Patner Kerja Idaman

1566 Kata
“Aku tidak punya kebiasaan mempermainkan wanita, Ayah,” sahut Dieter dengan pelan. Gustav sebagai ayahnya hanya menghela napas panjang. “Ya, memang tidak. Hanya saja selama ini kamu tidak pernah serius soal perempuan,” ujar pria itu dengan nada datar. “Jika kamu ingin menjadikan Thea sebagai incaranmu yang kesekian maka aku minta jangan lakukan. Dia berbeda. Dia kemari untuk kehidupan yang lebih tenang, dan sesuai dengan keinginannya itu maka aku menjamin dia akan mendapatkannya. Biarkan dia sendiri.” “Aku bisa menduga bahwa sikapnya yang setertutup itu menerima orang baru adalah gara-gara seorang pria,” timpal Dieter kemudian. Wajahnya tampak jadi jauh lebih suram tatkala dia memikirkan kemungkinan yang dia ciptakan beberapa saat yang lalu. “Apakah orang itu melakukan kekerasan kepadanya? Memukulnya? Menyakitinya dengan cara verbal atau apa saja yang bisa dia lakukan? Aku bisa menemukan orang itu dan—” “Singkirkan amarahmu, jangan kamu gunakan tinjumu, Dieter. Ini bukan ranah dan urusanmu untuk ikut di dalamnya.” Gustav memotong cepat ucapan putranya dengan sikap yang tidak sabar sembari menjatuhkan tubuhnya kembali pada kursi. “Kami semua disini peduli padanya, bahkan sejak aku menerima dia sebagai perawatku di rumah sakit ini. Aku selalu menawarkan bantuan padanya, tapi dia selalu bersikeras menolak apapun dariku. Tidak hanya padaku tapi pada semua orang disini yang berniat baik untuknya. Aku rasa yang dia butuhkan hanyalah sekadar persahabatan dan hubungan antar rekan kerja yang solid. Selebihnya dia kesepian, aku terus berusaha mengundangnya kerumah kita tapi dia selalu berlasan dan selalu menolaknya dengan halus.” “Kalau begitu aku akan menjadi teman yang baik untuk dia,” ujar Dieter lagi dengan keras kepala yang mengakibatkan dahi ayahnya mengerut. “Tidak, Dieter! Bukan disitu letak permasalahnya. Aku tidak mau—” “Tenanglah dulu Ayah!” Dieter menumpangkan sebelah lengannya dibahu sang ayah, sementara senyum penuh percaya diri sedikit demi sedikit tercipta di wajah tampan si dokter muda. “Kamu harus belajar bersikap santai. Kamu sudah terlalu tua untuk bicara dengan nada tinggi seperti itu, dan barangkali kamu mungkin perlu beristirahat lebih banyak supaya tidak mudah lelah dan stress.” “Terlalu tua?” Gustav tersedak mendengar penuturan putra sulungnya, sementara Dieter hanya menyeringai puas. “Percayalah saja padaku Ayah. Aku tidak akan pernah menyakiti Thea. Aku janji.” Tapi aku tidak janji soal menyakiti orang yang membuat Thea seperti itu. Dengan benak yang masih bergulat memikirkan kemungkinan itu, Dieter kemudian berbalik dan berlari keluar dari ruangan sebelum ayahnya sempat berteriak dan memperingatkan dia lagi. Satu hal yang pasti Dieter akan mencari tahu sendiri apa yang melatarbelakangi sikap tertutup Thea terhadap orang baru. Dia pasti akan menemukan penyebab kesedihan wanita itu. *** Itu pemuda kurang ajar yang nyaris menabraknya semalam! Napas Thea seolah terhenti ketika dia mendapati sosok pria jangkung yang kini mengenakan jubah putih khas dokter tatkala menuruni tangga. Pria berambut hitam tersebut rupanya luar biasa tampan. Mengapa tidak terlintas dibenaknya sebelum ini? Apakah karena semalam dia hanya mengenakan jaket kulit biasa sedangkan kini berpakaian sebagai dokter? Entah … Thea tidak mau tahu. Pria itu punya kesamaan yang tidak jauh berbeda dengan Dr. Gustav, selain itu beliau juga pernah bilang bilang soal putra sulungnya yang menimba ilmu di Amerika dan ditempatkan di Instalasi gawat darurat disana. Jadi, seharusnya dia bisa menduga bahwa pria yang diceritakan oleh Dr. Gustav adalah pria bermulut manis yang nyaris menabraknya. Kenapa harus seperti ini alurnya? Dia menyayangi Dr. Gustav, tapi pemuda itu dia … Thea menelan ludah dengan sedikit susah payah tatkala mata mereka berdua beradu pandang. Sudah jelas itu adalah seperti tatapan seorang predator yang hendak memangsa. Mustahil sekali bagi Thea untuk bisa bekerja sama dengan seorang pria yang punya indikasi berbeda dengan para dokter dan perawat pria lainnya di rumah sakit ini. Dia tidak akan betah dan merasa risih bila dipandangi dengan cara seperti itu. “Halo, lagi Thea.” Pemuda itu berhenti tepat di depan mukanya dengan senyuman ramah sehingga sekarang Thea seolah bisa menghilangkan title pemangsa dari diri si pemuda. “Kita belum berkenalan dengan benar kan? namaku Dieter dan kita akan bekerja sama mulai hari ini,” tambahnya lagi sambil mengulurkan tangan. Thea cuma bisa bengong menatapnya. Sama sekali tidak pernah terlintas dibenaknya bahwa dia akan bekerja sama dengan seorang pemuda bau kencur yang menggodanya semalam. Setidaknya tidak hari ini. “Apa ada yang salah? Ada seseorang di kepalamu yang sangat kamu khawatirkan?” pancing Dieter yang membuat Thea langsung mundur dan menaikan tingkat kewaspadaannya semakin tinggi. Memberi jarak yang aman bagi dia dan Dieter untuk bisa berkomunikasi dengan normal. Dia kemudian teringat dengan tugasnya, dan buru-buru kembali fokus pada pekerjaan. “Ya, saya hanya ingin menyampaikan kepada seseorang yang memiliki kompetensi untuk mendiagnosa penyakit pasien. Saya tahu bahwa para dokter sedang sibuk bila hanya untuk mendengar—” “Thea,” sela Dieter dengan lembut, cara dia menyebut namanya sungguh terlalu berbahaya apalagi dengan sorot mata yang menyelidik darinya. “Kamu boleh menyampaikannya kepadaku. Aku juga dokter disini, lihat aku memakai jubah dokter dan kalau kamu merasa ragu kamu bisa bertanya pada ayahku bila kamu tidak percaya aku punya kompetensi untuk mendiagnosa penyakit pasien.” Seperti dia butuh diingatkan saja! Tiap kali Dr. Gustav membicarakan putranya dia bisa menebak bahwa Dieter adalah orang hebat. Menyelesaikan kuliah dan diakui sebagai dokter di Amerika dengan nilai mengesankan juga sudah bukan hal yang bisa dilakukan oleh sembarang orang. Mengingat dia ditempatkan di Instalasi Gawat Darurat, sudah jelas pula bahwa jam terbang dan mentalnya terlatih dengan baik. Bila hanya mendiagnosa penyakit pasien tentu saja itu hal kecil bagi si dokter muda yang kini berdiri dihadapannya. “Apa kita bisa membicarakan di dalam ruangan?” Thea menoleh melewati bahunya menatap ruang periksa, dimana seorang gadis kecil bersama ibunya sedang menunggu. Namun dia perlu bicara dengan Dieter terlebih dahulu sebelum membawa si dokter muda bertemu muka dengan pasien ciliknya. “Kita tidak bisa bicara di lorong seperti ini.” Dieter seketika menunjukan sikap professionalnya. Seluruh pembawaan selengean yang sudah melekat di pemikiran Thea benar-benar hilang tidak berbekas. Berganti dengan figure seorang dokter muda yang serius dengan kinerjanya. Matanya yang semula usil berubah menjadi tajam dan serius, sarat dengan rasa keingintahuan besar. Dia berjalan mendahului Thea, mendorong pintu ruang kerja Dr. Arfan yang kosong lalu menyamping memberi jalan bagi Thea untuk masuk. Setelah menutup pintu ruangan tersebut, Dieter berdiri dengan punggung yang bersandar pada pintu, mengawasi Thea dengan hati-hati agar wanita itu tidak berperasangka buruk kepadanya. “Tolong jelaskan padaku.” “Apa kamu pernah menangani penyakit Pneumonia?” Dieter mengangguk. “Pernah sekali, waktu aku memeriksa pasien anak. Kenapa?” Thea menatapnya dan berkat pembawaan Dieter yang professional kini kewaspadaan Thea kepadanya jadi sedikit lebih menurun. Dia mulai terlihat santai, paling tidak dia tidak menertawakan, atau mencemoohnya karena sekarang dia seperti melangkahi wewenang seorang dokter. “Saya mungkin salah sangka. Tapi saya rasa ada seorang pasien balita yang memiliki gejala seperti itu.” Dieter menarik napas dalam-dalam, dia menatap Thea dalam-dalam. “Tanda atau gejala apa yang terlihat dari anak itu sehingga kamu mengira bahwa itu Pneumonia?” “Dia demam tinggi selama lima hari terakhir, tampak sesak napas, dan ibunya bilang putrinya sering muntah dan diare. Sebelumnya anak itu sempat diperiksa oleh Dr. Danuja. Dr. Danuja sendiri mengatakan bahwa penyakitnya disebabkan oleh bakteri. Tapi sekarang sudah muncul perubahan di warna bibir dan kuku yang membiru,” papar Thea. “Jujur saja, melihat adanya perubahan warna di bibir dan dikukunya, saya berpikir dia barangkali menderita Pneumonia. Salah satu informasi yang kuingat dari buku yang menempel dalam ingatanku.” “Itu sangat berguna,” ujar Dieter pelan seraya membuka pintu ruangan. “Dr. Danuju sedang mengurus pasien darurat, jadi untuk kasus ini aku akan memeriksanya bersamamu.” Thea menganggukan kepala, lalu berjalan mendahului Dieter memasuki ruang periksa. Dia memperkenalkannya Dieter kepada sang ibu dan juga putrinya yang masih balita bahwa Dieter yang akan bertanggung jawab dalam melakukan pemeriksaan kepada putrinya. Kondisi anak itu jelas tidak terlihat baik, tapi dia masih bisa berekspresi dan membelalakan matanya begitu dia melihat Dieter. “Aku melihat Kakak di telepici,” ujar gadis cilik itu dengan suaranya yang lucu dan masih cadel. Dieter hanya tersenyum lalu mulai mendekatinya. “Benarkah?” Gadis cilik itu hanya menganggukan kepala. “Mama bilang kakak tampan cekali lho.” Wanita yang dia sebut mama langsung merona sementara Dieter hanya tertawa mencairkan suasana, tampak tidak terlihat malu sama sekali dengan pernyataan polos anak itu. “Senang rasanya tahu kalau aku dianggap tampan cekali,” sahut Dieter benar-benar penuh percaya diri sambil menirukan gaya bicara si gadis cilik. “Tapi bagaimana menurutmu, cantik? Apa aku ini tampan?” Gadis cilik itu menangguk penuh antusias. “Eung! Kakak tampan cekali~ tapi sayangnya wanita itu tidak cocok untukmu.” “Sayang!” tegur sang mama. “Kenapa Ma? Mama kan juga bilang begitu. Kalau model wanita tidak cocok dengan doktel Dieter.” Dieter melirik kearah sang mama yang hanya bisa menunduk malu, Dieter sama sekali tidak marah dengan spontanitas yang diucapkan oleh si gadis cilik. Malah kini perhatiannya pada gadis itu semakin intens. “Kalau dokter tidak cocok dengan dia terus dokter Dieter cocok dengan siapa?” Gadis cilik itu langsung mengetuk jarinya di dagu, pose berpikir. “Doktel lebih cocok dengan Kakak.” “Kakak?” Kening Dieter berkerut. Si gadis cilik langsung menunjuk spontan kearah Thea sebagai jawaban. Dieter menoleh kearah Thea dan mengedipkan mata padanya dengan kerlingan nakal yang langsung membuat Thea berpaling muka. “Untuk hal ini aku memilih sepakat denganmu, cantik.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN