2. Pilihan

1979 Kata
Dua jam sebelum Becca menelepon Vanko. "Perfect. You are so beautiful, baby." puji seorang rias pengantin terkenal yang disewa oleh keluarga Jones untuk mendandani Becca di acara pernikahan putranya dengan putri tunggalnya Jordan Williams yang sudah meninggal delapan tahun lalu. Becca membuka matanya, dia melihat dirinya sendiri dari pantulan cermin besar. Bukannya senyuman yang menghiasi wajahnya, melainkan sebuah tangisan. Sampai membuat MUA terkenal tadi sedikit panik. "No. No. No. Don't cry, baby." pintanya seraya mengelap air mata yang mengalir di pipi Becca. Bukannya berhenti, tapi tangisan Becca malah semakin deras. Sampai MUA itu sedikit bingung harus bagaimana meminta Becca berhenti menangis. Kalau begini terus, bisa-bisa riasannya berantakan. Usahanya untuk mempercantik calon pengantin wanita bisa gagal, dan bisa jadi ini kegagalan pertamanya merias dalam kariernya menjadi MUA. "Aku mau sendiri." pinta Becca. MUA tadi yang masih panik akhirnya keluar setelah Becca kembali memintanya. Tak lama, seorang asisten rumah tangga yang sudah mengabdi di keluarga Williams lebih dari dua puluh lima tahun, masuk ke kamar Becca. Wanita paruh baya itu memeluk gadis yang dia asuh dari baru lahir. "Non Becca yang sabar ya." ujarnya ikut pilu melihat putri majikannya. "Aku enggak mau nikah, Bik. Hiks... Hiks...." isak Becca dalam pelukan Gendis, asisten rumah tangga yang sudah dia anggap seperti neneknya sendiri. Gendis merogoh saku kebayanya, sebuah ponsel berwarna putih diberikan kepada Becca. Mata Becca melebar, ponsel itu adalah miliknya saat masih sekolah dulu. Bukan, tepatnya sebelum dia berangkat ke Los Angeles. "Ini Non, kalau Non Becca mau pergi. Kebahagiaan Non tetap yang utama buat Bibik." Gendis mengusap air mata di wajah Becca meski dia juga menangis. "Terus Bibik gimana?" "Jangan khawatirin Bibik, Non. Yang terpenting sekarang, Non Becca bisa pergi dari sini. Cari kebahagiaan Non sendiri." Becca semakin terharu, harusnya dia mendengar kalimat seperti itu dari mamanya. Tapi tidak, malah mamanyalah yang membuatnya bagaikan terpenjara. Mamanya juga yang memaksanya menikah dengan lelaki yang tidak dia cintai. "Makasih banyak ya, Bik. Pokoknya, Bibik tetap harus sehat." Tanpa membuang-buang waktu lagi, Becca menuju balkon kamarnya dan mencari cara agar bisa keluar dari rumah. Sampai akhirnya, Becca berhasil turun lewat pipa air samping kamarnya. Gadis itu merosot begitu saja dan berjalan mengendap-endap agar tidak ada yang tahu. Untung saja, mamanya tidak membayar pengawal agar berjaga di sekitar kamar. Semua itu juga karena selama ini Becca pura-pura nurut saja sampai akhirnya Gina percaya pada Becca kalau anaknya tidak mengkhianatinya. Ternyata Gina salah besar, buktinya sekarang Becca berhasil melompati tembok pembatas rumah dengan jalan. Kebetulan saat itu ada taksi lewat dan Becca memilih sebuah masjid yang tidak terlalu sepi atau ramai untuk bersembunyi. Kalau nanti mamanya meminta orang mencarinya, mereka juga tidak akan mengira bahwa Becca sembunyi di masjid. *** Satu jam setelah Vanko membawa Becca dari masjid. Ada empat orang di apartemen Lingga. Karena permintaan Becca yang sangat takut ketahuan, Vanko tidak jadi membawa Becca ke hotel. Untung saja, Lingga punya apartemen di Jakarta walau sebenarnya lelaki itu juga asli orang Metropolitan. Hanya ada Becca, Vanko, Zulla dan pemilik apartemennya. Sedangkan Tania, gadis itu diantar pulang oleh Lingga dari tiga puluh menit yang lalu. Sekarang, mereka tahu alasan kenapa Becca memakai kebaya pengantin seperti ini. Mendengar bahwa Becca melarikan diri sebelum pernikahan, membuat Vanko sangat lega dalam hati walau dia tidak menunjukkan melalui ekspresi wajahnya. Berarti, Vanko tidak menolong istri orang sekarang. "Jadi Tante Gina nikahin lo itu supaya keuangan perusahaan yang ditinggalkan Papa lo kembali stabil?" tanya Zulla lebih memastikan. Becca mengangguk mengiyakan pertanyaan Zulla. "Wah... Gue enggak nyangka kalau Tante Gina bisa setega itu sama anaknya sendiri. Rela ngejual anaknya ke siapa saja yang mau bantu perusahaan Papa lo." Zulla berdecak seraya menggelengkan kepalanya tak menyangka akan nasib Becca kalau tidak berhasil kabur. "Orang yang mau dinikahin sama lo itu udah tua apa masih muda, Bec?" Lingga malah bertanya hal tak penting seperti ini. "Tuaan dia dua tahun dari gue, tapi gue enggak suka. Dia punya pacar selain gue dan dia suka tidur sama cewek bar." cerita Becca tentang mantan calon suaminya. "Padahal enggak apa-apa kali, Bec. Enggak tua juga, berduit dan yang penting 'kan meski dia punya banyak cewek, istrinya tetep lo doang." Mata Zulla melotot mendengar mulut cablak Lingga barusan. Tidak tahu saja Lingga, kalau sekarang Vanko menatapnya dengan tatapan siap membunuhnya saat ini juga. "Ish... Mau dia punya duit selangit juga kalau gue enggak suka ya enggak mau gue sama dia." dengus Becca kesal akan perkataan Lingga. "Gue juga berduit." kata Vanko sangat lirih sampai terdengar hanya sebuah gumaman belaka. "Lo ngomong apa?" heran Zulla. "Apaan? Enggak. Ini apartemennya Lingga banyak serangga." bohong Vanko, padahal sebenarnya Becca tadi bisa mendengarnya. Kebohongan kecil Vanko tadi tidak ada kelanjutannya. Semuanya diam, sedikit bingung mau bicara apa lagi. "Maafin gue, yang dateng-dateng terus bikin ribut. Gue takut Mama nemuin gue. Gue juga enggak tahu harus kabur dan sembunyi di mana. Gue enggak punya temen selain kalian." ujar Becca yang sudah tidak terisak-isak seperti tadi lagi. Akhirnya, perkataan Becca ini membuat ketiga temannya kembali berpikir buat mencari cara menolong Becca. Zulla juga tidak mungkin membawa Becca ke rumahnya. Meski itu terjadi, belum tentu suaminya setuju. Sedangkan Lingga, apartemen yang sekarang mereka datangi itu ditempati adik sepupu Lingga yang sedang kuliah di Jakarta dan sepupunya laki-laki. "Ikut gue, dan gue jamin lo bakal aman." ajak Vanko membuat Becca serta dua teman lainnya menatap Vanko penuh tanya. "Lo mau ngajak Becca ke planet lain?" cibir Zulla. "Meski bukan ke planet lain, tapi gue jamin kalau Becca enggak akan ditemukan." janji Vanko pada Becca dan kedua temannya. Delapan tahun tidak bertemu, Becca pikir perasaannya untuk lelaki yang menolongnya itu sudah hilang. Tapi ternyata tidak, Becca masih merasakan jantungnya dag dig dug tak karuan dari awal melihat Vanko sampai detik ini. Perasaan sayang itu masih ada dan tidak berkurang sedikit pun. "Ke mana?" Vanko rasa, pertanyaan Becca adalah sebuah sinyal positif. Lagi pula, pasti Becca juga tidak punya pilihan lain. "Lo ikut gue balik ke Malang siang ini juga. Enggak ada yang tahu gue tinggal di sana selain Mama gue, Zulla, sama Lingga. Dan gue jamin, mereka enggak akan ngasih tahu ke siapa-siapa kalau gue di Malang." jelasnya. Betul sekali, Zulla baru ingat kalau Vanko sudah tiga tahun tinggal di Malang dan lelaki itu sangat tertutup pada kehidupan pribadinya. Bahkan saat teman di tim basketnya bertanya dia tinggal di mana, Vanko tidak memberi tahu mereka. "Lo udah nikah?" Becca malah bertanya seperti ini karena mendengar kata balik yang Vanko ucapkan tadi. "Vanko enggak akan nungguin lo balik kalau dia udah nikah." celetuk Lingga. Memang benar-benar, mulut lelaki itu tidak bisa beretika sebentar saja. Hal yang tidak harus dia katakan, malah keluar dari bibirnya. Hati Becca senang mendengar ini. Ada sedikit senyuman di wajahnya tapi dia tidak berani memperlihatkan ke semua temannya. *** Sepuluh jam perjalanan ditempuh oleh Vanko. Lelaki itu menyetir mobilnya sendiri dari Jakarta ke Malang. Hal itu sengaja Vanko lakukan agar tidak ada catatan pembelian tiket atas nama Becca Areera di bandara, pelabuhan, stasiun ataupun terminal. Pasti Gina tidak akan menyerah dan menyuruh semua orang bayarannya untuk mengecek ke setiap tempat pembelian tiket buat transportasi umum. Perlahan-lahan, Vanko membaringkan Becca di ranjangnya dan menyelimutinya. Dia juga merasa lelah, semalam dia berkendara dari Malang ke Jakarta buat acara reuni, dan siang tadi harus menyetir mobilnya kembali ke Malang tanpa istirahat. Secara hati-hati, Vanko berusaha melepaskan siger di kepala Becca dan membuka sanggulnya agar gadis itu lebih nyaman saat tidur. Tapi ternyata, hal itu malah membuat Becca terbangun. "Eung... Kita udah sampai?" tanyanya sambil berusaha melihat ke sekeliling. Dalam kondisi setengah mengantuk, Becca berusaha duduk dan dia menutup mulutnya ketika menguap. Matanya mengerjap berulang kali, ini memang sudah tidak di mobil lagi. "Gue belum punya rumah, jadi lo bisa tinggal di apartemen sama gue buat sementara." suara bariton Vanko kembali membuat gadis itu terfokus pada lelaki tampan di depannya. Becca mengangguk lebih dari tiga kali. Baginya, ini sudah lebih dari cukup. Becca bahkan tidak mengira kalau Vanko masih mau baik padanya. "Thanks ya, lo udah mau bantuin gue." katanya tulus dari hati. "Enggak usah bilang makasih, gue ngelakuin ini juga bukan buat lo doang kok. Gue juga enggak mau kalau sampai lo nikah sama cowok lain." tanpa basa-basi, Vanko mengatakan isi hatinya yang sebenarnya dia rasakan sekarang. "Gue malah yang harusnya makasih sama lo. Thanks udah kabur dari acara itu dan ngehubungin gue buat minta tolong. Meski tindakan lo bisa bikin Mama lo murka dan bikin nama keluarga lo jadi jelek. Tapi gue jamin, kalau lo enggak akan salah atas pilihan lo ini." Bagi Vanko, rasanya lega karena dia bisa mengungkapkan tanpa takut atau ragu. Tangan kekar Vanko yang tadi menggendong Becca dari basement sampai kamar itu mengulur, membelai pipi Becca yang masih tebal oleh make-up. "Gue yakin, kalau pilihan gue enggak pernah salah. Termasuk hari ini." angguk Becca. Kedua sudut bibir Vanko terangkat membentuk sebuah senyuman. Rasa rindunya pada Becca yang tertahan akhirnya terpecahkan. Walaupun selama ini Vanko terbilang sangat sering tersenyum, tapi sebenarnya itu hanyalah topeng agar orang-orang tidak tahu apa yang dia rasakan sebenarnya. Berbeda dengan senyuman barusan, sungguh sebuah senyuman kebahagiaan. "Gue ambilin baju gue dulu ya, lo harus ganti. Besok baru gue beliin baju baru buat lo." Vanko berdiri dan mendekati lemarinya, dia mengambil kaos serta celananya yang sekiranya bisa dipakai Becca. Sebuah handuk juga diberikan Vanko pada gadis itu. "Enggak usah mandi, ini udah hampir jam satu malam." katanya seraya memberi kaos, celana dan handuk pada Becca. "Tolong bantuin buka sanggulan dulu." pinta Becca seraya membalikkan badan agar Vanko bisa membantunya. Lagi dan lagi, senyuman bahagia menghiasi wajah Vanko. Dengan senang hati dia akan membantu Becca. Momen yang tidak pernah terbayangkan oleh Vanko. Membuka sanggulan perempuan yang mengenakan kebaya pernikahan tapi bukan di malam pertamanya dan bukan istrinya. "Aw... Sakit, pelan-pelan narik jepitnya." Perasaan senang dalam diri Vanko bertambah berkali-kali lipat mendengar Becca protes padanya. Dia hanya mengiyakan dan semakin hati-hati mencabut jepit-jepit berwarna pink seperti rambut Becca. "Bener-bener ya, nyari perhatian banget, rambut pakai diwarnain pink segala." ganti Vanko sekarang yang mengomentari rambut keriting Becca. "Ish... Biarin aja sih, enggak usah protes." Acara membuka sanggul selesai. Vanko tertawa melihat Becca mirip seperti orang gila. Rambutnya acak-acakan dan kaku karena efek hairspray. Tapi apa peduli Becca, gadis itu langsung ke kamar mandi dan dia berniat mandi walau Vanko melarangnya. Selama Becca di dalam kamar mandi, lelaki itu melamun sampai beberapa mejir lalu Vanko menggunakan waktu lainnya untuk berganti pakaian dan lanjut memasukkan nasi instan ke microwave. Tidak ada bahan makanan di dalam lemari pendinginnya dan hanya nasi sama mie instan yang bisa mereka konsumsi. Lima menit berlalu, nasi instannya sudah matang dan siap dimakan. Vanko membawa dua mangkuk nasi dan satu gelas s**u putih juga dua gelas air putih. Saat sampai di kamar, ternyata Becca sudah selesai mandi dan sedang menatap tubuhnya dari pantulan cermin. "Bec, di apartemen gue enggak ada apa-apa. Cuma ada makanan instan, dan ini gue panasin nasi buat lo. Gue juga bikinin susu." Becca menoleh, dia melihat Vanko sedang memindahkan semua yang dia bawa di nampan ke atas karpet kamar. Dia tersenyum dan langsung duduk di karpet itu. Begitu pula dengan Vanko. "Makasih ya." ujarnya lalu mengambil satu mangkuk dan membukanya. "Udah gue bilang, enggak usah ngomong makasih." Kata-kata Vanko tak digubris oleh Becca. Gadis itu sekarang lebih memilih meniup makanannya. Dia juga merasa lapar, karena selama perjalanan tadi dia tidak mau diajak berhenti. "Apartemen ini cuma ada satu kamar. Lo bisa tidur di kamar, nanti biar gue tidur di sofa aja." "Kita tidur bareng aja di kamar." "Uhuk... Uhuk..." Vanko tersedak makannya mendengar perkataan Becca. Kedua mata Vanko menatap Becca, seakan-akan tak percaya kalau yang ada di depannya itu adalah gadisnya. Setahu Vanko, Becca bukan tipe perempuan agresif seperti sekarang ini. Apa mungkin efek terlalu lama di luar negeri jadi Becca sedikit lebih agresif. "Lo habis nyetir jauh dan lama, gue enggak mungkin tega ngebiarin lo tidur di sofa. Gue juga yakin, lo juga enggak akan ngapa-ngapain gue." sambungnya saat mengerti akan arti tatapan Vanko.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN