Setelah seharian berkutat melayani pasien, akhirnya arloji menunjukkan angka 6.45 pm. Itu artinya shift Dokter Adam sudah selesai.
“Kei!” panggil pria jangkung itu. Panggilan itu membuat Keisya yang baru saja melabuhkan pantatnya dan beristirahat di nurse station segera berpaling.
Sambil melambaikan tangannya, “Hati-hati di jalan!” seru Keisya melihat Adam yang sudah siap-siap mau pulang sambil menenteng tas kerjanya.
“Duluan, ya!” imbuh Adam lagi. Kemudian ia menapak pergi meninggalkan Keisya dan beberapa teman medis yang lain.
“Ciee … ‘duluan, ya’, Dok! Siapa sih, yang berinisiatif duluan?” goda Suster Susan dengan rasa keingintahuannya yang begitu mendarah daging, sambil meniru ucapan Dokter Adam barusan.
“Berinisiatif apa, Sus? Inikan normal.” sanggah Keisya yang tidak mengerti dengan tatapan nakal Suster Susan.
“Halah … ngeles! Noh, prince charming Prime Health Institute, kok, bisa semesra itu sama Dokter Keisya. Apa kalian saling kenal sebelumnya?” Kali ini Lily, sang kepala perawat yang angkat bicara.
Ditatap oleh kelima perawat di depannya dengan intens, membuat Keisya merasa tegang, seolah sedang diinterogasi.
“Apa Dokter Adam tidak mesra, ya, sama yang lain? Sama kalian, maksudku,” ralat Keisya dengan tatapan awas.
“Tidak! Sehingga kami mengira jika Dokter Adam itu adalah gay!” jawab Susan dan Lily serempak.
“Hush! Kalian itu suuzan mulu, ya, tidak mungkinlah, Dokter Adam gay!” telak Keisya menyentil jidatnya Susan. Gemas sekali dengan cara otaknya berpikir.
“Makanya … cerita, dong! Bagaimana Dokter Adam bisa semesra itu sama Dokter Kei?” bujuk Susan lagi.
Buset! Tidak mungkin kan, aku bilang kalau aku pernah bertemu Dokter Adam saat aku mau bunuh diri! Bukankah bakalan ribet urusannya dan pertanyaan mereka juga bertambah banyak. Keisya bergelut dengan batinnya sendiri.
“Dok! Hei, melamun lagi,” seru Suster Susan. Ia melambaikan tangan di depan wajah Keisya.
“Enggak, kok! Aku sama Dokter Adam itu kenal setelah aku diterima bekerja di sini,” kelit Keisya sambil gelagapan.
“Beneran ….”
“Astaga … beneran,” jawab Keisya lagi sungguh-sungguh.
“Kalau begitu, fix Dokter Adam yang jatuh cinta sama Dokter Keisya!” seru Lily antusias.
Uhuk! Uhuk!
Keisya tersedak salivanya sendiri. “Hey, kalian jangan berasumsi, semuanya tidak seperti yang kalian bayangkan!” sanggah keisya cepat. Ia tidak mau terjadi kesalahpahaman yang akan membuat dirinya sungkan saat bertemu Dokter Adam nantinya.
‘Dokter Adam itu terlalu sempurna, aku tidak mau berharap banyak. Dimas yang wajahnya pas-pasan dengan modal jabatan manajer HRD saja menolak aku. Apalagi Dokter Adam yang seorang profesor rumah sakit, mimpi kali kalau Dokter Adam jatuh cinta sama aku.’ Lagi dan lagi, Keisya bermonolog sendiri. Ia menyangkal segala asumsi nakal para suster itu.
“Tapi kan, Dok ….”
Namun, suara ambulans membuat kalimat Lily hanya dibiarkan menggantung di udara. Semua tenaga medis bergegas untuk menyambut pasien dan meninggalkan pembicaraan yang tidak penting.
"Dokter! Kami membawa seorang wanita hamil muda yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengeluh nyeri pada bagian perut dan punggung serta mengalami sedikit pendarahan. Tidak ada luka terbuka yang terlihat, tetapi kami khawatir adanya cedera internal akibat benturan," lapor petugas medis yang bertugas pada Keisya.
"Dorong masuk dan pindahkan pasien ke brankar tiga, zona merah!" titah Keisya penuh wibawa.
"Baik, Dok!"
“Segera siapkan monitor jantung dan oksigen. Kita butuh pemantauan ketat. Cepat! Bacakan tanda vitalnya sekarang juga,” perintah keisya. Ia terlihat fokus dan serius menangani pasien.
“Monitor sudah siap, Dok!”
“Detak jantung 130 bpm, tekanan darah 90/60, pernapasan 24 kali per menit, dan suhu tubuh 37,8 derajat celcius. Aktivitas janin menurun, detak jantung janin hanya 110bpm.”
“Segera hubungi spesialis kandungan! Beri tahu mereka bahwa kita memiliki wanita hamil dalam kondisi darurat di sini. Persiapkan juga untuk transfusi jika diperlukan!” perintah Keisya pada salah seorang dokter magang sambil memasang monitor di ujung jari pasien dengan cekatan.
“Siap, Dok!”
“Sus, ayo, kita harus stabilkan kondisi pasien sebelum spesialis obgyn sampai,” titah Keisya lagi pada kepala perawat IGD, Suster Lily.
Di bawah pimpinan dan arahan dari Keisya, semua dokter dan perawat bergerak cepat dan bekerja sama secara intensif untuk memastikan pasien ibu hamil yang mereka tangani sekarang ini agar bisa diselamatkan.
Sementara Keisya dan lainnya sibuk berkutat menyelamatkan pasien, Dokter Adam pula baru tiba di sebuah lobi hotel, di mana pesta ulang tahun perusahaan papanya sedang digelar. Tampak tamu sudah pada datang.
“Adam!”
Adam menoleh pada sumber suara dan melihat sang Papa sedang melambai padanya. Pria tampan itu mengangguk pelan dan langsung saja berjalan mendapatkan kedua orang tuanya.
Namun, saat Adam sudah gabung bersama sang Papa, ada beberapa wajah yang tidak asing baginya juga sedang menatap dengan ekspresi kaget.
“Jadi, ini putra Anda yang jarang sekali terekspos publik, Tuan Zain?” tanya seorang pria paruh baya menatap kagum pada Adam.
“Hahaha, iya! Benar sekali. Kenalkan, ini putraku, Dokter Adam Castello, salah seorang tenaga medis Premium Health Institute.” Zain memperkenalkan putranya dengan bangga.
“Hello, Tuan!”
“Kenalkan, nama Om, Herman Mangkualam, kau pasti pernah mendengar nama artis Elya yang sekarang ini sedang naik daun, itu adalah putrinya Om,” bicara Herman dengan panjang lebar. Ia mencoba memancing Adam agar berkenan mengenal sosok putrinya.
“Maaf, Om, saya cuma mengenal skalpel dan stetoskop. Tidak punya waktu untuk mengikuti dunia entertainment,” jawab Adam membuat Herman menelan kasar ludahnya sendiri. Sementara Maria harus menahan senyum melihat wajah Herman dan Gendis yang berubah masam setelah mendengar jawaban dari putranya.
“Pa, apakah mereka juga tamu Papa?” tanya Adam sambil menunjukkan keberadaan Dimas dan kedua orang tuanya.
“Oh! Itu, Pak Donny Sadewa datang bersama istrinya, Marissa. Pak Donny itu menjabat sebagai manajer logistik dan suplai dalam perusahaan kita,” jawab Zain, “di sampingnya itu adalah putra mereka, calon menantu Pak Herman, benar kan?” tanya Zain sambil menatap tepat manik kembar Herman Mangkualam.
“I .. iya! Benar, namanya Dimas Sadewa. Merangkap manajer sumber daya manusia dalam perusahaan saya.”
Oh, jadi pria b******k yang membuat Keisya hampir bunuh diri itu karyawan tuan Herman, monolog Adam dalam diam.
“Emm …, Jeng Maria, apakah putra Anda masih belum punya calon?” tanya Gendis yang berusaha mencairkan situasi yang terasa canggung tiba-tiba.
“Oh, itu? Tanyakan saja sama orangnya, Jeng,” jawab Maria, mamanya Adam dengan cepat.
“Elya punya kakak dan pekan depan baru akan kembali dari abroad. Namanya Salsa, juga seorang dokter dan ….”
Namun, belum sempat Gendis menuntaskan bicaranya, terdengar satu suara menginterupsi, membuat semua mata tertuju pada suara itu.
“Bukannya kamu dokter di rumah sakit tempat putri saya dirawat? Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Marissa dengan tatapan dan nada sombong.
“Mama!” seru Donny yang berusaha menghentikan istrinya, “cukup!”
“Mama ilfil sekali melihat orang miskin yang tidak sadar diri, sebelas dua belas dengan Keisya Lestari yang juga tidak sadar diri. Sudah sepantasnya kalian menjadi rekan kerja. Semoga kalian berjodoh!” pungkas Marissa yang marah-marah tidak jelas dan tanpa alasan pada Adam.
“Amin, semoga doa Anda diangkat ke langit, Nyonya,” jawab Adam dengan nada santai. Ia menyilangkan kedua tangan di bawah dadanya, menatap Marissa dengan ekspresi sulit ditebak.
“Dasar!”
“Marissa! Itu adalah Tuan Muda Adam Castello, putranya tuan Zain Castello! Pewaris tunggal perusahaan ….”
“Stop!” Kali ini Adam yang memotong kalimat Donny, “Saya hanya karyawan Prime Health Institute. Seorang tenaga medis yang bekerja untuk menyelamatkan pasiennya,” serobot Adam dengan cepat.
Sementara Marissa, wanita paruh baya itu menelan kasar ludahnya sendiri, melirik pada wajah suaminya yang sudah tertekuk sempurna.