bc

Cerita Pendek Pengantar Tidur

book_age0+
49
IKUTI
1.0K
BACA
others
dark
drama
tragedy
comedy
twisted
sweet
like
intro-logo
Uraian

Malam adalah waktu terbaik untuk membaca, bercerita, mendengar cerita. Sebab malam, selalu memunyai caranya tersendiri dalam menghadirkan suasana. Entah menyenangkan, entah menegangkan, entah menyedihkan, entah menyakitkan. Dan malam, bisa menghadirkan itu semua dalam satu waktu.

Ingat waktu kecil? Ketika dirimu hendak tidur dan meminta ayah atau ibumu membacakan sebuah cerita. Kamu girang ketika mereka mengiyakan. Di dalam kamar, ayah atau ibumu duduk di bibir kasur, dan kamu berbaring dipeluk selimut. Tenang mendengarkan sambil membayangkan. Setelahnya, kamu perlahan-lahan mengantuk, akhirnya tertidur dan bermimpi akan cerita yang dikisahkan oleh ayah atau ibumu. Dan mereka mengecupmu, meninggalkan seberkas cinta di atas keningmu.

Di sini, saya akan kembali membawa memoar akan kenangan itu, bersama kisah-kisah baru yang saya tulis ketika malam merasuk dalam kepala. Izinkan cerita-cerita ini menemani malammu, menemani mimpi-mimpimu. Dan izinkan cerita-cerita ini menjadi cerita pengantar tidurmu.

chap-preview
Pratinjau gratis
Aku, Semesta, dan Wanita yang Kucinta
    “Di mana ini?” tanyaku sembari melihat-lihat sekitar. Pohon-pohon rindang berdiri menjulang. Desir angin bersahut-sahutan dengan kicauan burung-burung gagak yang bertengger di dahan pohon.     Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak tanpa tahu ke arah mana, sebagai harapan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan sedang berada di mana. Aku berhenti melangkah saat melihat jembatan tua. Jembatan itu mengingatkanku pada hal yang mengerikan, hal yang membuat tubuh ini bergetar mengeluarkan peluh.     Seketika kepalaku sakit, jantungku berdegub kencang. Tubuhku roboh di atas tanah yang ditumbuhi tanaman-tanaman liar. Tiba-tiba gemuruh petir menggelegar memecah keheningan. Burung gagak yang bertengger langsung pergi beterbangan. Embusan angin semakin kencang menerpa tubuhku, saking kencangnya bahkan dapat menumbangkan pohon-pohon yang berdiri tegak. Kabut mulai berseliweran menutupi pandanganku. Hujan turun dengan derasnya membasahi tubuhku. Tanah-tanah kering perlahan-lahan menjadi berlumpur.     “Mengapa Biandra?” terdengar suara parau yang entah dari mana asalnya. Aku berusaha bangkit dari tempatku terjatuh. Tapi tidak bisa kugerakkan, seakan-akan ada tangan-tangan yang memegangi tubuhku. Semakin aku berusaha bangkit, semakin aku sulit bergerak.     “Mengapa kau tega membiarkanku mati, Abiandra?” lanjut suara tersebut semakin jelas.     Samar-samar dari kejauhan aku melihat bayangan seseorang. Bayangan tersebut mulai mendekatiku yang tengah jatuh terduduk. Aku berusaha bangkit kembali namun sia-sia. Tubuhku tidak dapat digerakkan sama sekali. Bayangan itu jalan terseok-seok di atas tanah yang basah. Semakin ia mendekat, semakin kencang embusan angin menerpa tubuhku.     Kicauan burung gagak semakin terdengar kencang. Hujan semakin deras menghujam. Gemuruh petir semakin menggelegar. Sosok bayangan yang terlihat samar mulai jelas terlihat. Sosok tersebut adalah seorang perempuan. Tubuhnya basah berbalut tanah. Rambutnya tergerai tidak karuan. Wajahnya pucat pasi. Sorot matanya menampakkan awan kelabu.     “MENGAPA KAU TEGAAAAA???” teriak perempuan itu sembari tangannya mencoba meraihku.     “Tiiiidaaaaaaakkkkk....” Mataku terbuka dan kembali ke alam sadar. Keringat dingin mengucur deras dari seluruh tubuh. Napas terengah-engah tidak karuan. Degub jantung menderu dengan kencang. Kulihat sekeliling, semuanya baik-baik saja. Tidak ada suara petir. Tidak ada hujan yang menghujam dengan deras. Dan, tidak ada sosok perempuan di depan mataku.     Kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul empat pagi. Segera aku beranjak dari tempat tidur untuk pergi berwudu dan menunaikan salat subuh. Kuhadapkan sajadah ke arah kiblat. Kurasakan ketenangan saat posisi kepala menyentuh lantai dan bersujud kepada-Nya. Segala pujian kulatunkan di sela-sela doa. Aku ingin hidup tanpa ada rasa bersalah dan kegetiran. Usai salat kusiapkan diri untuk memulai aktivitas seperti warga desa lainnya.     Aku segera pergi ke kebun yang berada di belakang rumah. Memetik sayur-sayuran dan buah-buahan yang kutanam sendiri. Sudah lama aku mengasingkan diri dari warga desa. Setahun yang lalu hidupku tidak seperti ini. Aku memiliki hidup yang baik dan memiliki seorang istri yang cantik. Mereka menyebutnya sebagai kembang desa. Pertemuan kami dari ketidaksengajaan di gunung.      Saat itu, aku sedang mencari kayu kering yang dikumpulkan, lalu digunakan untuk memasak. Tiba-tiba saja, dari kejauhan aku mendengar sesuatu.     “Toloooonggggggg!!!”     Terdengar suara teriakan perempuan. Segera aku bergegas mencari arah suara tersebut dan meninggalkan semua kayu kering yang kukumpulkan.     “Siapa saja tolong aku!” Suara tersebut semakin jelas terdengar. Semakin dekat juga jarakku dengan suara tersebut. Sesampainya di tempat asal suara tersebut, kulihat seorang perempuan sedang dikelilingi dua babi hutan.     Perempuan tersebut sedang duduk di dahan pohon. Entah bagaimana caranya ia menaiki pohon yang tinggi menjulang. Mungkin saja dengan rasa ketakutan yang muncul tiba-tiba dapat memicu bakat yang lama terpendam. Babi hutan tersebut tengah asik memakan buah-buahan yang tergeletak di tanah, tepat di bawah perempuan itu.     Aku segera berpikir bagaimana cara mengusir babi hutan dari sana. Dari kakiku terdapat satu buah kayu berukuran pergelangan tangan orang dewasa. Aku ambil  kayu tersebut sebagai senjata mengusir babi hutan kalau-kalau mereka menyerang.     “Hush ... hush ... hush ....” Aku mencoba mengusir sembari mengibas-kibaskan kayu yang kugenggam dan kupukul satu yang mencoba mendekat. Alhasil, kedua babi tadi lari terbirit-b***t meninggalkan aku dan sisa makanan yang dimakannya.     “Turunlah. Babi hutannya sudah pergi,” teriakku kepada perempuan yang tengah memeluk badan pohon.     “Bagaimana caranya turun dari sini? Aku tidak tahu caranya.”     “Caranya adalah dengan cara kau pertama naik.”     “Aku lupa bagaimana caranya naik ke atas sini. Aku hanya mengikuti naluriku.”     “Ya, sudah kau lompat saja. Biar kutangkap,” kataku dengan menjulurkan tangan ke atas.     Bruk. Badannya jatuh menimpaku.     “Mengapa kau langsung lompat? Dan tidak menunggu aba-aba dariku?” tanyaku yang tersungkur di tanah.     “Maaf. Aku pikir saat kau menyuruhku turun, kau sudah siap,” jawabnya sembari membersihkan pakaiannya yang kotor terkena noda tanah.     “Dasar wanita barbar,” ucapku dalam hati, “hei, kamu belum mengucapkan terima kasih.” Aku berdiri sembari membersihkan pakaianku yang kotor juga.     “Terima kasih,” balasnya sambil mengumpulkan kembali buah-buahan utuh yang berserakan di tanah.     “Aku Abiandra.” Tangan kanan kujulurkan kepadanya sebagai isyarat memperkenalkan diri.     “Winda,” jawabnya dengan menyambut tanganku. Seketika tubuhku bergetar dan jantungku berdegub cepat saat embusan angin menerpa wajahnya. Rambutnya terurai halus berkibas pasrah mengikuti arah angin. Mata cokelatnya berpendar dari sorot cahaya mentari yang menyinari melalui celah dedaunan. Warna kulitnya serasi dengan pakaian yang tengah ia kenakan.     Ia pun segera meninggalkanku yang masih terpaku melihatnya menghilang dari kejauhan. Usai dia pergi aku kembali sadar dari lamunan. “Sial, sudah petang, ” gumamku pelan sambil berlari ke tempat aku meninggalkan kayu kering.     Berhari-hari kulalui dengan senyuman. Bukan tanpa sebab, tetapi karena setiap hariakuselalu bertemunya tanpa sengaja. Entah di pasar, di desa, di kebun ataupun di hutan. Kami selalu menghabiskan waktu hingga petang berdua. Sepertinya semesta sedang menyatukan kami.     Hingga suatu ketika aku memberanikan diri untuk melamarnya. Lamaranku pun diterima olehnya dan ibunya. Ia hanya tinggal bersama ibunya dikarenakan ayahnya meninggal dunia saat diserang babi hutan. Ayahnya terdorong hingga merasuk ke dalam jurang. Mungkin itulah sebabnya waktu itu ia takut ketika melihat babi hutan.     Hari-hariku menjadi lebih berwarna setelah menikah dengannya. Mentari menjadi lebih terasa hangat. Senja menjadi lebih terasa jingga. Rembulan menjadi lebih bersinar. Hingga suatu ketika semuanya berubah menjadi muram. Mentari terasa sangat dingin. Senja yang awalnya terlihat jingga berubah menjadi kelabu. Rembulan redup tanpa cahaya.     “Aku ikut denganmu pergi untuk mencari kayu bakar,” tuturnya saat melihatku sudah bersiap-siap melangkahkan kakinya menjelajahi hutan. Aku larang dia untuk ikut.     “Aku tidak peduli, aku tetap ingin ikut!” lanjutnya bersikeras walau sudah kularang berulang kali. Pada akhirnya aku mengiyakannya untuk ikut mencari kayu bakar.     Sesampainya di hutan, kami langsung menelusuri hutan untuk mengumpulkan kayu bakar. “Ini sudah banyak,” gumamku pelan. “Win, mari kita pulang,” ajakku kepada Winda yang sedang duduk di bawah pohon dan mengibas-kibaskan topi yang ia kenakan kewajahnya.Ia pun mengangguk sebagai isyarat setuju.     Di tengah perjalanan tiba-tiba suasana menjadi  gelap. Seketika terdengar gemuruh guntur sangat kencang. Kami berdua segera berlari meninggalkan hutan. Sesampainya di jembatan, hujan turun menghujami kami yang sedang berlari. Embusan angin menerpa dengan sangat kuat. Kami kesulitan bergerak di tengah hujan badai di jembatan tua. Kami jalan perlahan-lahan di pinggir jembatan sambil memegangi seutas tali tambang besar berukuran pergelangan tangan orang dewasa.     Perasaanku mulai sudah tidak enak. Dan, benar saja. Saat kami hampir sampai di penghujung jembatan, Winda tergelincir. Aku yang melihat itu segera membuang semua kayu yang sudah kupanggul dan bergegas menolongnya. Bersusah payah aku mencoba menariknya kembali ke atas tetapi angin terlalu kencang menerpa tubuh kami. Hujan terlalu deras menghujam. Semesta memisahkan kami, di jembatan tua, di tengah hujan badai. Winda terjatuh dari genggamanku. Aku sekuat tenaga berlari menuju sungai. Namun, arus sungai terlalu deras, tubuhnya sudah jauh terbawa arus.     Tiga hari kemudian aku mendengar kabar ia sudah ditemukan di tepian sungai dekat ibu-ibu biasa mencuci baju. Tubuhnya membiru kaku. Dari situlah aku mengutuk semesta dan diriku sendiri. Aku dipisahkan oleh jagat raya dengan wanita yang kucintai.     Berhari-hari aku mengurung diri. Berbulan-bulan aku mengasingkan diri. Hingga tepat di malam sebelum hari perayaan pernikahan kami yang pertama, aku kembali ke jembatan yang di mana tempat terakhir aku menggenggam tangannya.     Suasana begitu hening. Hanya terdengar embusan angin yang berbenturan dengan daun pepohonan. Lalu kulihat ke atas. Bumantara sedang menyalakan lampu tidurnya. Begitu banyak kilauan cahaya. Tanpa sengaja mataku melepas setetes kesedihan. Aku pun jatuh terduduk kala teringat wajahnya yang perlahan-lahan jatuh menjauh dari genggamanku.     “Mengapa ini terjadi?” teriakku dengan suara parau. Aku kembali melihat ke arah bumantara. Satu lampu tidurnya terjatuh. “Jika benar bintang yang jatuh dapat mengabulkan permohonan. Maka, munculkanlah Winda agar aku dapat meminta maaf kepadanya,” pintaku dalam hati.     Seketika muncul seekor kunang-kunang tepat di depanku. Kunang-kunang itu menari-nari di antara keheningan malam. Di balik celah-celah pepohonan tiba-tiba muncul ribuan kunang-kunang. Mereka ikut menari-nari, mengikuti kunang-kunang yang pertama. Embusan angin terdengar seperti melodi di telingaku.     “Maaf,” sayup-sayup terdengar suara di antara kunang-kunang. Segerombolan kunang-kunang itu semakin mendekat satu sama lain, lalu membentuk satu sosok perempuan. Perempuan yang sangat kucintai. Seketika mataku melepas tetesan kesedihan yang kedua.     Sosok tersebut melayang-layang di udara. Terlihat anggun dengan jubah keemasannya. Bahkan rembulan terlihat meredup jika disandingkan dengannya.     “Maafkan aku. Aku bodoh tidak bisa menjagamu dengan baik,” ucapku kepadanya dengan perasaan yang masih mengutuk diri sendiri. Ia perlahan mendekatiku. Raihnya wajahku yang tertunduk karena perasaan bersalah. Kini mata kami saling bertautan. Wajah kami saling bertemu di satu titik. Bibir kami berpagutan.     “Tidak perlu bersedih. Relakanlah aku. Ini sudah menjadi takdir Sang Pencipta untuk memisahkan kita.”     “Ingatlah. Sejauh apa pun aku melangkah pergi. Aku tetap menjadi satu-satunya titik cahaya dalam hatimu sebagai peneman sepi,” ucapnya sambil melepas tangan yang berada di pipiku.     “Kini izinkan aku kembali ke tempat di mana semestinya aku berada. Kau adalah pria kedua yang kucintai setelah ayahku,” ucapnya merdu, dan perlahan-lahan melayang menjauh.     Sosok itu kembali menjadi ribuan kunang-kunang yang berpendar di gemerlapnya malam. Kini mataku kembali melepas tetesan ketiganya. Tetapi bukan sebagai kesedihan,melainkan sebuah rasa keikhlasan.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

DIRTY BABY

read
17.2K
bc

KETIKA AKU HAMIL

read
99.8K
bc

Heal Me Doctor

read
49.5K
bc

HYPER!

read
606.8K
bc

Love Me or Not | INDONESIA

read
560.1K
bc

Me and My Freezer Boy

read
44.0K
bc

Billionaire's Baby

read
285.2K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook