MATHEW ABRAHAM

1788 Kata
Kejadian ia membantu Arthur tadi malam telah berlalu selama dua belas jam yang lalu dan saat ini Brian tengah duduk di kursi tunggu yang berada di depan ruang rawat milik Arthur, ia tersadar dari lamunan nya ketika smartphone miliknya berdering, ia mengernyit ketika melihat sebuah nomor kantor perusahaannya yang berada di Los Angeles. "Ada apa?" tanya Brian ketika ia mengangkat sambungan telepon tersebut. "Tuan Brian, maaf jika saya menganggu.." "To the point" ucap Brian memotong perkataan seorang wanita di seberang sana. "Maaf Tuan, saya hanya ingin menanyakan keberadaan Tuan Mathew" ucap wanita itu membuat kening Brian mengernyit. "Beberapa hari yang lalu Tuan Mathew memilik agenda meeting bersama dengan Tuan Nathaniel di Chicago namun Tuan Nathaniel mengatakan bahwa Tuan Mathew tidak datang dan hingga saat ini pihak kantor tidak dapat menghubungi Tuan Mathew maupun Tuan Maxim" Brian bangkit dari duduk nya mendengar perkataan wanita tersebut, Mathew dan Maxim sekretaris putranya tidak dapat dihubungi hingga saat ini, beberapa pemikiran buruk mulai bersarang di otak Brian. "Baiklah, aku akan meminta anak buah ku untuk mencari Mathew" ucap Brian lalu mematikan sambungan telepon tersebut. "Di mana anak nakal itu?" tanya Brian seraya memijat pelipisnya, hal seperti ini bukanlah hal pertama yang terjadi, putra bungsu nya tersebut sering mangkir dari beberapa meeting penting, ia tahu bahwa Mathew begitu terbebani dengan tiga perusahaan yang ia berikan kepadanya namun ia pun tidak dapat meminta atau memaksa Arthur untuk membantu Mathew mengurus tiga perusahaan tersebut di tengah-tengah hubungannya dan Arthur yang tidak baik selama ini. Brian segera menghubungi anak buahnya untuk mencari keberadaan Mathew dan bertapa terkejutnya ia ketika anak buahnya tersebut ternyata hendak memberitahu kepadanya tentang keberadaan Mathew saat ini. Setelah mendengar informasi yang diberikan oleh anak buahnya Brian dapat bernafas dengan lega karna pemikiran buruk yang bersarang di otaknya sejak tadi tidak terwujud, ia segera kembali memasuki ruang rawat Arthur. Brian tersenyum ketika ia memasuki ruangan tempat dimana Arthur dirawat, putranya itu tengah tertidur. Brian juga melihat sang istri yang meringkuk di atas sofa, ia lalu berjalan mendekati Vallery untuk membenarkan posisi tidur wanita itu, setelahnya ia mengecup kening Vallery dengan lembut. "Kau pasti sangat kelelahan mengurusi putra kesayangan ku" ujar Brian setelahnya. Tanpa ia sadari, semua perkataan dan sikapnya kepada sang istri dilihat dengan jelas oleh Arthur yang pura-pura tertidur. Mendengar penuturan sang ayah jika ia adalah putra kesayayangannya membuat hati Arthur terasa sesak, seolah ada batu yang menghimpit di dadanya saat ini. Brian lalu berdiri dan berjalan menghampiri Arthur yang tengah terbaring lemah, ditatapnya penuh sayang putra sulung nya itu. Brian mengusap puncak kepala Arthur dengan lembut, membuat tubuh Arthur menegang seketika, sedari kecil usapan itu mampu membuat ia merasa tenang, namun kali ini usapan tersebut membuat hatinya terasa semakin sesak, usapan itu seolah membuat kerinduan nya selama ini semakin membuncah. Puluhan tahun Arthur membenci ayahnya tersebut tapi selama itu juga ia berusaha mati-matian untuk menahan kerinduan nya terhadap sang ayah. Sebelum kejadian yang ia lihat dua puluh tahun yang lalu, hubungannya dengan sang ayah berjalan begitu baik, bahkan sikap manjanya kepada sang ayah melebihi Mathew, adiknya itu lebih dekat dengan sang ibu dibanding dengan ayah mereka, berbeda dengan Arthur yang dekat dengan keduanya namun kedekatannya dengan sang ayah lebih mendominasi. Brian masih mengusap puncak kepala Arthur dengan pelan, ingatan tentang masa kecil Arthur berputar dalam pikirannya saat ini. Ia masih ingat dimana ia melatih Arthur untuk menembak menggunakan pistol sungguhan, ia masih ingat raut wajah putranya yang saat itu berhasil menembak sasaran dengan tepat meskipun akhirnya suara tembakan itu membuat Vallery mengetahui acara diam-diam Brian yang mengajarkan putranya untuk menembak. Karena sang istri mengetahui kelakuannya alhasil ia terpaksa tidur di kamar tamu selama dua malam. Brian tersenyum mengingat kejadian itu, dulu, apapun yang diinginkan oleh Arthur selalu ia penuhi, termasuk memberikannya sebuah pistol sungguhan di hari ulang tahun Arthur yang ke tujuh. "My boy has grown up this time" melihat sang putra membuat Brian seolah melihat dirinya sendiri di umur dua puluh delapan tahun. Brian memandangi wajah Arthur yang sembilan puluh persen mewarisi ketampanan wajahnya mulai dari rahang, bentuk mata, bentuk hidung bahkan bentuk bibir. Berbeda dengan Mathew putra bungsu nya yang mewarisi wajah sang istri. Mathew memiliki wajah yang diwariskan oleh Vallery, mulai dari bentuk alis serta bentuk bibir. Brian kembali tersenyum kala ia mengingat kalah taruhan dengan Vallery kala itu. "Get well soon, my boy" lagi-lagi tubuh Arthur membeku ketika mendapati ciuman sang ayah di puncak kepalanya, setelah itu ia mendengar suara derap langkah sang ayah yang menjauhinya. Arthur membuka sedikit matanya untuk menatap Brian, ternyata ayahnya tersebut tengah membaringkan tubuhnya di sofa yang berada di dekat sang ibu, bahkan ayahnya menggenggam jemari Vallery yang sedang tertidur, tak lama, ayahnya pun memejamkan kedua matanya tanpa melepas genggaman tangan mereka. Hati Arthur terasa nyeri melihat pemandangan itu, siapapun yang melihat pasangan tersebut pasti bisa melihat bagaimana Brian sangat mencintai Vallery sang istri. Benarkah yang ku lihat saat itu? tanya Arthur dalam hati. Selanjutnya ia memilih memejamkan mata ketika ia merasa benar-benar mengantuk. *** Seorang pria berwajah tampan dan manis tengah tersenyum di balik pintu ruang rawat inap. Senyumannya bercampur dengan kegetiran di hatinya saat ini. Dari kaca kecil yang ada di pintu tersebut ia bisa melihat bagaimana sang kakak diam-diam memperhatikan ayah mereka. Ya. Pria itu adalah Mathew Daniel Abraham. Sekeras apapun hati Arthur sang kakak, Mathew masih bisa melihat dengan jelas bahwa ada kerinduan di kedua mata sang kakak terhadap ayah mereka. Maaf, aku tidak bisa menjenguk mu. Jika saja kau tahu, aku ingin menjenguk mu, sangat ingin. Namun aku tahu apa yang akan terjadi jika aku menampakkan batang hidungku di hadapan mu. ujar Mathew dalam hati seraya tersenyum getir. Kau pasti menatap ku dengan tatapan yang sangat dingin. Perkelahian kita dua tahun yang lalu pasti membuat mu semakin membenci ku. Apakah kau tahu bagaimana aku merindukan kedekatan kita seperti dulu? lagi-lagi Mathew tersenyum dengan getir. Aku merindukan dirimu yang selalu menjaga ku di sekolah. Aku merindukan aksi mu ketika kau menodongkan pistol ke arah teman satu sekolah kita yang membuli ku ketika kita masih duduk di sekolah dasar, meskipun hal itu berakhir dengan Mommy yang memukul b****g mu dengan sangat keras. Dengan perlahan Mathew mengusap lelehan air mata yang diam-diam membasahi wajahnya. Semoga dengan darahku yang ada di dalam tubuh mu, membuat ikatan keluarga dan ikatan batin diantara kita tidak pernah pudar meskipun seribu kali kau berusaha menghancurkan ikatan itu. Ya. Pria yang mendonorkan darahnya saat malam itu adalah Mathew. Ia dengan sangat terpaksa membatalkan pertemuannya dengan seorang klien di Chicago ketika ia mendapat kabar bahwa kekasihnya terkena penyakit typus yang mengharuskan wanita itu untuk dirawat di rumah sakit. Saat tiba di rumah sakit tempat sang kekasih dirawat, ia tanpa sengaja melihat beberapa suster yang membawa kakaknya ke ruang gawat darurat. Saat itu juga ia segera membuntuti para suster dan ia bisa mendengar dengan jelas bahwa kakaknya kehilangan banyak darah. Flashback On. "Hallo, aku sudah di lobby rumah sakit, little pumpkin dirawat di ruang berapa?" Wanita di ujung telepon sana terkekeh mendengar Mathew yang memanggil kekasihnya dengan julukan Little Pumpkin "Aku saja yang menghampiri mu" "Baiklah, aku tunggu di lobby" Saat sedang menunggu seseorang untuk mengantarkannya menuju ruangan tempat sang kekasih di rawat, Mathew menoleh ketika mendengar kegaduhan dari depan lobby rumah sakit. Tubuhnya menegang seketika saat melihat tubuh sang kakak yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit dengan kondisi yang sangat parah, darah ada di mana-mana dan ia bisa melihat dengan jelas jika kaki sang kakak patah. Ia segera mengikuti langkah para suster yang membawa tubuh kakaknya. "Sepertinya pasien kehilangan banyak darah" ujar salah satu perawat perempuan, membuat perawat lainnya mengangguk mengiyakan. "Mohon tunggu di luar, Nona" ujar perawat itu kepada seorang wanita yang datang bersama dengan Arthur. Wanita itu melangkah mundur, mengatur nafasnya yang memburu, bahkan Mathew bisa melihat dengan jelas jika wanitu itu berkeringat. Mathew ingin sekali bertanya tentang siapa wanita itu namun saat ini yang ia pikirkan adalah keselamatan sang kakak. Mathew segera mencari seorang suster agar ia bisa mendonorkan darahnya untuk Arthur mengingat bahwa perawat yang membawa Arthur tadi mengatakan jika Arthur kekurangan banyak darah. Saat Mathew berjalan menghampiri seorang suster agar ia bisa mendonorkan darahnya, ia dikejutkan oleh seorang wanita paruh baya. "Mathew" Mathew menoleh melihat Jennifer yang tengah mengatur nafasnya. Jennifer Masen adalah ibu dari kekasihnya. "Jenny. Bagaimana keadaan Arianna?" "Dia sudah bangun, ayo ku tunjukkan kamarnya, sedari tadi aku mencari mu" Mathew menoleh ke arah suster yang berlalu lalang lalu kembali menoleh ke arah Jennifer. "Tunggu sebentar, Jenny. Aku harus mendonorkan darah ku untuk kakakku yang baru saja mengalami kecelakaan" ujar Mathew lalu bergegas menghampiri seorang suster yang berdiri tak jauh darinya. "Suster, aku ingin mendonorkan darah ku. Aku mendengar ada seorang pasien yang kehilangan banyak darah, kebetulan darah ku bergolongan sama dengan pasien tersebut" suster tersebut tersenyum. "Baik, Tuan. Kami cek terlebih dahulu bagaimana kondisi mu, jika kondisi Tuan baik dan memungkinkan untuk mendonorkan darah maka kami akan melakukan pengambilan darah segera" ujar suster tersebut lalu membimbing Mathew untuk memasuki ruangan tempat pendonoran darah. Jennifer tersenyum melihat sikap kekasih dari putrinya, ia tahu bagaimana hubungan Mathew dan juga Arthur, ia senang ketika Mathew masih mempedulikan Arthur meskipun Arthur pernah menyakiti hati pria itu, Jennifer tahu semuanya, selama ini Mathew selalu membagi kisahnya kepada Jennifer, bagi Mathew, Jennifer adalah wanita ke empat yang sangat berarti dalam hidupnya setelah Vallery, Bella dan Arianna. Flaskback Off. "Tuan Mathew" sapa Justin membuat Mathew terkejut dan tersadar dari lamunan nya. Justin kembali ke rumah sakit tempat Arthur dirawat untuk berjaga namun ia dikejutkan oleh kehadiran seorang pria yang dianggap musuh oleh Tuan nya. "Oh, Justin" sapa Mathew dengan senyum canggung, ia takut jika Justin akan memberitahu Arthur bahwa dirinya ada di rumah sakit ini. "Kau tidak ingin masuk, Tuan?" tanya Justin membuat Mathew menggeleng lirih. "Tidak. Harusnya aku berada di Chicago untuk saat ini, tapi karena kekasihku sedang sakit dan dirawat di rumah sakit ini maka dari itu aku kemari" Justin tersenyum mendengar penuturan dari Mathew. Di hadapan Mathew, Justin merasa bisa menjadi manusia normal pada umumnya yang dapat tersenyum. Berbeda jika ia dihadapkan dengan Arthur, bahkan tubuhnya seolah di-setting untuk menjadi kaku jika berhadapan dengan Tuan nya yang dari tatapan matanya saja sudah menyeramkan. "Jangan beritahu orang tua atau kakakku jika aku ada di rumah sakit ini, Daddy bisa marah jika tahu aku membatalkan janji pertemuan ku dengan klien di Chicago" ujar Mathew seraya menyengir membuat Justin terkekeh. "Tidak akan, Tuan" jawab Justin seraya tersenyum. "Baiklah, sepertinya kekasihku sudah menunggu. Aku harus kembali melihat kekasihku" ucap Mathew kembali membuat Justin tersenyum. "Baik, Tuan. Semoga Nona Arianna cepat sembuh" ucap Justin dengan senyum ramahnya. "Thank's, Justin" setelah Mathew pergi, Justin segera duduk di kursi tunggu yang ada di lorong tersebut seraya mengecek beberapa pesanan yang harus ia handle selama keadaan Arthur belum membaik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN