8. Jalur Coklat

2161 Kata
Februari 2019, Malang, Indonesia. Dengan lihai, Vanko menandatangani sebuah file dari salah satu karyawannya yang bekerja di tim perencanaan. Lelaki itu bukan hanya sekedar karyawan biasa, tapi dia juga bisa dibilang teman Vanko karena ayah dari lelaki itu bekerja sebagai sopir untuk orang tua Vanko selama lebih dari dua puluh lima tahun. "Wah... Akhirnya kamu menyetujui apa yang aku inginkan." kekeh salah satu dari mereka. "Daripada aku dipecat cuma gara-gara gak nurutin apa yang kamu mau. Mending aku ngalah." Vanko melihat ke arah Andri, dia tersenyum tampan padanya sambil mengangguk beberapa kali. "Pilihan tepat. Lagi pula, kamu juga dapet untung dari ide ini. Dan, di luaran sana juga banyak perempuan suka rasa stroberi ketimbang coklat. Jadi apa salahnya bikin coklat rasa stroberi." kata Vanko tentang rengekannya yang meminta Andri agar membuat perencanaan tentang varian baru buat mengembangkan usaha coklat mereka. Andri memijat pelan kepalanya yang terasa berat dan nyeri. Dia tak habis pikir pada Vanko yang selalu begitu. "Kenapa bukan kamu sendiri yang bilang pas rapat sama dewan direksi? Kenapa malah nyuruh aku ngelakuin ini? Kenapa kamu rela ngasih idemu buat aku dan bikin aku dapet pujian atas ide yang gak aku miliki?" Andri bertanya karena merasa heran, kenapa Vanko melakukan ini padanya. "Gak ada alasan khusus buat kamu dan alasan khusus itu cuma ada buat aku sama orang yang aku pilih buat punya alasan itu." Lagi dan lagi, Andri hanya menghela napas mendengarkan alasan yang Vanko berikan yang menurutnya itu sangat konyol dan tidak masuk akal. *** Oktober 2019, Los Angeles, California, Amerika Serikat. Hari ini minggu, tapi kegiatan di kediaman Williams tidak ada yang berbeda. Pukul setengah enam pagi sudah harus bangun buat siap-siap olahraga untuk mengawali aktivitas setiap harinya. Becca selesai olahraga pukul 7:20, setelah dia berolahraga sambil berjemur di bawah sinar matahari pagi yang malu-malu menampakkan diri. Kegiatan tidak berhenti begitu saja. Gadis itu diharuskan segera mandi setelah berolahraga lalu lanjut mempercantik dirinya menggunakan pakaian mewah nan mahal, perhiasan ternama, dan make-up yang bisa membuat orang lain terpesona. Meski kegiatan di setiap harinya sama saja, tapi Becca paling suka hari minggu. Di hari ini, dia bisa berjalan-jalan sepuasnya dan makan apa saja yang dia inginkan. Becca sering melakukannya, makan ini dan itu bagaikan orang kerasukan. Meski nantinya dia juga akan diminta menurunkan berat badannya lagi kalau sampai timbangan di hari senin pagi ada kenaikan. Seperti hari ini, gadis itu sudah ada janji bersama teman baiknya selama dia hidup di Negeri Paman Sam. Mereka janji buat jalan-jalan ke mall dan kulineran sampai lupa pulang. Namun untuk sampai ke acara jalan-jalan bersama temannya, Becca harus melewati satu tahapan yang juga tidak boleh ditinggalkan. Apalagi kalau bukan sarapan bersama Gina di meja makan. Hal yang paling membuat Becca muak. Karena menu makanan yang akan dia makan hanya dipilihkan oleh sang mama. Meski Becca duduk di sana, tapi dia tidak memiliki kebebasan buat memilih lauk pauknya sendiri. Waktu berlalu sangat cepat. Tibalah waktunya Becca jalan-jalan dan bersenang-senang bersama teman baiknya. "Delbara, ayo kita ke sana. Aku mau coklat." ajak Becca sambil menunjuk sebuah rak yang menyimpan banyak merek coklat. Benar, teman Becca bernama Delbara. Dia bisa berbahasa Indonesia karena memang orang tuanya juga berasal dari Negeri Katulistiwa. Meski mereka bisa berteman karena adanya izin dari Gina, tapi tetap saja buat Becca, sekalinya menjadi teman maka selamanya akan tetap teman. "Oke." Delbara mengangguk. Sampailah Becca di tempat rak panjang yang hanya menyimpan banyak sekali coklat dari berbagai merek. Mata Becca melihat dengan jeli hingga akhirnya dia menemukan coklat bluesky. Tapi Becca lebih dikagetkan karena ada varian rasa baru yang dikeluarkan Food Industry. Apalagi kalau bukan coklat rasa stroberi. "Wah... Ada rasa stroberi sekarang? Berasa kalau yang punya perusahaan coklat ini tahu kalau gue suka banget beli coklat mereka dan tahu kalau gue suka stroberi. Makanya mereka keluarin coklat varian baru." gumamnya sambil melihat-lihat kemasan coklat rasa stroberi kesukaannya. “Ya kamu pikir, kamu sehebat itu bisa sampai dikenal sama pimpinan Food Industry.” cibir Delabara yang puas menertawakan Becca. Gadis itu mengambil banyak sekali batang coklat dan dia berniat untuk membawa beberapa coklat rasa stroberi itu buat pulang agar bisa menjadi teman di rumah. "Kamu bisa menghabiskan semuanya?" heran Delbara karena Becca tak berhenti mengambil batang coklat. Becca menatap Delbara, dia mengerjapkan kedua matanya berulang kali seolah sedang memohon. Sampai tak lama, Delbara menghela napas dan menggelengkan kepalanya. "Ayolah, cuma kamu yang dipercaya sama Mamaku." mohonnya lagi. Delbara tetap diam, tapi dia juga merasa kasihan pada Becca. “Oke, tapi enggak gratis." Becca seketika memeluk tubuh Delbara, teman yang sudah banyak membantunya selama dia tinggal di Los Angeles. Banyak makanan yang tidak diperbolehkan dibawa pulang oleh Gina, dan salah satunya coklat. Karena itu bisa membuat badan Becca jadi lebih berisi. Akhirnya, Becca selalu meminta bantuan Delbara untuk menyimpan semua makanan di rumahnya. Lalu nanti kalau Delbara bermain ke rumah, dia akan membawanya satu bungkus secara diam-diam. Karena Gina tidak akan memeriksa isi tas Delbara, maka dari itulah Becca selalu meminta tolong pada Delbara. *** Februari 2022. Melihat Becca sekaget itu, membuat Vanko tertawa sendiri. Tak pernah dia bayangkan kalau Becca akan kaget juga setelah tahu bahwa dia salah satu keturunan pemilik Food Industry. "Ekspresi lo sama aja kayak Zulla sama Lingga tahu gak?" komentar Vanko. "Enggak perlu sekaget itu, gue cuma penerus keenam kok. Gue gak sehebat itu." Dengan senyuman cantiknya, Becca membalikkan badan dan kembali melihat Vanko. Dia masih tidak percaya kalau selama ini lelaki yang dia rindukan adalah penerus keenam dari pendiri Food Industry yang hampir semua produknya dia sukai. "Lo gak lagi ngarang cerita 'kan?" tiba-tiba saja Becca sedikit ragu pada Vanko. Perlahan-lahan, Vanko memajukan badannya sambil memberikan senyuman memabukkan. Namun Becca berusaha biasa saja, padahal jantungnya sudah hampir copot. “Ternyata selama ini kita enggak bener-bener terpisah. Kita masih terhubung lewat coklat.” gumam Becca pelan. "Eum... Besok mau nemenin gue ke kantor gak? Bentar doang mampir ke ruangan buat tandatangan beberapa dokumen terus kita jalan-jalan." katanya pelan namun berhasil membuat Becca mendelik. "Gimana?" Tak sampai satu menit, gigi rapi Becca terlihat ketika dia nyengir bagaikan kuda. Hal ini membuat Vanko semakin gemas. Dicubitnya kedua pipi Becca guna menyalurkan rasa gemasnya pada gadis di depannya. "Uluh... Uluh... Gemesin banget sih." gumamnya sambil menggertakkan gigi khas orang sedang gemas akan sesuatu. "Sakitttt...!" pekiknya sambil menangkis tangan kekar Vanko. Belum selesai dengan rasa nyeri di pipinya, Becca kembali dibuat kaget akan tindakan Vanko yang tiba-tiba mendorongnya sampai mentok ke ujung sofa. Dan tanpa Becca duga, lelaki itu kini berbaring serta merebahkan kepalanya ke pahanya. Sontak Becca langsung memegangi dadanya, jantungnya harus diselamatkan. Kalau terus begini, Becca tidak tahu apakah jantungnya masih selamat atau tidak. Tapi dia juga menyukai momen seperti ini. "Ah... Nyaman." gumam Vanko seraya memejamkan matanya dan menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Sementara Becca, dia merasa sekujur tubuhnya seolah mematung. Dia bahkan tidak berani bergerak sedikit pun karena takut mengganggu kenyamanan Vanko. "Gue ngantuk, lo cukup temenin gue sampai tidur." katanya sambil menatap ke arah Becca dari bawah. Jika tadi dia berubah menjadi patung, sekarang Becca cosplay jadi robot yang cuma bisa mengangguk mengiyakan apa yang Vanko katakan. Dilihatnya, Vanko kembali memejamkan matanya. "Lo bo-boleh ti-tidur di ranjang sa-sama gue lagi." kata Becca memberanikan diri walau dia tidak percaya diri. Terdengar suara kekehan tawa yang begitu pelan dari bibir Vanko. Hal ini membuat Becca bertanya-tanya dalam hatinya. Duh, gue kayak cewek murahan gak ya bilang gitu ke dia barusan? Tanyanya pada hatinya sendiri. "Mak-maksud gue, ini 'kan rumah lo. Ja-jadi, lo lebih berhak tidur di ranjang daripada gue." lanjutnya karena takut Vanko akan berpikir yang tidak-tidak tentangnya. "Jangan suka sembarangan ngajak cowok tidur bareng. Gak semua cowok berpikiran sama kayak gue." tiba-tiba Vanko mengatakan ini. Suhu badan Becca berubah secara drastis. Dia bagaikan ditampar oleh realita. Karena memang kenyataannya kalau dia mengajak lelaki tidur bersamanya, itu akan dianggap sebagai hal negatif. "Gue bilang begitu bukan karena gue nganggep lo cewek murahan. Tapi karena gue gak mau orang lain mikir buruk tentang lo." Vanko kembali bersuara karena dia juga tidak mau Becca tersinggung akan kata-katanya. "Lo bener kok." Becca menyahut dan dia bisa menerima. Kelopak mata Vanko kembali terbuka, dia menatap Becca masih dari posisi yang sama. Tak lama, dia tersenyum pada gadis yang terlihat kaku tersebut. "Lemesin kakinya, biar gue bisa tidur nyaman." titah Vanko sembari terkekeh. "Hahaha... Ini udah gue lemesin." Tawa sumbang membuat Vanko semakin suka menggoda Becca. Dia ikut tertawa melihat wajah gadis yang bersamanya. "Mau dipuk-puk tidurnya biar gak mimpi buruk nanti." Lagi-lagi Becca dikagetkan oleh permintaan absurd yang Vanko inginkan. Becca merasa tangannya ditarik lalu diletakkan di pundak Vanko dan memintanya buat menepuknya pelan-pelan. Tak ada yang bisa Becca lakukan selain menuruti apa yang Vanko mau. Dia akhirnya menepuk punggung Vanko bagaikan menidurkan seorang bayi. Seiring waktu, Becca juga ikut melemaskan kakinya agar Vanko lebih nyaman berbaring di atas pahanya. Tak sampai sepuluh menit, Becca sudah mendengar suara dengkuran halus. Vanko benar-benar tertidur di atas pangkuannya. Rasa bahagia dalam diri Becca tak bisa dia hindari begitu saja. Gadis itu senang karena Vanko nyaman bersamanya seperti sekarang ini. Tangan Becca masih menepuk-nepuk punggung Vanko, seolah takut kalau dia berhenti nanti Vanko akan terbangun. Becca terlalu takut mengganggu tidur Vanko yang tampak begitu damai. Hingga akhirnya, setelah satu jam berlalu, Becca baru berani menggantikan pahanya dengan bantal yang ada di sofa. Tak lupa, dia juga menyelimuti Vanko agar tidak kedinginan. “Hah... Dia bener-bener kecapekan. Secangkir kopi aja tetep enggak bisa nolong dia.” Becca terkekeh melihat itu. "Good night..." ujar Becca lirih usai menyelimuti badan Vanko. Becca pun berniat untuk tidur. Tapi sebelumnya, dia mematikan televisi terlebih dahulu baru menaiki ranjang. "Cukup kayak gini, gue udah bahagia." gumamnya pelan lalu menarik selimut sampai menutupi seluruh badannya. *** Tidak ada ketenangan di seluruh ruangan para petinggi Bee Group, semuanya dipenuhi asap yang keluar dari kepala. Semuanya memikirkan tentang nasib perusahaan yang sedang berada di ujung tanduk. Tak beda jauh dengan isi ruang rapat yang semuanya tampak emosi menyalahkan Gina karena dianggap tak bisa mengurus Becca dengan benar. Kaburnya Becca tidak hanya berdampak bagi keluarga Williams saja, tapi juga seluruh keluarga yang menggantungkan hidupnya di Bee Group selama puluhan tahun. "We can still find another way out. We can sell some stocks and resorts in Japan to cover the losses, and the shortfall we can get from borrowing money in the bank." dengan berat hati, Gina harus mengatakan ini karena tidak punya pilihan lain lagi. Tentu saja, keputusan Gina akan menimbulkan pro dan kontra. Kalau resort yang ada di Jepang dijual, itu artinya para pekerja belum diketahui bagaimana nasibnya. Dan itu membuat para pimpinan yang bertugas mengelola beberapa resort itu protes. "Why not just sell one of your private homes? Why sacrifice resorts in Japan?" sudah ada yang protes dan tidak setuju akan keputusan Gina, padahal baru saja diumumkan. Karena Gina sudah kelabakan dan kebingungan bagaimana cara mengatasinya, dia tidak menerima protes seperti itu. Dia langsung meminta Arthur untuk mengumumkan kepada para pemilik uang tanpa angka limit dan mengatur proses penjualan beberapa resort di Jepang sampai selesai. Gina langsung mengakhiri rapat dan pergi dari sana. Dia tidak ingin mendengar hal yang membuatnya lebih kesal. Diikuti Arthur di belakangnya, Gina menuju lift dan berniat untuk pulang sekarang juga. "Akhh... Aw..." Tiba-tiba saja, tubuh Gina terhuyung ke belakang. Untungnya ada Arthur yang siap menopang tubuhnya kalau-kalau Gina jatuh mendadak. Hal itu membuat orang-orang di sekitar sana cukup panik dan juga ingin membantu Gina. Ada yang benar-benar simpati dan merasa kasihan pada wanita paruh baya itu. Tapi ada juga yang senang melihat Gina tertimpa masalah. "Biar saya panggil dokter ke rumah sekarang juga." Gerakan tangan Arthur yang sudah akan mengambil ponselnya dicegah oleh Gina. "Saya cuma perlu istirahat saja." tolaknya agar Arthur tidak jadi menelepon dokter keluarga. Arthur menurut dan dia segera membantu Gina berjalan memasuki lift. Tak berselang lama, mereka sampai di basement dan Arthur segera membantu Gina masuk perlahan. Begitu pula dengan Arthur yang siap mengemudi menuju kediaman Williams. Dari arah spion tengah, Arthur melihat Gina yang memejamkan matanya guna mengurangi rasa pusing yang melanda. Tiba-tiba, dengan berani, Arthur menggenggam jemari Gina hingga membuat wanita itu membuka matanya. "Saya tidak apa-apa. Jangan khawatir." ujarnya seraya meremas jemari kekar Arthur. Mereka saling berpegangan tangan, cukup erat dan saling meremas satu sama lain. "Anda terlihat sangat kelelahan menghadapi masalah ini. Bagaimana kalau malam ini saya temani?" Dari balik wajah tuanya, Gina tersenyum sambil memandang paras rupawan sekretarisnya. "Kamu sudah tahu saya kelelahan, tapi kamu malah menggoda saya?" Mereka sama-sama terkekeh namun tak lama, Arthur kembali menatap Gina dengan lembut. "Saya hanya tidak mau Anda terlihat stres dan saya ingin menjadi orang yang bisa membuat rasa lelah Anda hilang." Sebuah kecupan singkat diberikan Arthur di punggung tangan Gina, membuat wanita paruh baya itu tersipu bak anak ABG sedang jatuh cinta. "Oke, kita nanti mampir ke toko bunga dulu. Aku ingin membeli mawar." angguk Gina menyetujui. "Saya mengerti." Arthur langsung melajukan mobilnya meninggalkan gedung Bee Group yang menjulang tinggi ke awan. “Ah... Bagaimana perkembangan tentang pencariannya?” tanya Gina yang lagi-lagi teringat akan Becca.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN