yang, kalau kasar..., mungkin nggak, tapi aku nggak suka dia atur."  "Jadi nanti gimana? Jadi perginya?"  "Jadilah, siapa dia berani melarangku semua hal tentangku, papa aja dulu nggak pernah perduli." Jawabku mengingat sebelum papa menikah lagi, dia jarang pulang bahkan sekali seminggu pun belum tentu aku bertemu dengannya. Hanya karena dia sekarang punya istri baru makanya betah di rumah. Lamunanku  buyar saat hendra mencium pipi kiriku. Aku sontak menoleh melihatnya dengan senyum yang membuatku hilang akal.  "Kangen!" Ujarnya manja. Aku hanya diam membatu, mataku bertemu dengan matanya, hingga ia semakin mendekat membuatku memejamkan mata, masih bisa ku dengar decapapan sejoli yang ada di belakangku, namun tak aku perdulikan, benda kenyal rasa mint, meraba indra pengecapku, ku berikan akses untuk Rendra memasukkan lidahnya, lidah kami saling melilit satu sama lain,  Ahhhhh Desahan yang tanpa ku sadari lolos dari bibirku, belum lagi tangan Rendra yang telah menelusup kedalam seragam yang aku kenakan, geli sekaligus ada rasa yang ingin sekali meminta lebih. Tangan Rendra mulai meraba salah satu benda kenyal milikku sementara tangan lainnya, menahan tengkukku. Ahhhh Kembali suara desahanku lolos. "Wow, lho pada denger bel nggak, balik cepetan." Restu yang berteriak dari pintu gudang membuat kami menyudahi kegiatan gila kami. "Lho keasyikan Ndra, nanti kita lanjutin lagi habis jalan." Ucap Bagas dengan cengiran has dia. "Tanggung tau." Jawab Rendra yang sedang membantuku merapikan baju, ucapannya itu membuat gelak tawa dari dua lelaki berada di samping kami. "Batangan lho dah tegak ya, hhhhh. Kasian, gue punya sabun di tas, entar lho ke kamar mandi aja buat turunin junior lho." Mendemgar itu mereka semakin tertawa. "Udah yang, balik yuk." Pintanya. Kami para wanita berjalan lebih dulu, sementara mereka kaum adam di belakang ku dengar Rendra mengumpat kesal karena kegiatan kami yang sudah mencapai ubun-ubun itu terhenti. Kami berpisah di masing-masing ruang. Kembali aku berkutat dengan buku tulis dan buku paket yang membuat ku pusing.  *****        Mobil Restu membelah jalanan. Kami sudah berganti baju di dalam mobil setelah keluar dari halaman sekolah. Kini mobil merah ini berjalan menuju salah satu Villa milik Neni. Katanya kedua orang tuanya pergi ke Korea hingga dia yakin nggak bakalan ada yang mengganggu. Kami menghabisakan waktu disini, di tempat kami saling b******u dengan minuman dan cemilan yang telah di beli Bagas entah sejak kapan. Sang mentari sudah tak lagi terlihat, langit sudah gelap. Gawai di dalam tas ku berbunyi. Dengan keadaan yang kacau dan kepala yang pusing ku membuka siapa yang mengganggu kesenangannku. "VINAA!"  Teriaknya.      Ku jauhkan benda pipih itu dari telingaku. Mendengar teriakan wanita sialan itu. Setelah sedikit tenang barulah aku menjawab. "Ya."  "Kamu dimana? Pulang sekarang."  Perintahnya "Hemmm."  "Vina mama bilang pulang sekarang atau mama jemput kamu." Teriaknya dari sebrang sana. "Nggak perlu aku masih tau jalan pulang nyonya." Jawabku.  "Tiga puluh menit kamu harus sampai rumah, kalau nggak mama akan cari kamu."  "Ya, iya bawel aku pulang." Jawabku.  "Siapa?" Tanya Rendra yang melihatku berkemas dan  membantuku membereskan barang milikku. "Nyokap baru lho?" Tanya Restu. "Hemmm." "Ya udah lho ajak balik cewek lho dulu Ndra, entar lho balik lagi kesini, lho bawa mobil gue aja." Ujar Restu kembali. "Thanks ya, bentar doang, besok gue bawa mobil sendiri aja biar nggak ngerepoti lho." Jawab Rendra. "Santai aja, nggak usah lho pikirin."    Akhirnya kami pun sampai di rumah. Rendra hanya mengantarku sampai gerbang. Saat memasuki pekarangan. Ku lihat mama sudah berdiri di depan pintu. Tanpa ku perdulikan kehadirannya, aku langsung masuk dan menabrak dia yang berada di tengah pintu. "Kamu dari mana Vin?" Tanyanya dengan amarah. Aku menghentikan langkah dan berbalik menghadapnya. "Apa perdulimu, kau urusi saja urusanmu, jangan urusi urusanku." "Kamu ini anak gadis, kamu pikir dengan pulang sekolah tanpa kerumah dan keluyuran seperti ini baik Vin?"  Aku tersenyum mengejek. "Baik buruk itu urusanku, jika menurut mama ini nggak baik, tapi menurutku ini sangat menyenangkan." Dengan mata yang sudah berkunang-kunang, ku lihat dia mulai mendekat. "Baju ini!" Ucapnya sambil memegang baju yang aku kenakan. "Dari mana kamu dapat?"  "Apa perdulimu Hah!"  "Kamu minum Vin?" Tanya yang mencium bau alkohol dari napasku. "Astagfirrullah." Dia hanya geleng-geleng kepala. "Udalah ma, jangan sok deh, lain kali mama jangan telpon aku, jika aku pulang mama cukup buka pintu, dan jika aku nggak pulang jagan cari aku. Ok." "Sejak mama menikah dengan papamu, kau adalah anak mama." Ucapnya lantang. "Dan sejak saat itulah hidupmu adalah urusan mama." Tegasnya.  "Aku tak perduli, hidupku milikku, bukan milikmu jadi suka-suka aku dong." Ke berbalik dan hendak menaiki anak tangga. "Mulai sekarang mama akan suruh sopir antar jemput kamu meski kamu tak ingin di jemput." Titahnya. Aku tetap tak perduli ucapnnya. "VINA!" Teriaknya dari bawah tangga. "Mulai saat ini kau tak bisa pergi kemanapun tanpa ijin dan sepengetahuan mama." Aku menoleh. "Itu bukan hakmu mengurusi hidupku." Kembali aku melanjutkan langkah kaki sempoyongan menuju ke pulau kapuk kesayangn milikku. Aku ingin tidur sebentar saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN