First Day

1136 Kata
Tiga bulan kemudian. Di hadapan sebuah gedung steril yang berwarna putih, berdiri seorang gadis yang memandang sambil berdecak kagum pada pemandangan indah di depannya. “Aku tidak menyangka, saat aku sudah pasrah dan lelah untuk interview di semua rumah sakit, akhirnya aku diterima di sini, Prime Health Institute,” gumam Keisya dengan senyum mengambang di kedua sudut bibirnya. Setelah putus tunang dari Dimas, penampilan Keisya berubah 180 derajat. Dulunya, gadis itu lebih memilih rambut panjang karena Dimas sangat suka dengan rambut panjangnya. Namun, kini Keisya sudah memotong rambutnya hingga separas bahu dengan curtain bang, membuat wajah cantik dan putih bersih itu tidak ubah seperti gadis korea yang sering tampil dalam serial drama. Keisya melangkah dengan tenang masuk ke dalam lobi dan bertanya pada Mbak Penyambut Tamu, “Permisi, ruang kepala divisi trauma di lantai berapa, ya?” “Emmm ..., Mbak mau tes atau ....” “Bukan, kok, saya mau lapor diri dan bertemu dengan dokter kepala untuk jadwal tugas,” jawab Keisya dengan senyum ramah. “Ooo ..., Dokter Keisya, ya?” tanya mbak penyambut tamu itu. “Iya, benar-benar! Keisya Lestari,” jawab Keisya dengan menyebut nama panjangnya. “Maaf, Dok! Oh, iya, Dokter jalan aja, terus naik eskalator ke lantai tiga, terus belok kiri, kemudian jalan saja terus lagi. Nah, ketemu dengan sebuah jembatan layang menuju gedung di sampingnya. Itu adalah gedung khusus untuk divisi trauma. Silakan bertanya di sana, ya.... Nanti ada penyambut tamu yang akan memandu Dokter Keisya bertemu dengan Prof. Castello,” ujar mbak penyambut tamu itu panjang lebar dan ramah. “Oke..., makasih, ya, Mbak!” ujar Keisya, kemudian mengikuti arahan mbak itu tadi menuju eskalator. ‘Sumpah, rumah sakit ini keren sekali,’ batin Keisya dalam diam sambil matanya menyapu sekeliling ruangan yang terasa begitu kalem dan VIP sekali. Timbul rasa bangga dalam dirinya karena telah berhasil menjadi salah seorang tenaga medis PHI. Setelah tiba di lantai tiga, Keisya berbelok ke kiri lewat jembatan layang menuju gedung kaca di sampingnya. Setelah sekian menit, akhirnya gadis itu tiba juga di bagian penyambut tamu. “Permisi, Mbak! Saya mau ke ruangan dokter kepala,” ucap Keisya ramah. Tidak lupa ia menyunggingkan senyum. “Dokter Keisya Lestari, ya?” tanya salah seorang dari mbak penyambut tamu itu dengan hormat. “Iya, benar, Mbak!” balas Keisya. “Ayo, ikuti saya, Dok!” Mbak penyambut tamu itu menuntun Keisya masuk ke dalam sebuah ruangan yang lumayan luas dengan tatanan yang cukup rapi sekali. “Silakan, Dok! Ini Dokter Bara merangkap asisten Prof Castello,” tutur mbak itu, kemudian meninggalkan Keisya di dalam ruangan itu bersama seorang dokter pria paruh baya. “Selamat datang, Dokter Keisya! Kenalkan, aku first assistant physician Salim Bara yang sebentar lagi akan menjadi mantan FAP,” ucap pria paruh baya itu sambil terkekeh dengan leluconnya sendiri. “Namaku Keisya Lestari,” jawab Keisya yang merasa sedikit canggung dengan situasi sekarang. Dokter Bara mengangguk pelan “Maaf, Prof Castello hari ini tidak bisa menyambut kedatanganmu karena beliau ada rapat di Singapura. Oke..., let's talk about work! Dokter Keisya akan menggantikan posisi saya sebagai first assistant-nya Prof Castello. Sampai sini, apakah Dokter paham?” “Iya, paham, terus Dokter Bara sendiri?” tanya Keisya penasaran. “Aku akan naik jabatan dan ditransfer ke rumah sakit cabang, hari ini adalah hari terakhir ku dan....” Dokter paruh baya itu menyerahkan sebuah pendrive pada Keisya. “Ambil ini dan pelajari materinya. Satu yang harus aku ingatkan padamu, Dokter Keisya! Harus mandiri dan di rumah sakit ini tidak seperti rumah sakit yang ada di dalam drama korea. Semuanya kamu harus cari tau sendiri. Kamu juga harus teriak untuk memberikan perintah pada asisten dan perawat karena situasi yang terlalu sibuk.” “Apakah divisi trauma di PHI sesibuk itu?” tanya Keisya dengan jantungnya yang mulai memompa laju. Bukan karena takut, tetapi lebih pada antusias dan ingin mengetahui lebih lanjut. Dokter Bara mengangguk cepat, “Karena rumah sakit ini letaknya di jantung kota dan lokasinya cukup strategis. Jadi, antara semua rumah sakit yang ada di sini, PHI adalah tersibuk setiap harinya,” jelas Dokter Bara lagi. “Artinya, aku harus mengenakan sepatu kets kalau begitu,” bicara Keisya dan mendapat sambutan tawa dari Dokter Bara. “Yeah..., begitulah. Semoga betah, Anak Muda!” timpal Dokter Bara. “Justru aku tambah semangat!” ujar Keisya dengan nada antusias. “Baiklah, jika begitu, Dokter Keisya bisa tour dulu gedung ini, mulai kerjanya besok, kan?” tanya Dokter Bara lagi pada gadis itu. Keisya menggeleng, “Hari ini aku mulai kerja, Dok!” “Oh, really? Jika begitu, untuk hari ini, Dokter Keisya bisa....” “Gak papa, Dok, nanti aku cari kerja sendiri saja. Santai. Sambil-sambil aku kenalan sama yang lainnya,” ujar Keisya, “kalau begitu, permisi,” pamit Keisya. Namun, sebelum menutup rapat pintu ruangan, Keisya kembali menatap pada Dokter Bara, “Dok, apa aku boleh bertanya tentang sesuatu?” “Iya, silakan saja.” “Prof Castello, apakah dia pria tua? Atau apakah orangnya galak?” tanya Keisya sambil nyengir. Menyadari jika pertanyaannya itu barusan terkesan kurang ajar sekali. Dengan senyum misterius, “Rahasia, nanti juga dokter Keisya bisa melihat dan bertemu sendiri dengan Profesor Adam Castello,” jawab Dokter Bara dengan senyum tipis. Bikin penasaran aja, batin Keisya. Kemudian, ia menutup rapat daun pintu setelah mengucapkan terima kasih pada Dokter Bara. Dokter cantik itu kemudian menapak menuju eskalator dan turun ke lantai satu, di mana teman medisnya yang lain sedang sibuk menangani pasien. “Dokter! Tolong anak saya, Dok! Anak saya kenapa?” ucap satu suara, membuat Keisya urung masuk ke ruangan IGD. Sepertinya ia sangat mengenal suara itu. Lanjut menapak ke ruangan USG yang hanya berada di samping. “Sus, ada apa ini?” tanya Keisya pada suster yang sedang menangani pasien. “Ada pasien kecelakaan mobil, Dok!” jawab suster itu cepat. Para suster dan dokter yang ada sudah turut mengenal Keisya karena sebelum Keisya masuk kerja, foto dan namanya sudah terpampang di tata kelola organisasi medis bagian trauma beserta tanggung jawab yang sudah diatur untuknya. “Permisi!” Keisya izin untuk andil dalam pemeriksaan pasien tersebut. “Kamu!? Mau ngapain kamu di sini, hah! Apa kamu mau menertawakan putri saya? Kamu mau balas dendam, iya?” pekik wanita paruh baya itu menarik Keisya keluar dari ruangan USG dengan kasar. Matanya menatap dengan tajam. Rahangnya mengeras sempurna. “Dari mana kamu tahu kalau putri saya kecelakaan? Atau mungkin kamu yang sudah merencanakan ini semua?” tanya Marissa lagi, memberondong Keisya dengan rentetan pertanyaan. Tuduhan yang dilemparkannya sukses membuat Keisya memutar malas kedua bola matanya. Pilih abai dengan amukan dan tuduhan dari Marissa padanya, Keisya melepas paksa cekalan Marissa pada pergelangan tangannya, lalu melipir masuk ke dalam ruangan USG. “Hey! Perempuan Gila!” teriakan wanita paruh baya itu melengking memenuhi ruangan. “Ada apa ini?” tanya satu suara bariton.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN