Empat

1150 Kata
Zuhra menatap beberapa lipatan kertas berpita yang ada di hadapannya sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di meja, sesekali diiringi kerutan di dahi pertanda dirinya sedang berfikir keras. Dengan hati-hati disingkirkannya beberapa kertas dan hanya menyisakan satu di hadapannya. "Zuhra suka yang ini, bagaimana menurut Mas?" Zuhra menunjuk kertas berwarna maroon dengan tinta emas yang tadi disisakannya. "Bagus." Seperti biasa, singkat, padat, tapi tidak jelas. Zuhra menoleh ke sebelahnya, dimana Dirgam sekarang berada. Mereka sedang duduk bersebelahan di atas karpet bulu. Zuhra memang lebih suka duduk di sini daripada di atas sofa, tidak menyangka Dirgam juga mengikutinya. "Jadi, kita pilih yang ini?" tanya Zuhra meyakinkan. "Ya." Zuhra hampir saja berdecak kesal karena jawaban ringkas yang selalu Dirgam berikan. Bicara saja pelit, apalagi yang lain, batin Zuhra. "Oke, undangan sudah, gaun sudah, sekarang cincin," ucap gadis yang sedari tadi mengamati keduanya. Faranisa, perempuan anggun berambut lurus sepinggang itu adalah adik Dirgam yang merangkap sebagai WO pernikahan mereka. "Kalian ingin cincin seperti apa?" tanya gadis itu seraya menyodorkan sebuah kotak persegi yang berisi beberapa contoh cincin yang beragam macam bentuk. Entah apa alasan Dirgam meminta Nisa untuk membawa sampel itu ke rumah Zuhra, padahal mereka bisa saja datang sendiri ke toko perhiasan untuk memilih tanpa harus merepotkan adik Dirgam itu lebih banyak lagi. Zuhra kembali mengamati benda melingkar di hadapannya, lagi-lagi keningnya berkerut seperti kebiasaannya sedang berfikir. Bagi Zuhra semua cincin itu sangat cantik sehingga menyulitkan dirinya untuk memilih. Zuhra menghembuskan napas panjang, lalu tangan kecilnya menggeser kotak itu tepat ke hadapan Dirgam. "Mas aja yang pilih, Zuhra kan udah pilih undangannya," ucap Zuhra. Dirgam melirik Zuhra sekilas. "Yang menurutmu bagus saja," jawabnya. Zuhra mengatupkan bibir menahan kekesalan yang sudah sampai di ubun-ubun. Zuhra kesal dengan sikap Dirgam yang acuh seperti itu, kalau memang tidak niat menikah ya tidak usah. "Mas itu sebenernya serius nggak sih nikahin Zuhra?" tanya wanita itu jengkel. Dirgam menoleh. "Maksudmu?" "Mas serius nggak buat menikah sama Zuhra?" Zuhra memejamkan matanya sejenak. "Kalau nggak, mending kita batalin aja," lanjutnya. Kalimat yang Zuhra ucapkan membuat mata Dirgam menatapnya tajam, siap menusuk sampai organ terdalam sekalipun. Nisa yang melihat gelagat pertengkaran di antara mereka hanya menggeleng kepala bosan. Di umurnya yang baru menginjak delapan belas di tahun ini membuat emosi Zuhra masih sulit dikontrol. Tingkat kelabilanya juga masih sangat tinggi. Wajar saja jika perempuan yang baru saja menyelesaikan Sekolah Menengah Atas itu mengambil keputusan tanpa pikir panjang, seperti yang dilakukannya sekarang ini. "Nggak usah lebay, deh. Bang Dirgam memang begitu orangnya," ucap Nisa jengkel. Entah kenapa Zuhra merasa kalau Nisa ini tidak menyukainya, dari awal mereka berbicara pun sudah sangat terlihat kalau Nisa begitu antipati kepadanya. Rasanya Zuhra ingin menangis saat ini juga, merasa tersudut oleh ucapan calon adik iparnya yang notabennya lebih tua dari dirinya. Zuhra mendengar suara helaan napas di sampingnya, pria itu memijat pelipisnya pelan. "Atur pernikahan ini sesuai impianmu, cukup mempelainya saja yang tidak." Lagi, kalimat ambigu yang dilontarkan pria itu, sekarang Zuhra menambahkan Mr. Ambigu sebagai nama lain Dirgam. Emosi Zuhra yang tadinya sudah sampai di ubun-ubun kini meluap entah kemana karena menilisik pandangan mata Dirgam, ada pancaran tulus di sana. Mungkin. Zuhra akhirnya mengalah dan menunjuk sebuah cincin sederhana tetapi terlihat cantik yang sejak awal menarik perhatiannya. "Ini bagaimana?" tanyanya. "Bagus." Hanya seperti itu jawaban yang dilontarkan Dirgam, membuat Zuhra menghela napas pasrah. ✏✏✏ "Mau kemana sih, Nad?" rengek Zuhra yang saat ini tengah diseret paksa oleh Nadia memasuki mall. "Jalan-jalan. Lo bisa strees lama-lama kalau angkrem di kamar terus." "Lo kira gue ayam?" sungut Zuhra kesal. "Induknya." Nadia tertawa kencang melihat wajah Zuhra yang sudah ditekuk. "Udah deh nggak usah cemberut gitu, udah mau jadi emak-emak juga." "Lo ngeselin banget hari ini, Nad, sumpah." Nadia tidak perduli dengan ocehan Zuhra, gadis itu terus saja menarik tangan Zuhra. "Kok ke sini?" tanya Zuhra bingung. "Lo itu lagi hamil, nggak boleh pake bedak kaya biasanya, ganti ini," ucap Nadia seraya menyodorkan sebuah bedak bayi. "Loh, kan baby-nya belum keluar, masa dikasih ini?" "Ini buat lo biar kandungan lo aman, kosmetik yang lo pake sekarang belum tentu aman buat bumil." Zuhra menerima bedak bayi yang disodorkan oleh Nadia. "Gue aja nggak punya waktu lagi buat sekedar pake bedak atau lotion," gumamnya. "Iya, karena lo sibuk meratap," dengus Nadia. "Zuhra ...." Panggilan itu membuat Zuhra menoleh ke asal suara, seketika Zuhra terpaku, detak jantungnya seakan bekerja dua kali lipat. "Kamu ngapain disini?" tanya suara itu lagi. "Bukan urusan lo." Itu bukan suara Zuhra, melainkan suara Nadia. "Nggak usah nyolot dong lo," ucap seorang gadis yang berdiri di sebelah pria yang memanggil Zuhra tadi. Intan namanya. "Kita cuma jalan-jalan aja kok, Al," jawab Zuhra setelah mencoba tenang. "Kamu tau Reno berangkat ke Inggris?" Hati Zuhra rasanya seperti diketuk palu, amat nyeri. Zuhra meremas jarinya mencari sedikit lagi ketenangan yang dia punya. Sungguh dia sedang tidak ingin mengingat tentang laki-laki itu sekarang. "Tau kok, Al." jawabnya. "Mending kita pergi aja yuk, Ra." Nadia menarik tangan Zuhra untuk menjauhi orang-orang kepo di hadapan mereka. "Kalau lo tau, kenapa lo nggak ikut anterin Reno ke bandara? Pacar macem apa lo itu?" Ucapan Intan sukses membuat langkah Zuhra terhenti, napasnya sedikit memburu menahan gejolak emosi yang rasanya mulai meluap. "Eh, mulut lo ya, gue cabein juga lama-lama!" hardik Nadia penuh emosi. "Kita udah putus." Jawaban Zuhra sontak membuat kedua teman Reno itu bungkam. "Kalian ...." "Iya, kami putus tepat setengah jam sebelum dia berangkat." Penjelasan Zuhra memotong perkataan Albi, kini matanya tertuju pada Intan, "dari dulu lo suka kan sama Reno? Ambil gih, gue ikhlas," ucapnya. "Kenapa kalian putus?" tanya Albi penasaran. "Bosen." Setelah mengatakan itu Zuhra balik menarik tangan Nadia untuk menjauhi sahabat mantan pacarnya, Reno. Kamu udah pergi pun masih tetep bisa jadi sebab aku sakit, Ren. ✏✏✏ Setelah berkeliling sebentar, akhirnya Zuhra dan Nadia memutuskan untuk mencari makanan. Dan di sinilah mereka saat ini, sedang menikmati santapan lezat di Rumah Makan Padang, untung belum masuk waktu makan siang, jadi tempat ini masih lumayan sepi. “Lo makan banyak banget,” ucap Nadia takjub. "Anak gue juga butuh makan," jawab Zuhra sambil menyuapkan sesendok nasi terakhirnya. "Wahaha, alibi lo lumayan oke." Nadia menyeruput jus wortelnya. "Baby sehat?" tanyanya. "Sehat tante cantik," sahut Zuhra menirukan suara anak kecil. Nadia tersenyum mendengarnya, gadis itu bersyukur karena Zuhra terlihat mulai bisa menerima keberadaan bayi itu di rahimnya. "Lo kenapa sih suka banget jus wortel?" tanya Zuhra saat melihat Nadia menandaskan minumannya. "Gue butuh vitamin supaya mata gua tetep cling liat cowok ganteng," jawab Nadia santai. "Sarap." Nadia kembali tertawa senang. "ngomong-ngomong gue suka gaya lo tadi," ucap Nadia. "Gaya apa?" "Bosen." Nadia menirukan gaya bicara Zuhra tadi yang terdengar menyebalkan dan angkuh, seolah memang perpisahan itu tak ada arti apa-apa bagi Zuhra. "Gue seneng lo nggak nangis kejer depan mereka, lo bisa kontrol emosi," lanjut Nadia lagi. "Iya dongs, jadilah mantan yang elegan," ujar Zuhra layaknya sang motivator yang kelewat sombong. "Gaya lo selangit padahal tinggi cuma semeter," cibir Nadia sebal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN