1. Rencana Perjodohan
"Perjodohan?" Helen mengernyitkan keningnya. Raut wajahnya mengisyaratkan penjelasan lebih. Tidak ada angin tidak ada hujan, kedua orang tuanya itu malah membicarakan perjodohan dengannya.
"Iya, Sayang ...," jawab Sofia, ibunya.
Gadis yang baru saja pulang kuliah itu begitu shock dengan apa yang didengarnya.
Aku masih semester tujuh dan mereka membicarakan perjodohan? tanya Helen dalam hati.
"Nggak, Ma ...." Gadis itu menggelengkan kepalanya, tanda dia menolak rencana orang tuanya itu.
"Sayang ...." Kini Sofia telah mendekati putrinya. Memegang bahu Helen lembut. Helen masih saja bergeming, tak tahu mesti bagaimana menanggapi keinginan orang tuanya.
"Helen masih kuliah, Ma ...!" Bibirnya kini cemberut.
"Kamu tunangan dulu, Helen," timpal Doni, ayahnya.
"Kak Cintia aja belum nikah, Pa .... Masak mau diduluin Helen, sih?" Gadis itu masih mencari cara agar bisa keluar dari rencana itu. Memang benar Helen masih punya seorang kakak perempuan, Cintia namanya.
"Kalau kakak kamu ketuaan, dong, Sayang."
"Ketuaan? Maksud Mama? Kak Cintia baru aja berumur 25 kemaren, masak ketuaan? Apa malah bukan Helen yang masih terlalu muda?" Kedua orang tuanya itu saling berpandangan, menambah kecurigaan di hati Helen.
"Soalnya ...." Sofia kembali menatap ke arah suaminya. Suaminya itu memberikan isyarat biar istrinya saja yang memberi penjelasan. "Ehm ... pokoknya kamu ketemu dulu sama orangnya. Dijamin kamu pasti suka. Ganteng, kok. Nggak nyesel, deh," bujuk Sofia. Gadis itu bukannya menjawab malah membebaskan diri dari ibunya dan berlari ke kamar.
"Nggak! Pokoknya Helen nggak mau!" Sofia dan Doni hanya mampu menatap punggung putri mereka yang semakin naik ke atas menuju kamarnya.
"Susah, Pah. Helen itu keras kepala. Nggak kayak Cintia, kakaknya," keluh Sofia pada suaminya.
"Mau bagaimana lagi. Nggak mungkin juga nyuruh Cintia yang maju ...." Mereka berdua sama-sama menghela nafas. Bukan hal mudah membujuk Helen, karena mereka sendiri sangat tahu watak keras anak perempuannya itu.
Sebagai anak terakhir, Helen hampir mendapat seluruh perhatian orangtuanya. Jadinya, ya dia sedikit pembangkang. Sifatnya sangat bertolak belakang dengan kakaknya yang lembut dan penurut.
Helen membanting pintu kamarnya ketika masuk. Nafasnya tersengal-sengal karena tadi dia naik tangganya sambil lari. Bisa kebayang 'kan capeknya gimana?
Helen melempar tasnya sembarang tempat. Tangannya mengipas-ipas ke arah wajahnya yang mulai memanas.
"Apa? Perjodohan? Enak saja ngomongin perjodohan. Kenapa nggak Kak Cintia aja, coba? Keburu perawan tua 'kan, dia?" Helen mencak-mencak sendiri di dalam kamar. Sambil bertolak pinggang dia mondar-mandir di hadapan cermin yang setinggi dirinya.
"Kenapa mesti gue, Helen. Kuliah juga belum selesai. Umur juga belum genap 23 tahun. Masih mudalah kalau ngomongin pernikahan." Kali ini Helen bersedekap sambil ngomel, seolah ada orang lain di depannya.
"Gue 'kan masih pengen jadi wanita mandiri. Punya karir yang bagus, mau seneng-seneng dulu. Kalau nikah duluan ...." Mendadak Helen bergidik ngeri. Membayangkan dirinya hamil dan punya anak.
"Jadinya 'kan nggak cantik lagi. Di rumah cuma dasteran sambil netekin bayi." Tidak tahu ini anak marah-marah sama siapa, yang pasti semua barang-barang di kamarnya ditunjuknya untuk melampiaskan kemarahannya.
"Pokonya ... gue nggak bakal mau dijodohin. Lagian, ya ... pasti orangnya udah tua dan perutnya buncit. Buktinya sampai nggak bisa nyari calon istri sendiri." Gadis itu menghela nafas."Oke fix, gue nggak bakal mau."
"Lagian 'kan gue udah punya Gio. Kating femes yang gantengnya kelewatan. Masak mau gue buang demi nikah ama lelaki tua plus buncit. Nggak! Nggak!" Gadis yang sedang uring-uringan itu menggeleng-gelengkan kepalanya, menepis semua pikiran buruknya.
Segera Helen beralih mencari tasnya yang sedari tadi dia lempar sembarang tempat. Dirogohnya tas itu, dicarinya sebuah barang yang wajib ada setiap waktu.
Kini benda pipih berbentuk persegi panjang sudah ada di tangan. Ditekannya sebuah nomor yang sudah tersimpan di dalamnya. Jantungnya berdebar kencang ketika membayangkan wajah yang bakal dilihatnya.
Telepon menunggu diangkat. Dengan harap-harap cemas, gadis itu menunggu wajah sesorang muncul di layar.
Senyum Helen terbit begitu merekah, merona, kala melihat wajah pria tampan sedang tersenyum ke arahnya. Jantungnya nyaris saja copot melihat senyum itu.
"Halo, Beb ...." Pria itu memanggilnya begitu mesra. Membuat semburat pink menguasai wajah putihnya.
"Halo juga, Beb ...," ucap Helen manja. Helen merasa menjadi gadis paling beruntung di dunia karena bisa mendapatkan Gio. Meski Gio memintanya untuk menyembunyikan hubungan mereka. Katanya biar cewek-cewek penggemar Gio tidak bakal gangguin Helen.
Oh, so sweet, 'kan? Tapi tidak masalah juga buat Helen, yang penting hati Gio hanya untuknya. Dengan melihat wajah pria tampan yang serupa aktor Ashton Kutcher itu, mampu membuat Helen tersipu malu.
"Kamu lagi ngapain?" Helen membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya. Amarah yang tadi sempat mendera, kini hilang entah kemana.
"Aku lagi mau mandi, Beb. Kamu mau ikut?" Gio mengedip menggoda pada gadis itu.
Untung ganteng, coba kalau nggak. Udah gue sumpel tu mata pake cabe. Kedipannya itu, lho, bikin jantung mau copot, batin Helen sembari memegangi dadanya. Merasakan degupan yang semakin meresahkan panca indera.
"Ish ... kamu, Beb. Genit banget, deh. Sana mandi dulu. Aku juga mau mandi. Baru pulang ngampus." Meski aslinya bar-bar, tapi entah kenapa kalau sudah berhadapan dengan Gio, sifat kalemnya mendadak keluar. Suara juga jadi manja nggak ada garang-garangnya.
"Oke, deh, Beb. Aku mo mandi dulu, biar kadar kegantengannya bertambah dan biar kamu nggak bakal ngelihat pria lain." Gio melambaikan tangannya, tanda pamit pada kekasihnya itu.
"Oke, Gio sayang. Bye ... muach ...." Helen membalas lambaian tangan Gio, lantas menempelkan jari pada bibirnya. Gadis itu melakukan gerakan kiss bye untuk mengantar kekasihnya mematikan teleponnya.
Tak terkira rasa bahagia yang kini dirasanya. Gadis itu mendekap gawainya, dengan wajah berseri. Dia menendang-nendangkan kakinya di udara sembari menguncangkan tubuhnya.
"Gio ...," gumamnya dengan wajah berseri.
Terdengar suara pintu diketuk, Helen buru-buru menekuk wajahnya. Raut kegembiraan seketika lenyap, berganti dengan rasa kesal bercampur malas.
"Helen, Sayang. Mama masuk, ya?" Helen mengambil selimut kemudian membungkus tubuhnya dengan selimut itu.
Sofia membuka pintu kamar anaknya karena tak mendapat sahutan.
Dikiranya anak bungsunya itu telah tertidur, padahal 'kan Helen cuman pura-pura. Dasar anak itu.
Sofia mengelus kepala anaknya dari balik selimut. "Sayang, jangan ngambek, dong. Ini semua demi kebaikan kamu," ucap Sofia lembut. Menghadapi anak yang keras kepala seperti Helen harus dengan kelembutan. Jika tidak, maka hanya penolakan demi penolakan yang didapat.
Kebaikan? Kebaikan apa, coba? Kalian para orang tua mana tahu saat hati berbunga-bunga karena gebetan juga punya perasaan yang sama. Nggak tahu, 'kan? Malah bahas perjodohan. Hati gadis itu terus bergemuruh mengingat pembicaraan mereka tadi.
"Kalau kamu menolak perjodohan ini, maka semua fasilitas dan kemewahan yang kita nikmati ini bakal hilang."
"Apa maksud Mama?" Helen segera membuka selimutnya dan terduduk menghadap ibunya. Matanya menyipit, wajahnya mengisyaratkan rasa penasarannya.
Sofia tersenyum. "Ya, mungkin kita bakal jatuh miskin." Wajah wanita paruh baya itu tertunduk, seolah mengiba.
"Mama nggak lagi bercanda, 'kan?" Helen tertawa getir, berharap apa yang dikatakan ibunya itu hanya lelucon.
Sofia menggeleng. "Buat apa Mama bercanda, Sayang. Kalau nggak kepepet juga Mama nggak bakalan maksa kamu." Helen meneliti wajah ibunya itu, berharap ada kebohongan di matanya. Namun, sejauh dia mengenal wanita yang melahirkannya itu, semua yang dikatakan barusan adalah kejujuran.
Helen menghela nafas psnjang, pandangannya dialihkan ke arah lain. Sejenak matanya terpejam.
Apa jadinya jika aku nggak punya apa-apa? Bagaimana bisa aku hidup tanpa mobil dan kartu kredit? Isi kepala Helen berputar-putar dengan pertanyaan itu. Dia bukan gadis yang bisa hidup sederhana. Kemewahan sudah menjadi kesehariannya.
"Tapi ... siapa dia, Ma? Kenapa bisa membuat kita jatuh miskin?" Dengan rasa penasaran yang membuncah, Helen ingin mencari tahu tentang laki-laki yang akan dijodohkan dengannya itu. Kalau kekuasaannya sebesar itu, mungkin memang benar dia pria tua yang sangat jelek.
Sofia menghela nafas panjang. Perlukah dia menceritakan tentang masalah ini pada putrinya?
"Suatu saat Mama bakal ceritain. Tapi, yang pasti bukan sekarang, Helen. Kamu hanya perlu tahu, jika keluarga kita menolak perjodohan ini, maka ... semua aset keluarga kita akan diambil alih." Dengan berat hati Sofia mengatakannya. Dia juga baru tahu masalah ini beberapa hari yang lalu.
"Nggak bisa! Mama mesti cerita sekarang!" Helen tidak mau rasa penasarannya menggantung. Menjadikannya sulit tidur dan hari-harinya jadi nggak tenang.