Tujuh

1515 Kata
Happy reading and hope you like it. Jangan lupa follow i********: aku. Ay.tarigan ***** Terkadang kita selalu melihat pelangi di atas kepala orang lain, lalu merasa kalau hidup mereka lebih indah dan berwarna dari hidup kita sendiri, tanpa sadar bahwa di atas kepala kita ada langit cerah dan begitu elok yang di anugerahkan oleh Tuhan. Zuhra mulai mengepak beberapa barang dan pakaian miliknya, hari ini ia akan pindah dari rumah Ayah dan Bunda. Statusnya sekarang telah berubah, jadi sudah seharusnya ia siap akan semua perubahan di dalam hidupnya. "Sudah selesai?" Zuhra menoleh saat mendengar pertanyaan suaminya itu. "Belum, Mas." "Hm …." Ingin sekali rasanya Zuhra mendengus kesal dengan reaksi Dirgam. Apa tidak ada jawaban lain? Kapan hubungan mereka ada kemajuan jika seperti itu? Zuhra memasukkan bajunya ke dalam koper seraya menggerutu. "Kenapa sebanyak itu?" Dirgam mengernyitkan dahi di tepi ranjang. Zuhra pun tak kalah bingung, namanya perempuan ya pasti punya banyak baju atau alat kosmetik dan barang lainnya ‘kan? "Bawa yang penting saja, sisanya tinggalkan," perintahnya, "apalagi barang-barang kenangan." Nah, kan. Ambigunya muncul lagi. Barang kenangan apa maksudnya? Dan yang penting-penting saja? Ini semua penting tahu! Zuhra menekuk wajahnya, kalau tahu begitu dia tidak akan membongkar habis-habisan isi lemarinya. "Bawa satu ini saja," ucap Dirgam seraya menarik koper besar yang berisi baju-baju rumahan Zuhra. "Eh, tapi, Kak .... " "Yang lain tinggalkan saja," tukasnya tak ingin diprotes. Bahu Zuhra terkulai lemah seketika, apa yang bisa dia lakukan dengan sepatu beserta n****+-novelnya? ✏✏✏ "Kamu itu yang nurut sama suami," nasihat Bu Ratna seraya memeluk sayang anak perempuannya. Tak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya ia begitu diliputi kesedihan. Melepas anaknya dengan tiba-tiba seperti ini jelas saja membuatnya sedikit banyak tak rela, tapi apa mau dikata jika sudah beginilah takdir yang diberi Tuhan anak perempuannya itu. "Iya, Bun," ucap Zuhra seraya membalas pelukan sang bunda dengan mata berkaca-kaca. "Jangan iya iya aja, dilakuin!" titah sang bunda, "Dirgam, kalau anak ini nakal jewer aja," ujar Bu Ratna galak. Zuhra mencebik karena ucapan bundanya, sementara Dirgam hanya mengangguk seraya memasukkan koper Zuhra ke bagasi mobil. "Dikurangin sifat manjanya, kasian nanti Nak Dirgam." Ucapan sang ayah semakin membuat wajah Zuhra masam. "Iya, Yah, Bun. Eh, Bang Ran dimana, Bun? Zuhra belum pamit," tanyanya seraya celingukan. "Bang Ran tadi kerumah sakit pagi-pagi sekali, ada operasi katanya, tapi Bunda sudah bilang kok kalau kalian hari ini pindah," jawab sang bunda. Zuhra mengangguk maklum, abangnya itu memang super sibuk. "Kalau begitu kami pamit, Ayah, Bunda." Dirgam menyalami tangan kedua orang tua Zuhra sebelum membuka pintu penumpang untuk sang istri. "Ya, hati-hati. Maaf nggak bisa ikut nganterin, soalnya ayah harus buru-buru ke pabrik," jelas Pak Albar tak enak. “Tidak apa-apa, Yah.” Dirgam mengangguk sekilas sebelum masuk ke kursi pengemudi. Zuhra melambaikan tangan dengan setes air mata mengalir di pipi saat mobil mulai berjalan. Setengah jam berjalan, Zuhra mulai bosan dengan Dirgam yang pelit bicara, ditambah lagi kemacetan ibu kota yang membuat mereka harus terjebak jalanan lambat seperti siput. Ia ingin menghidupkan musik, tapi takut mengganggu konsentrasi menyetir sang suami, akhirnya Zuhra memilih untuk memejamkan mata dan tidur. Beberapa waktu kemudian Zuhra merasakan guncangan kecil di tubuhnya, perlahan ia mengerjab dan sadar bahwa mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti berjalan. Mengedarkan pandangan, Zuhra menatap bingung sekitarnya. "Saya ada meeting mendadak," jelas Dirgam. Zuhra menoleh pada pria itu. "Kenapa nggak bilang dari tadi?" tanya wanita itu. “Terus Zuhra gimana?” keluhnya. Dirgam berdehem. "Kamu tunggu di ruangan saya. Sekarang, ayo turun,” titahnya. Zuhra turun dengan pandangan meneliti sekitar. Mereka sedang berada di lobi sebuah gedung yang menjulang tinggi mencakar langit, sungguh Zuhra sedang tidak berminat untuk menghitung jumlah lantai bangunan ini. "Kalau ada rapat kenapa ajak Zuhra? Zuhra tunggu di sini aja," tolaknya. "Nggak. Kamu tunggu di ruangan saya," ujarnya tak ingin dibantah. Wanita itu mengerucutkan bibir kesal, menunggu Dirgam di sana pastilah sangat membosankan. Apalagi tidak ada seorang pun yang ia kenal di sini. Zuhra tersentak ketika dengan sangat sadar Dirgam menarik tangannya, menuntun wanita itu agar berjalan bersisian dengannya. Astaga, ini tidak bisa dibiarkan! Zuhra merasa detak jantungnya bergemuruh liar. Ada apa dengan dirinya? ✏✏✏ Zuhra mengamati ruangan bernuansa hitam dan abu-abu ini, luasnya cukuplah untuk bermain futsal. Suami pelitnya itu sudah menghilang entah kemana dan meninggalkan dirinya sendirian di sini. Dengan bosan, Zuhra mengganti ganti saluran TV plasma di hadapannya. Tidak ada acara yang menarik minat wanita itu, semua hanya talk show yang menurut Zuhra hanya mengedepankan sensasi saja, akhirnya ia memilih serial tv yang cocok ditonton oleh anak-anak, yaitu Tinkerbell. Meski sudah berkali-kali diulang, tapi itu lebih menarik dari acara sensasi. Sudah satu jam berlalu, tapi Dirgam belum juga kembali, entah apa saj yang mereka bicarakan di ruang rapat san. Dengan langkah gontai Zuhra berjalan menuju meja Dirgam, niatnya ingin melihat-lihat tempat kerja pria itu. Tidak ada yang istimewa, sama saja seperti apa yang Zuhra tonton di drama-drama korea biasanya. Kursi empuk yang bisa berputar, saluran telepon, beberapa tumpukan kertas, dan sebuah bingkai foto .... "Foto …." Zuhra mendekat agar bisa melihat lebih jelas wajah di dalam bingkai tersebut. Seorang wanita cantik dengan rambut gelombang berwarna kecoklatan sedang tersenyum ceria, Zuhra perkirakan umur wanita itu tidak jauh berbeda dengan usia Dirgam. "Lihat apa kamu?" Zuhra tersentak kaget. "Ng ... itu … Zuhra cari handphone … iya handphone," ucapnya seraya tersenyum bodoh. Dirgam manatap lekat Zuhra. "Di tanganmu," ujarnya datar. Zuhra melirik tangannya salah tingkah. "Eh … oh … hehe ... Iya, Mas, Zuhra lupa." Bibirnya mengeluarkan tawa konyol. "Ayo pulang," ucapnya seraya berbalik meninggalkan Zuhra di belakangnya. Wanita itu segera menyambar tas, lalu berjalan cepat menyusul Dirgam. "Mas, kita pindah kemana?" tanya Zuhra bingung. Bododhnya dia yang sedari tadi tidak menanyakan hal itu kepada Dirgam. "Apartemen saya," jawab pria itu singkat. Zuhra mengerutkan alis, ia kira mereka akan tinggal di sebuah ruamah yang asri, ramah lingkungan serta bertetangga, bukan malah di sebuah gedung bersekat-sekat seperti itu. Bagi Zuhra tinggal di Apartemen itu kurang bisa bersosialisasi, tapi jika dipikir-pikir, tempat itu memang cocok untuk Dirgam yang punya kepribadian tertutup seperti ini. "Mas, tadi itu perusahaan punya kamu?" tanya Zuhra saat mereka sampai di lobi, Zuhra baru sadar bahwa saat ini banyak mata yang mencuri-curi pandang ke arah mereka. "Bukan, ini punya papa," sahutnya pendek. "Mas yang mimpin?" lanjut wanita itu lagi. "Hmmm." Zuhra mengerucutkan bibir mendengar sahutan pria itu. Mereka berdua memasuki mobil Ferrari hitam yang dikemudikan langsung oleh pria itu. "Kenapa nggak pakai sopir aja? Mas nggak capek?" Dirgam hanya melirik sekilas lalu kebali fokus ke jalan. ”Kamu mengkhawatirkan saya?” tembak pritu langsung. Zuhra sontak menggeleng keras. ”Nggak kok!” elaknya cepat. Dirgam menarik sudut bibir sekilas, sangat tipis sekali. Zuhra bahkan hampir tak percaya bahwa pria itu baru saja tersenyum. “Mas barusan senyum?” tanya Zuhra tak percaya. Pria berdehem pelan, tapi tak menggubris pertanyaan antusias wanita itu. Fokusnya masih tetap ke jalan. Zuhra bertanya dengan semangat tapi tidak ditanggapi memilih diam. Matanya mulai beralih memperhatikan interior mobil Dirgam yang Zuhra tahu pasti bukanlah mobil murahan. Zuhra ini aslinya memang cerewet dan selalu penasaran, tapi di dekat Dirgam Zuhra mencoba bersikap biasa. Bukan sok jaim, sudah jelas Dirgam bukanlah pria yang dengan senang hati akan menjawab pertanyaannya, mungkin pria itu malah rishi dengan suara berisik wanita itu. Akan tetapi, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan tak akan bisa langsung hilang, seperti sekarang ini, Zuhra tidak bisa mengontrol bibirnya untuk kembali bertanya hal yang tidak penting. "Mobil Mas masih baru, ya?" selidiknya. "Hmm." Oke, cukup sudah. Zuhra menyesal tak bisa mengontrol kecerewetannya. Dia berjanji nanti akan membeli lem super dan menempelkan ke mulutnya. "Sudah sampai, turun!" perintah Dirgam. Zuhra tidak sadar mobil sudah berhenti karena sibuk mengomel dalam hati. Wanita itu mengikuti saja tanpa bertanya, toh juga tidak akan dijawab pria itu. "Kamar Zuhra di mana?" tanyanya ketika mereka sudah memasuki unit apartemen Dirgam di lantai delapan. Dirgam berjalan lurus dan menekan handle pintu. "Masuk dan istirahatlah," ujarnya. "Ini kamar Zuhra?" tanya wanita itu takjub. Kamar yang sangat luas dan nyaman, membuat Zuhra merasa tak sabar untuk menjatuhkan diri di atas ranjamg empuk itu. "Kamar kita!" ralat pria itu. Senyum wanita itu seketika memudar. "Maksud, Mas?" tanya Zuhra bodoh. Dirgam mendengus. "Kita sudah menikah, ingat?" Zuhra mengangguk, jawaban Dirgam cukup memberitahu bahwa mereka akan sekamar, tapi tidak bisa membuat hatinya kembali tenang seperti saat sebelum mengetahui fakta ini. "Saya mau mandi, kopermu sebentar lagi diantar." Pria itu berlalu pergi meninggalkan zuhra yang masih berdiri mematung di depan pintu. ‘Ya, Gusti … bagaimana ini?’ rutuknya dalam hati. ✏✏✏ Hening menyelimuti acara makan malam keduanya. Setelah mandi tadi, Dirgam turun sebentar, Zuhra pikir suaminya itu entah pergi kemana, ternyata dia segera kembali dan membawa makanan untuk mereka berdua. "Habiskan makananmu!" Begitulah perintahnya. Zuhra cemberut. "Zuhra nggak suka sayurnya," keluh wanita itu. "Itu baik untuk ibu hamil,” nasihatnya. "Tapi, Zuhra mual, Mas." Dirgam menghela napas. "Maunya apa?" Zuhra menggigit bibir bawahnya. "Bakso." Dirgam melotot kaget. "Nggak, orang sehat aja nggak baik makan bakso, apalagi lagi hamil seperti kamu!" serunya. "Tapi …. " "Nggak ada tapi-tapi. Ganti!" "Mie Ayam?" "Ganti!" "Mi goreng?" "Ganti!" Gitu terus sampai tahun depan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN