LIMA

1193 Kata
Entah angin apa yang merasuki Satria. Jika biasanya dia memilih untuk pulang dan beristirahat di apartemen yang diberikan kantor sebagai fasilitas, malam ini dia justru pulang ke rumah keluarganya. Sekalipun jarak dari cafe ke rumahnya sedikit lebih jauh ketimbang bila dia memilih pulang ke apartemen, malahan jarak dari rumah keluarga ke kantor berkali lipat waktu tempuhnya dibanding bila dia berangkat dari apartemen fasilitas kantor. Motor sport-nya berhenti di depan sebuah rumah kecil dengan pagar kayu yang tingginya hanya satu meter. Bangunan rumah itu, termasuk fasad luarnya, hampir identik dengan deretan rumah di samping, depan, bahkan belakangnya. Maklum, demikianlah penampakan rumah yang berada di perumahan kecil milik pengembang ternama. Rumah itu berada di ujung, posisi hook yang sering kali membuat orang iri karena tampak lebih luas. Terlebih, rumah kecil itu memiliki halaman yang terlihat asri ditumbuhi oleh sebuah pohon mangga dan banyak tanaman hias. Belum lagi pot-pot bunga yang ditata rapi di sana. Setelah membuka gerendel yang tak pernah digembok itu, Satria menuntun motornya masuk ke pelataran, memarkirnya tepat di sebuah city car warna keabuan milik sang ayah. Gegas dia melangkah menutup pagar, lalu hendak membuka helm, pintu utama yang berbatasan langsung dengan teras terbuka. “Mas?” Sosok ibunya dengan daster batik kesayangan muncul di ambang pintu. Satria segera menghampiri Ibu. Satu tangannya menenteng helm full-face sementara tangan merengkuh bahu Ibu dalam pelukannya. “Kok nggak ngabarin? Untung Ibu belum tidur.” Terkekeh seraya mengeratkan pelukan, Satria tak menjawab pertanyaan Ibu. Dia terus melangkah, mengajak sang ibu masuk ke dalam rumah. “Kamu sudah makan, Mas?” Ibu berdiri tak jauh dari Satria yang sedang melepas sepatu. Mengangguk yakin, Satria menjawab, “Sudah, Bu.” Televisi di ruang tengah rumah –yang tersambung dengan meja makan– menampilkan film lawas. Penerangan rumah sudah temaram. Kemungkinan Bapak sudah tidur dan Gita asyik dengan kegiatannya sendiri di dalam kamar. “Ibu masakin air panas buat mandi ya?” tawar Ibu yang melangkah ke belakang rumah, tempat dapur berada. Satu hal yang membuat Satria tak segan pulang ke rumah tanpa kabar adalah sikap Ibu yang tidak pernah tak menyambutnya. Tidak pernah ada kata “tumben pulang” atau komentar “masih ingat pulang ya” yang terucap dari Ibu atau Bapak. Mereka tak pernah memaksa Satria untuk pulang, hanya sesekali bertanya untuk mengungkapkan harapan bahwa si sulung akan menghabiskan waktu bersama. “Heater rusak, Bu?” Satria mengangkat tudung saji di meja makan dan hanya mendapati roti yang tersedia di sana. Dia bergegas menyusul ke dalam dapur dan menemukan dua mata api kompor sedang aktif. Sebuah teko besar duduk di salah satunya, berdampingan dengan panci kecil yang merebus sedikit air. “Tadi sore nggak berfungsi. Bapak malas betulin, besok aja katanya.” Sembari menjawab, tangan Ibu bergerak lincah, memasukkan potongan jahe ke dalam panci kecil. Satria bersandar pada daun pintu, menyaksikan Ibu dengan cekatan melakukan banyak hal. Merebus wedang jahe, yang pasti dibuat untuk dirinya. Membersihkan beberapa sudut meja dapur, dan bahkan berdendang kecil. Bayangan yang muncul dalam kepalanya bukanlah tentang kenangan masa kecil melihat Ibu bekerja di dapur tetapi sosok mungil yang tersenyum lebar sekalipun mendapat ancaman. Orang mungkin akan terkagum melihat bagaimana barista mungil itu, Stef, begitu tenang dan memiliki keberanian yang begitu besar. Namun, Satria justru melihat ada sesuatu yang sedang disembunyikan di balik tubuh mungil itu. Persis seperti sang ibu yang sedang menyibukkan diri di hadapan Satria. Ibu seakan tidak punya rasa takut. Tidak di tempat kerja, di rumah, atau di mana pun. Bapak lebih sering diam. Namun, Ibu selalu berdiri di depan dan menghadapi apa pun. Tak heran Ibu dipercaya oleh Ibu Melissa, atasan Ibu yang mengelola puluhan guesthouse premium dan resort yang tidak hanya ada di Jakarta. Ibu, yang kini menjadi sosok paling mungil tiap kali mereka berfoto bersama, adalah pribadi yang tangguh dan selalu mengundang kekaguman banyak orang. Hanya saja, Satria tahu di dalam keluarga, Ibu juga pribadi yang paling mudah cemas dan punya banyak kekhawatiran, yang menurut Satria sudah bisa digolongkan berlebihan. Siulan teko yang nyaring membuat Satria menegakkan badannya. “Mas aja, Bu.” Dengan cepat dia membawa teko itu ke kamar mandi –yang letaknya di antara kamarnya dan kamar Gita, sang adik. Uap panas membubung ketika Satria menuangkan air dari teko ke dalam ember plastik yang ditempatkan pada sudut di bawah tiang shower. Tak butuh waktu lama bagi Satria untuk menuntaskan ritual bebersihnya. Dengan rambut basah dan handuk kecil di bahu, dia kembali melangkah ke ruang tengah. Benar saja, Ibu masih duduk di sana. Menunggu bersama dua cangkir wedang jahe hangat. Satria tidak duduk di samping Ibu. Dia malah membaringkan tubuhnya, hingga kakinya menggelantung melewati pegangan sofa. Kepalanya berada di pangkuan sang ibu. “Bu, bersihin dong,” pintanya sambil berbaring miring, menghadap pada televisi dengan kedua lengan terlipat di dadanya. Begitu nyaman. Satria sampai memejamkan mata. Suara dengus halus terdengar. Diikuti oleh sentilan di telinganya. “Aduh! Dibersihin, Bu, bukan disentil,” keluh Satria seraya mengusap telinganya. Dia masih bergeming pada posisi itu. Kali ini yang mampir di telinganya adalah jari-jari Ibu yang menjewernya dan membuat Satria terkekeh. Suara tawa Ibu menyusul kemudian. “Wis gerang gedhe, koyo cah cilik. Kamu tuh badan gede begini masih aja kayak bayi manjanya.” Handuk di bahunya kiri berpindah ke atas kepala bersama dengan usapan tangan Ibu yang membantu Satria mengeringkan surai hitamnya. Menikmati belaian kasih Ibu, Satria bergeming. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat di tengah gurat-gurat lelahnya. Selama beberapa saat, hanya ada suara berisik dari televisi, jejak lembut tangan Ibu, dan pikiran Satria yang masih terus aktif. “Bu,” panggilnya lirih. “Hmm,” jawab Ibu yang masih mengusap kepala Satria perlahan. Sejenak Satria terdiam, berusaha merangkai kata agar Ibu tidak curiga. Dia tahu sejak dulu Ibu punya insting yang tidak bisa dikelabuhi siapa pun. Tidak Bapak, tidak dirinya, dan terlebih Gita yang paling tidak bisa menutup apa pun dari Ibu. Namun, dia sungguh ingin tahu dan dia yakin Ibu punya jawabannya. Menjalani masa muda yang sungguh tidak mudah dan penuh tantangan, Ibu pasti punya jawaban dari apa yang yang mengganggu pikirannya. Ibu mungkin tahu mengapa bayangan perempuan mungil itu terus memenuhi pikirannya dan menganggu dirinya. “Apa mungkin seorang tidak punya rasa takut?” Hening yang mengikuti membuat Satria perlahan membuka kedua matanya. Setelah beberapa saat, Ibu tidak juga menjawab, tetapi juga tidak menghentikan gerakan tangan yang mengusap kepala putranya. Tak menunggu gerakan itu berhenti, Satria kini memutar tubuh hingga terlentang, dan menatap kedua manik ibunya yang mulai mengembun. Senyum samar terulas di wajah yang mulai dihias kerut di beberapa sudutnya. “Takut… sama seperti sedih, adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Hidup kita begitu terbatas, Nang. Ketika kita menyadari bahwa kita itu lemah dan tidak sekuat itu menghadapi semua yang datang di dalam hari-hari kita, takut itu muncul. “Takut itu yang menjadi tanda bahwa kita harus lebih awas. Takut itu yang mengajarkan kita bahwa ada hal-hal yang di luar kendali dan kekuatan kita. Tetapi, takut itu juga yang membuat kita bertahan, belajar, dan akhirnya menjadi lebih kuat dari sebelumnya.” Sejenak Satria terdiam. Pandangannya sempat tertuju pada langit-langit ruangan. Membayangkan kata-kata Ibu tadi tertulis di atas sana. Takut. Awas. Bertahan. Kuat. “Ada yang bikin kamu kepikiran, Nang?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN