Thea membasahi bibirnya yang entah mengapa mendadak terasa kering. Berusaha memusatkan pikirannya pada hal yang lebih penting, yakni pekerjaannya. “Jadi, apakah keadaannya tambah parah?”
Dieter menghempaskan tubuhnya pada kursi kosong di hadapannya. “Aku tadi bicara dengan Dr. Danuja yang menangani gadis cilik itu dan hasilnya dia baik-baik saja. Mengingat kondisinya waktu itu, dia beruntung sekali karena bertemu denganmu alih-alih bertemu dengan salah satu dokter.”
“Syukurlah, saya benar-benar khawatir saat dia meminta pulang saat itu,” ungkap Thea dan Dieter menganggukan kepala.
“Pada rapat mendatang, kita harus membahas kasus ini supaya tidak terjadi hal serupa.” Dieter jelas-jelas terlihat cemas dengan kondisi beberapa hari lalu meskipun hal ini berhasil mereka tangani, tapi jika tidak tanggap tentu keberuntungan tidak akan terus berpihak pada mereka. Thea sangat tahu betul soal itu. “Seandainya dia pulang ke rumah saat itu dan tidak bertemu denganmu maka ceritanya akan berbeda. Kita bisa mengetahui kondisinya lebih dini berkatmu.”
“Tidak, aku tidak sepenuhnya berjasa dalam hal ini. Maksud saya adalah semua dokter disini sangat hebat dan handal dalam menangani semua pasien, tidak peduli betapa sibuknya mereka,” jelas Thea pelan. “Ibunya sendiri yang mendesak karena khawatir, jadi saya melihat kondisinya sesuai dengan batas kemampuan saya sebagai perawat. Terlebih Dr. Danuja juga sudah memeriksa kondisi gadis cilik itu beberapa hari sebelumnya.”
Dieter menganggukan kepala. “Dr. Danuja tidak melakukan kesalahan. Wajar tidak terdeteksi karena pada tahap awal penyakit tersebut memang tidak agak sulit dibedakan dengan penyakit menular akibat virus. Menurut catatan, Dr. Danuja memang menyuruh kembali jika demamnya tidak kunjung menurun atau bila ibunya merasa khawatir.”
“Tetapi ini hal yang bisa terjadi bukan?”
Dieter mengangguk. “Aku sudah memberitahu kepada Dr. Danuja semuanya karena secara teknis gadis cilik kemarin adalah pasiennya. Dia mungkin akan diopname di rumah sakit untuk sementara waktu.”
Thea mengangguk pula. “Semoga dia baik-baik saja dan lekas sembuh.”
“Aku harap juga begitu. Tapi yang pasti kau sudah melakukan segalanya dengan benar. Terima kasih ya.”
Thea menunggu Dieter mengatakan sesuatu yang lain, tapi pria itu tidak melakukannya. Alih-alih pria itu malah memandanginya dengan mata hitam kelamnya, dan jantung Thea mendadak berpacu.
Ada apa sih dengannya setiap kali pria itu berada di dekatnya begini?
Thea tidak mengerti, dan tidak mau memahami. Meski begitu yang pasti dia tahu bahwa ini bukanlah sesuatu yang dia inginkan.
Thea merasa Dieter ingin mengatakan sesuatu ketika suara langkah sepatu mendekat, dan Ranti berdiri di hadapan Thea.
“Apa kamu punya waktu untuk memeriksa tiga pasien lagi, Thea? Oh, maaf Di … Maksudku dokter Dieter ….” Ranti terdiam di sana untuk beberapa saat dengan sorot mata yang penuh sesal. “Aku tidak mengira kau juga akan berada disini.”
“Aku baru mau pergi kok,” sahut Dieter pelan sementara tatapannya tertuju kepada Thea untuk waktu yang lama sebelum akhirnya mengangkat bokongnya dari kursi kafetaria.
Thea yakin bahwa Ranti sudah memergoki wajahnya yang berubah warna sekarang, karena itulah wanita yang kebetulan seusia dengannya itu memperingatinya untuk berhati-hati kepada Dieter.
Kurang lebih Thea memang tahu sedikit soal si dokter muda darinya, karena Ranti memang lebih mengenal pemuda itu sebelum dia pergi kuliah ke Amerika.
“Aku tahu, aku tidak akan tergoda,” jawab Thea sebagai final dari seluruh nasehat panjang lebar yang wanita itu perdengarkan untuknya. Tanpa kehadiran Dieter di dekatnya, Thea merasa bahwa dirinya sudah mampu menguasai keadaan lagi.
Tapi untuk sesaat dia sedikit penasaran dengan apa yang hendak Dieter katakan kepadanya. Apa yang sebenarnya ingin pemuda itu utarakan?
Dan mengapa pula saat Thea sama sekali tidak ingin menjalin hubungan terlalu dekat dengan seseorang, dia malah bereaksi kuat terhadap kehadiran Dieter?
Mungkin karena Dieter adalah pria tampan yang ramah kepadanya, batin wanita itu berdalih. Ya, tidak bisa dipungkiri memang bahwa Dieter memang luar biasa menawan. Wanita mana pun akan memandang dua kali ke arahnya. Bahkan wanita sepertinya yang hidupnya tidak jelas dan sudah carut marut tidak beraturan.
Terhibur dengan pemikiran bahwa yang dia rasakan hanyalah sebuah perasaan yang normal. Thea lebih memilih memusatkan perhatiannya kepada makan siangnya yang tersisa. Menyelesaikannya segera dan mulai beranjak menuju ke pasien yang tadi sempat di tunjuk oleh Ranti kepadanya.
Sisa hari itu berjalan dengan sangat cepat.
Terakhir dia menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit sebelum shiftnya berakhir dengan mengurus seorang pasien dan membalut luka akibat tersandung di trotoar. Dan karena yang dia tangani adalah seorang wanita lansia, dia menghabiskan waktu lima belas menit lebih hanya untuk membujuknya mengenakan perban.
Untungnya segalanya berjalan baik dan kini Thea sudah merapikan perban dan kotak obatnya dengan cepat dan segera bersiap untuk pulang. Thea baru mau meraih kenop pintu ruangannya sebelum dia menemukan sosok Dieter yang berdiri menjulang tegap di depannya.
“Dokter Dieter?!” Thea mengambil beberapa langkah mundur sebisa mungkin dalam situasi spontan tersebut. Membuat dirinya kini berjarak lumayan jauh dari si pria. Thea memang sangat membutuhkan jarak seperti ini bila berhadapan dengan dokter Dieter, karena bila sedikit lebih dekat saja Thea merasa bahwa dia tidak bisa mengendalikan dirinya dengan benar. Sebab dekat dengan Dieter membuat dirinya gelisah.
“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu,” ujar Dieter langsung.
“Maaf, dokter. Tapi jam kerja saya sudah habis sekarang.”
Dieter memandang Thea dengan penuh tanda tanya. Dia belum pernah ditolak secepat ini oleh perempuan. Apalagi Thea bahkan tidak perlu berpikir untuk melakukannya. Dia bisa mengatakan hal itu bahkan tanpa perlu berkedip. Itu sedikit mengecewakan bagi si pria yang terkenal sebagai seorang playboy kelas kakap.
“Kenapa buru-buru? Aku hanya ingin menanyakan beberapa pertanyaan terkait dengan program imunisasi. Kata Ranti, kamu yang kebetulan menangani masalah itu.”
“Itu benar, tapi tolong maafkan saya. Sekarang sudah jam empat lebih.” Thea meraih kenop pintu dan menariknya, sehingga ada celah baginya untuk dapat menyelinap keluar. Dia harus segera pergi, jika tidak dia akan ketinggalan bus dan harus menunggu setengah jam lagi untuk bus berikutnya. Kalau sampai hal itu terjadi, dia akan berada dalam masalah besar. Apalagi dia sudah bersumpah untuk tidak datang terlambat. “Terkait hal ini tolong ditunda, kita bisa bicarakan besok.”
Dieter menutup celah bagi Thea, membuat wanita itu kini tidak bisa keluar dan menghambatnya. “Jangan menghindariku seperti ini, Thea.” Nada lembut pria itu dengan cepat langsung memporakporandakan simpul-simpul pertahanan yang telah dia latih sedemikian rupa sejak lama. “Aku tidak akan menyakitimu. Kamu bisa percaya padaku.”
Percaya padanya?
Bisa dibilang Thea tidak pernah bisa mempercayai siapa pun lagi selain dirinya sendiri.
“Ini sudah lebih sepuluh menit,” keluh Thea dengan nada parau, melengos dan tak mau peduli apalagi dengan perkataan yang menurutnya sudah basi. “Tolong jangan halangi jalan. Saya harus segera pergi.”
Thea tahu bahwa ini sedikit kasar, tapi dia tidak mau peduli. Dia sudah benar-benar berada di ambang panik dan sedang terburu-buru dan Thea yakin bahwa Dieter melihat ekspresi itu di matanya karena begitu dia berkata demikian, lelaki itu langsung menyingkirkan tangannya yang menghalangi dan menyingkir dari sana.
Berpikir bahwa dirinya bisa lolos nyatanya Thea tidak bisa semudah itu pergi dari Dieter. Pria itu kali ini menahannya dengan menggenggam tangannya. “Apa sih yang begitu penting sampai kamu harus pulang tepat di jam empat? Apa ada yang salah? Apa ada yang perlu aku bantu?” Pertanyaan itu Dieter utarakan dengan nada yang begitu lembut.
Kecemasan dari nada bicara Dieter rupanya cukup untuk mempengaruhi Thea lebih dari yang dia sangka. “Tidak ada.”
Sama sekali tidak ada, Dieter tidak ada hubungannya dan tidak ada yang bisa pria itu lakukan untuk membantunya. Thea sudah terbiasa mengurus hidupnya sendiri. Di titik ini dia hanya perlu melakukannya sekali lagi.
“Thea …”
Thea sama sekali tidak boleh terlambat.
Jadi dia melepaskan tangannya yang digenggam oleh Dieter secara paksa, dan mulai berlari tanpa peduli terhadap sekelilingnya. Dia benar-benar berlari sprint hingga ke halte bus yang berada di sebrang rumah sakit. Napasnya mulai tersendat dan rasa panik mulai menyelimuti dirinya.
Ya Tuhan, dia pasti terlambat. Dia seharusnya tidak banyak bicara dengan Dieter tadi. Tetapi meski saat itu diulang, dia tetap akan tetap terjebak dengan si dokter muda.
Saat Thea nyaris mencampai halte bus dan berhasil menyebrang. Bus yang seharusnya dia tumpangi malah meninggalkan halte. Dia berteriak dan meminta sopir bus berhenti, tapi suaranya kalah dengan deru mesin bus, dan bus malah kian menjauh.
“Tidak!” Thea terduduk di trotoar. Tersedu akibat di landa frustasi dan juga panik. “Tidak, jangan begini! Jangan lakukan ini padaku! jangan sekarang!”
Mendadak lengannya ditarik memaksa Thea untuk memutar tubuh. “Thea, kenapa kau berlari-lari seperti itu?”
Thea mendorong Dieter agar melepaskan lengannya tapi pria itu kini berlagak seperti dinding batu yang tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya. “Ini semua gara-gara kau! Aku sudah berusaha keras untuk tidak membiarkan hal ini terjadi, tapi kau menghalangiku dan membuatku terlambat! Kau benar-benar keterlaluan!”
Dieter menangkap bahu Thea yang berusaha berontak darinya, dan berkat kedua tangannya yang kokoh dia berhasil memaksa wanita itu menatap matanya. “Terlambat kemana? Thea, katakan apa yang terjadi dan aku akan membantumu.”
Apakah tidak ada orang yang memberitahu Dieter soal ini?
Persetan! Thea tidak punya waktu lagi.
“Kalau kau benar-benar ingin membantuku, lepaskan aku dan biarkan aku pergi. Aku harus ke sekolah untuk menjemput anakku!”