Lontong sayur.

1817 Kata
Aku mengerjakan mata menyadari sudah ada cahaya yang menerobos lewat jendela yang berada di belakang sofa tempatku berbaring, rupanya hari sudah siang. Merasakan sebuah kain lembut menutupi tubuh, membuatku berpikir apakah mimpi semalam nyata? Semalam, seperti biasanya Laura hadir menyelimuti tubuhku yang menggigil. Tidur di ruang tamu nyatanya tidak senyaman berada di kamarku yang hangat, badan terasa remuk, pegal terasa di beberapa bagian tubuhku. Aku bangun dan merentangkan kedua tangan berharap peregangan yang kulakukan akan bisa membuat otot yang kaku melemas menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri, tetapi saat kugerakkan kepala menghadap dapur kulihat seorang wanita cantik menatapku sambil berkacak pinggang, menyebalkan. "Kenapa ngeliatin begitu?" tanyaku melihat wajahnya yang menatapku tanpa ekspresi. "Kenapa Kakak tidur di sofa?" tanyanya tanpa merubah posisi berdirinya sama sekali. Aku terdiam mengingat-ingat kenapa aku harus tidur di sofa di rumahku sendiri. "Sial!" Aku segera bangun dari duduk saat sebuah ingatan terbersit dalam benakku. "Ayo ikut." Aku menarik tangannya yang masih berkacak di pinggang lalu menariknya keluar rumah, memintanya membuka pagar sebelum memasuki mobilku. "Kita mau ke mana?" tanya Meisya begitu aku mengeluarkan mobil dari halaman, berjalan pelan menuju gerbang kompleks. "Iya, ya. Kita mau ke mana?" gumamku, mendengar pertanyaan Meisya membuatku tersadar jika kami memang tidak punya tujuan. "Apa? Jadi Kakak sendiri enggak tau kita mau kemana?" Meisya tersentak mendengar gumamanku, suaranya yang melengking memekakkan telinga yang langsung kugosok dengan telapak tangan kiri. "Enggak usah teriak-teriak kali!" protesku, dia malah cemberut hingga bibirnya mengerucut. "Lagian kenapa, sih, maen ngajak-ngajak pergi. Enggak punya tujuan pula!" omelnya membuat kepalaku semakin pusing saja, kalau saja aku tidak bingung mau apa dan ke mana pagi-pagi begini tentu saja aku tidak akan mengajaknya bersamaku. "Lagian Kakak tuh kenapa? Bukannya di rumah masih ada Sarah?" Dia menatapku dengan wajah penasarannya, bulu matanya yang lebat dan lentik seolah melambai-lambai saat matanya berkedip. "Justru itu aku males," jawabku asal, aku memang tidak ingin bertemu dengannya. Teringat semalam ia memaksaku untuk bercinta dengannya membuatku tanpa sengaja menggidikkan bahu. Meisya malah tertawa jelas sekali kalau dia mengejekku. "Males? Bukannya semalem Kakak menikmati banget, ya, ciuman Ama dia?" Meisya malah menyindirku dengan bibirnya yang tertarik sebelah. Sekilas aku menatapnya lalu kembali fokus pada kemudi. "Justru itu, semalem kayaknya dia mabuk berat terus maksa-maksa ngajak begituan. Ih, males banget!" jawabku yang kembali merasa muak dengan tingkah Sarah. "Lah, bukannya malah seneng, ya? Cowok, didatengin cewek cakep dan seksi dan diajak begoan. kok Kakak malah males? Kakak normal, 'kan?" Apa? Pertanyaan macam apa yang Meisya berikan padaku, belum tahu saja dia kalau aku pejantan sejati. "Enak aja, ya normal-lah! Aku normal, tapi sebandel-bandelnya aku belum pernah sampe bawa perempuan ke ranjang. Lagi pula, saat ini setiap di deketin cewek aku ngerasa kayak menghianati seseorang," jawabku tanpa menatapnya yang sepertinya masih tetap menatap wajahku. Entah kenapa rasa ini memang benar, setiap kali aku dekat atau memikirkan seorang wanita ada rasa aneh dalam hatiku, seolah aku sedang menghianati cintaku pada Laura, padahal aku sadar justru cintaku padanya-lah yang sebuah kesalahan, sebuah penghianatan. "Alah, merasa menghianati siapa? Aku liat sendiri gimana Kakak menikmati ciuman kalian tadi malem!" celetuknya membuatku malu, aku hanya bisa mengusap tengkuk yang tiba-tiba terasa meremang, jujur saja saat mencium Sarah semalam yang ada dalam hayalku adalah Laura. "Eh, kita makan, yuk, kamu bawa uang enggak?" Aku mengalihkan perhatian Meisya agar tidak terus menyindirku. "Enggak-lah, Kakak, 'kan, nyulik aku mana sempet aku bawa uang!" ketusnya, jika saja bukan Laura yang menitipkannya padaku tentu saja aku tidak akan berbuat sebaik ini padanya. Tapi bagaimanapun hadirnya dia dalam hidupku adalah keputusanku sendiri, aku tidak tega jika harus melihat Kak Nabilla menderita karena kehilangan cintanya lagi, karena aku tahu Kak Dimas juga orang baik yang tidak akan tega menghianati janjinya sendiri untuk menikahi Meisya. Setidaknya waktuku terikat dengannya hanya sampai bayi itu lahir, tidak masalah aku yang harus menanggung sesuatu yang tidak aku lakukan demi Kak Nabilla dan Laura. "Coba liat, deh, kayaknya di laci dasboard ada uang receh." Meisya langsung melakukan apa yang aku perintahkan, ia mengambil pecahan lima ribuan dan dua ribuan yang memang aku sediakan untuk parkir atau memberi pengamen jalanan. "Cukup, sih, kalau cuma buat makan bubur ayam atau lontong sayur dipinggir jalan," ujarnya setelah menghitung uang itu. Tidak begitu jauh berjalan aku melihat gerobak penjual lontong sayur dipinggir jalan, segera kutepikan mobil. Meisya keluar terlebih dahulu, ia duduk di atas kursi plastik yang telah di sediakan. Aku telah duduk di sampingnya saat pedangan lontong sayur bertubuh agak gemuk itu menanyai kami. "Mbak sama Mas-nya makan di sini?" "Iya Pakdhe, dua porsi lontong sayur pake telur, lengkap pokoknya," jawab Meisya. "Kalau Sarah bangun dan nyariin Kakak gimana?" tanyanya membuyarkan lamunanku. "Ya, biarin aja dia pergi," jawabku asal. "Kalau dia nungguin?" tanya-nya lagi. "Bisa enggak, sih, enggak usah ngomongin dia?" Aku tidak bisa untuk tidak ketus padanya apalagi pertanyaannya membuatku malas, aku malas membahas tentang Sarah lagi. Memikirkan bagaimana caranya menghindari wanita itu saja sudah membuatku pusing, ditambah lagi dengan kecerewetan Meisya. "Halah, sekarang aja sok-sokan males bahas, semalem aja sampe ngigau-ngigau manggil-manggil namanya!" Meisya memutar bola matanya saat mengatakan hal itu, tapi apa katanya? Aku mengigau memanggil Sarah? "Apa? Aku ngigau manggil-manggil Sarah?" tanyaku penasaran, kenapa juga Meisya bisa tahu. "Iya, semalem waktu aku nyelimutin Kakak, Kakak, tuh, lagi ngigau!" jawabnya ketus, wanita ini sama sekali tidak bisa bersikap manis sedikit pun. "Kamu ngapain nyelimutin aku?" tanyaku spontan. "Ya ... ya atas dasar kemanusiaan aja, aku kasian ngeliat Kakak kedinginan dan jadi santapan nyamuk." Obrolan kami terhenti saat pesanan kami datang, dua porsi lontong sayur dan dua gelas teh hangat tawar. . "Gila, Sya! Ini pedes banget!" Aku menyemburnya saat merasakan lama-lama lidahku terasa terbakar karena lontong sayur yang ia pesan sangat pedas. "Apa, sih, Kak? Enggak terlalu pedes, kok!" jawabnya, aku heran kenapa dia bisa sesantai itu. "Kakak enggak abis makannya?" tanya-nya kemudian, setelah melihatku menggelengkan kepala tanpa basa-basi ia memakan lontong sayur milikku yang masih tersisa setengahnya. "Gila, ya, kamu. Cantik-cantik makannya banyak juga!" Aku masih merasakan panas di lidahku sedangkan Meisya masih saja lahap makan. "Ibu hamil, tuh, porsi makannya dobel!" jawabnya, membuatku sadar ia sedang hamil sekarang. Sesaat aku sempat lupa dengan keadaannya yang sedang berbadan dua, kasian juga dia, seharusnya dalam keadaan seperti ini dia memiliki seorang suami yang bisa menjaganya dengan penuh cinta. Tapi bukan aku tentunya, aku sama sekali tidak mencintainya, seluruh hatinya telah menjadi milik sahabatnya. Aku tidak tahu kenapa rasa ini begitu cepat meraja, bertemu dengan gadis itu setelah sekian lama kami berpisah ternyata malah sebuah cinta yang tumbuh di d**a, hanya saja sayangnya keadaannya sudah berbeda. Aku tidak habis pikir, apa, sih yang Laura lihat dari Banyu, kenapa ia begitu mencintainya padahal usia mereka terpaut cukup jauh. Memang, sih, seorang Banyu lebih dari kata pantas untuk dicintai tetapi kenapa harus Laura yang mencintainya. "Gimana kehamilan kamu?" Meisya menatapku, seolah ia tidak percaya pertanyaan itu keluar dari mulutku. "Enggak gimana-gimana," jawabnya singkat. "Kalau lontongnya masih kurang, pesen lagi aja. Uangnya masih cukup, 'kan," ujarku, tapi keningnya malah semakin mengerut. Kenapa dia selalu lebih banyak nyebelinnya, sih? "Enggak usah, makasih," jawabnya singkat, lalu meninggalkan aku untuk membayar apa yang sudah kami makan. Meisya berdiri di samping gerobak, aku meninggalkannya lebih dahulu memasuki mobil, setelah menyelesaikan p********n ia masuk dan menaruh uang sisanya di tempat semula. Dalam diam ia memasang sabuk pengamannya, aku mulai menjalankan mobil. "Kita mau ke mana? Bisa pulang, 'kan, aku mau kerja." Sekilas dia menatapku lalu kembali menatap lurus ke depan. "Ini Minggu, Sya. Kok, kamu kerja?" Mendengar ucapannya spontan aku menanyakan, tempat kerja macam apa yang tidak memberikan waktu libur pada pegawainya di akhir pekan seperti ini. "Aku itu kerja di rumah makan, Kak, bukan di kantoran, hari Minggu rumah makan malah rame. Banyak keluarga yang jalan-jalan dan makan di sana," jawabnya sambil melipat tangan di bawah dadanya. . Aku melambatkan mobil saat sudah mendekati rumah, dan rasanya sebuah batu yang mengganjal di hatiku sirna saat melihat mobil Sarah sudah tidak ada di depan rumah. Mobilku sudah terparkir di garasi karena hari ini aku memang tidak ada rencana untuk keluar rumah, hanya ingin menghabiskan hari ini dengan tidur di kasurku yang empuk setelah menghabiskan malam dengan tidur di sofa yang membuat leherku terasa pegal. "Terima kasih." Kata yang Meisya ucapkan sebelum keluar dari mobilku, lalu langsung berjalan memasuki rumah. "Kenapa dia?" Aku hanya bisa bergumam, merasakan jika dalam perjalanan pulang ini ia sedikit lebih pendiam, berbeda dengan saat berangkat lagi. "Oh, mungkin kekenyangan makanya males ngomong!" * Dita Andriyani * Samuel duduk di sofa ruang tengah yang berdampingan dengan ruang makan, remote televisi berada dalam genggamannya layar plasma lima puluh dua inchi yang terpasang di dinding menampakan acara berita olahraga mancanegara. Lelaki itu sudah terlihat lebih segar, rambutnya masih sedikit basah dengan aroma maskulin yang menguar, sebuah kaus oblong berwarna merah maroon berpadu dengan celana pendek warna hitam menggantikan pakaian yang tadi ia gunakan. Ia memang berencana untuk tidur seharian, tetapi menurutnya ini masih terlalu pagi, lagi pula ia baru saja meminta Mbak Tri untuk mengganti seprai dan selimut yang semalam di gunakan oleh Sarah. "Enggak perlu, Pak, saya biasa berangkat sendiri." Suara Meisya yang baru keluar dari kamarnya menarik perhatian Samuel hingga lelaki itu menoleh ke arahnya, Meisya juga sudah tampak cantik dan segar ia sudah siap untuk berangkat bekerja dengan sebuah celana bahan berwarna hitam berpadu kaus longgar berwarna biru tua, rambutnya yang tidak terlalu panjang ia ikat di atas kepala membuat leher jenjang yang sedikit di tutupi anak rambut terlihat begitu indah. "Ya sudah kalau begitu, tapi bener, ya enggak ngerepotin," ujar Meisya yang tampak sedang memeriksa tas yang ia letakkan di atas meja makan, dengan satu tangan sedangkan tangan yang satunya ia gunakan untuk memegang ponsel yang menempel di telinga kirinya. Diam-diam Samuel mencuri dengar apa yang sedang Meisya obrolkan entah dengan siapa, yang jelas Meisya memanggilnya dengan sebutan Pak. Lelaki itu menjadi semakin penasaran saat Meisya menyebutkan alamat rumahnya dan berkata kalau ia menunggunya, tetapi Samuel enggan bertanya, ia tidak mau mengurusi urusan pribadi istrinya itu. "Mbak Tri mana, Kak?" tanya Meisya, Samuel menoleh dan ternyata Meisya sudah meletakkan ponselnya di atas meja. "Di atas lagi bersih-bersih," jawab Samuel singkat. Tidak begitu lama ponsel Meisya kembali berbunyi, ia segera me jawab panggilan itu. "Oh, iya, Pak. aku keluar sekarang," jawab Meisya singkat lalu memasukkan ponsel ke dalam tas-nya, wanita itu bergegas keluar dengan langkah sedikit terburu-buru. Samuel yang merasa penasaran segera mengikutinya, diam-diam lelaki itu bersembunyi di balik pintu yang sudah Meisya tutup, ia menyingkap sedikit tirai dan melihat keluar. Dari tempatnya ia melihat seorang lelaki keluar dari mobilnya sementara Meisya masih berjalan mendekat, lelaki yang cukup gagah berbadan tinggi besar dengan kulit yang tidak terlalu putih, mungkin usianya beberapa tahun di atas Samuel. Meisya berdiri tidak begitu dekat, nampak sekali jika wanita itu menaruh hormat pada lelaki itu, sejenak mereka berbincang yang tampak hanya basa-basi. Lelaki itu tampak tersenyum sempringah lalu membukakan pintu samping kemudi, dengan senyum ramahnya Meisya masuk. Samuel tampak mengikuti dengan pandangannya saat mobil itu berjalan, lalu tanpa sadar ia mendengkus kesal. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN