Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan semester pertama berakhir. Zahra sudah siap sejak pukul enam pagi tadi. Sekarang, ia hanya perlu menyematkan bros bunga berwarna ungu pada khimar putihnya. Setiap pergi ke sekolah, penampilan Zahra tidak luput dari warna-warni pakaiannya. Entah itu handsock, ciput, bros, maupun kaos kaki yang ia pakai.
Setelah menyiapkan semua peralatan sekolah yang harus ia bawa, Zahra kemudian keluar dari kamarnya dan menuju meja makan. Di sana, sudah ada kedua orang tuanya serta kakaknya. Mereka semua sedang menunggu Zahra untuk sarapan bersama.
"Pagi umi, abi, kak," sapa Zahra dengan nada ceria. Kemudian ia duduk di samping kakaknya yang tengah memainkan ponsel.
"Pagi, sayang." Umi Nadia menjawab sapaan putrinya sambil menyendokkan nasi goreng pada piring kosong.
"Ceria banget. Biasanya orang-orang pada males kalau hari pertama sekolah," cibir Rizki—kakak Zahra—pada adik kesayangannya itu.
Zahra mengerucutkan bibirnya mendengar komentar sang kakak. "Dih ... biarin dong. Itu tandanya aku siswa yang baik dan sholehah, nggak males waktu hari pertama sekolah," sahutnya membela diri.
"Lah, kok malah muji diri sendiri—"
"Sudah. Kalian jangan adu mulut terus. Lebih baik sekarang sarapan, daripada nanti kalian telat ke sekolah sama ke kantor." Belum selesai Rizki membalas ucapan adiknya, abinya memotong perkataannya terlebih dahulu, membuatnya mau tidak mau harus bungkam.
Sementara itu, Zahra menjulurkan lidahnya pada Rizki, merasa menang karena ucapan sang kakak terpotong oleh abinya. "Oh iya abi, ngomong-ngomong soal kuliah, sebentar lagi Zahra kan lulus SMA, nanti Zahra rencananya mau kuliah dimana?"
Abi Zaki mengernyit mendengar pertanyaan putrinya. "Kok kamu malah tanya abi, sih? Kan yang harusnya milih kamu sendiri. Kenapa minta pendapat sama abi."
Umi Nadia terkekeh melihat tingkah anaknya, begitu juga dengan Rizki.
"Kamu ada-ada aja, sih. Masa iya abi ditanyain kayak gitu. Yang mau kuliah itu kamu atau abi?" Rizki kembali merecoki adiknya.
Zahra tersenyum kikuk, baru sadar betapa konyolnya pertanyaan yang ia lontarkan.
"Abi setuju kamu masuk universitas mana saja. Asalkan kamu benar-benar serius waktu belajar. Nggak main-main dan yang terpenting harus bisa menjaga pergaulan. Karena pada dasarnya semua universitas itu sama. Sama-sama tempat mencari ilmu," ujar Abi Zaki.
"Iya. Yang penting itu, kamu bisa menyerap ilmu yang kamu dapat dari sana dengan baik, dan bisa mengamalkannya juga. Hal penting kedua, kamu juga harus bisa jaga pergaulan kamu." Kini Umi Nadia yang ikut bicara pada Zahra.
"Yang paling penting ketiga, jaga batasan pergaulan kamu sama laki-laki. Jangan terlalu deket, apalagi kalau sampai kamu pacaran. Lihat aja nanti," tambah Rizki melengkapi ucapan kedua orang tuanya dengan nada yang sedikit mengancam.
Sebuah senyuman terbit pada wajah cantik Zahra, ia sangat senang mendapat orang tua serta kakak yang sangat peduli padanya. Terlebih Rizki, ia itu tipe kakak yang sangat protektif pada adiknya, apalagi soal pendidikan dan pergaulan dengan lawan jenis. Ia selalu menjejali adiknya dengan nasehat-nasehatnya yang panjang.
Rizki selalu menekankan bahwa pendidikan itu hal yang penting, ia juga melarang adiknya terlalu dekat dengan teman lawan jenisnya. Pokoknya, Rizki itu benar-benar sangat protektif terhadap Zahra.
"Iyaaa ... kakakku. Lagian, siapa juga yang mau pacaran," elak Zahra.
"Ya siapa tahu gitu ...."
Ujung mata Rizki menatap pada umi serta abinya, kemudian ia terbatuk kecil. Zahra yang melihat kelakuan kakaknya hanya bisa tertawa. Kenyataan bahwa dahulu sebelum menikah, kedua orang tua mereka pernah berpacaran selalu menjadi bahan ledekan kedua kakak beradik tersebut. Namun, Abi Zaki beserta Umi Nadia memberitahu mereka bahwa apa yang sebelumnya keduanya perbuat harus dijadikan pelajaran untuk kedua anaknya, agar mereka tidak melakukan kesalahan yang sama. Toh setelah itu, Abi Zaki langsung melamar Umi Nadia.
"Eh, udah, ah. Kalian jangan ngobrol terus. Cepet abisin sarapannya, nanti pada telat semua lagi," omel Umi Nadia sekaligus untuk menghentikan ledekan Rizki padanya serta suaminya.
Setelah menghabiskan sarapannya, Zahra segera berangkat diantarkan oleh abinya menggunakan mobil. Sementara Rizki selalu membawa motor sendiri ke kantornya.
***
"Santiii ...." Panggilan bernada cempreng itu membuat seorang gadis berkacamata membalikkan badannya. Gadis bernama Santi tersebut tersenyum ketika mendapati Zahra berlari kecil ke arahnya sambil merentangkan kedua tangan. Melihat gelagat Zahra yang seperti akan memeluknya, Santi segera berlari menghindar dari Zahra.
"Iiih, kok ngejauh sih. Nggak kangen sama aku?" protes Zahra.
Santi terkekeh lalu segera menghampiri sahabatnya. "Kangen lah. Gimana kabarnya, baik-baik aja, kan?"
"Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri gimana? Terus, jadi juga jualan khimarnya?"
"Alhamdulillah. Iya Ra, waktu liburan aku beli khimar pake uang tabungan aku, terus aku coba jualin online deh. Alhamdulillah, sampai sekarang usaha kecil-kecilan aku lancar, hihi."
Zahra turut senang mendengar cerita sahabatnya yang baru memulai berbisnis tersebut. Sambil bercerita, keduanya kembali berjalan menyusuri koridor untuk menuju kelas mereka, 12 IPA 2.
"Eh, tahu nggak, Ra? Katanya guru sejarah kita diganti sama guru baru, lho, soalnya kan Bu Wati pindah ngajar ke sekolah lain."
"Wah, masa, sih? Kamu tahu kabarnya dari mana? Kok aku nggak tahu."
Santi mengangguk, kemudian sejenak membenarkan kacamata hitamnya yang sedikit merosot. "Iya, Ra, beneran. Aku tahu dari Bu Nova, beliau ngasih tahu di grup. Bukannya kamu juga ikut masuk grup, kok nggak tahu sih?"
Mengingat grup w******p, Zahra baru teringat kalau ternyata ia sudah lama tidak mengisi ulang kuota internetnya. Mengetahui alasan Zahra, Santi hanya bisa menggeleng sambil berdecak.
"Emang guru barunya siapa, San?"
"Kata Bu Nova sih namanya Pak Yusuf. Masih muda, baru lulus dua atau tiga tahun gitu, dan langsung ngajar, deh."
Zahra membulatkan bibirnya. "Oh ...."
Tiba di kelas, keduanya duduk pada bangku urutan ketiga dari depan. Mereka berdua duduk bersama sejak kelas sepuluh lalu. Zahra yang tidak suka duduk di bangku paling depan selalu mengajak Santi untuk duduk pada bangku urutan ketiga. Selalu seperti itu.
Saat bel masuk berbunyi, semua siswa di kelas tersebut duduk dengan rapi. Beberapa saat kemudian, seorang guru laki-laki berwajah tampan dan berperawakan tinggi datang memasuki kelas. Banyak murid perempuan di kelas Zahra yang saling berbisik saat melihat guru tersebut.
"Kayaknya itu deh, Ra, yang namanya Pak Yusuf, guru sejarah kita yang baru," bisik Santi.
Zahra mengangguk. "Iya kayaknya, baru lihat juga." Sebagai ketua kelas, ia kemudian mempersiapkan teman-temannya untuk segera berdoa sebelum belajar. Setelah selesai, Zahra pun memberi aba-aba untuk mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Guru tersebut menjawab salam dari siswanya. Ia lalu bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapan seluruh siswa 12 IPA 2.
"Sebelumnya, pasti kalian nggak kenal siapa bapak, kan?" ujarnya dan langsung disahuti dengan heboh oleh para siswa, terutama siswa perempuan.
"Nah, sekarang bapak mau memperkenalkan diri terlebih dahulu. Perkenalkan, nama bapak Yusuf Rahman Fauzi. Bapak ngajar pelajaran sejarah. Bapak di sini menggantikan guru kalian yang sebelumnya, Ibu Wati, karena beliau dipindahtugaskan ke sekolah lain. Ada yang mau kalian tanyakan soal bapak?"
"Umur bapak berapa?"
"Bapak udah nikah?"
"Statusnya apa, Pak?"
"Alamat rumah di mana?"
"Minta nomor WA dong, Pak."
Karena suasana kelas menjadi ricuh, sebagai ketua kelas, Zahra mencoba menertibkan teman-temannya agar tidak berisik. Setelah suasana kembali tenang, Yusuf kembali berbicara pada semua siswanya. "Ehm, bapak belum menikah ya, belum berkeluarga. Status bapak masih single. Kalau soal umur, umur bapak nggak jauh beda lah sama kalian," jawabnya dengan nada ringan. Pembawaannya yang enjoy dan khas anak muda membuat seluruh murid nyaman diajak berbicara olehnya.
"Wah, masih ada kesempatan dong," celetuk salah satu siswa perempuan, membuat Yusuf tertawa kecil. Sementara murid lainnya menyoraki siswa tersebut.
"Umurnya berapa, Pak? Kasih tahu dong, penasaran nih." Kali ini, Santi yang berbicara. Zahra yang melihat aksi sahabatnya hanya cengo. Tidak biasanya Santi bawel bertanya pada guru.
"Umur bapak ... 24 tahun. Lumayan, nggak tua-tua amat, kan," jawabnya sambil terkekeh kecil.
Pertanyaan-pertanyaan lainnya pun terus berlanjut. Yusuf juga masih setia menjawab seluruh pertanyaan dari siswanya. Saat satu jam pelajaran habis karena diisi untuk berbincang, Yusuf memutuskan untuk mengakhiri obrolan.
"Ketua kelas di sini siapa?" tanya Yusuf. Merasa terpanggil, Zahra kemudian mengacungkan tangannya dan menatap Yusuf dengan pandangan bertanya.
"Kamu, ikut bapak. Hari ini kita langsung belajar ya," ujarnya, membuat seluruh siswa mendengus kesal. Yusuf terkekeh, pelajaran sejarah memang salah satu pelajaran yang bisa dibilang membosankan. Ia kemudian berjalan keluar kelas dan diikuti oleh Zahra di belakangnya.
***