Jingga, tidak percaya dan memilih kembali ke tempat tidur.
"Jingga, temui aku. Aku ada di dekat pohon mangga kalian, depan rumah." Nada serius.
Pohon mangga? Bagaimana bisa dia tahu di depan rumah ada pohon mangga? Jingga membatin, menekan langkah mengintip kembali dari balik gorden.
"Aku tunggu, tidak perlu dandan. Kau sudah cantik." Jingga membola, mendengar pujian Elesh. Entah itu pujian atau meledek tetapi rona wajah Jingga semakin memerah.
Jingga mematikan ponselnya, ia membuka pintu kamar pelan dan keluar menemui Elesh.
Di halaman rumah mereka ada pohon mangga. Seseorang melambaikan tangan ke arahnya dengan cahaya ponsel di tangannya.
Refleks Jingga merapikan rambutnya, mata juga menarik nafas panjang. Menghampiri.
"Kak Elesh tahu dari mana rumahku?" Tanya Jingga, dengan nada gugup.
"Kalau seseorang menyukai seseorang sudah pasti ia harus mencari tahu segala hal tentangnya." Jawabnya, tanpa Jingga sadari tangan Elesh sudah menepuk-nepuk pucuk kepalanya.
"Orang tuamu sudah tidur?" Tanya Elesh, melihat ke arah pintu rumah Jingga. Ia tidak ingin ketahuan meminta anak gadis pemilik rumah keluar menemuinya malam-malam dan diam-diam.
"Ini sudah jam sembilan malam, mereka sudah tidur. Kakak pulang saja atau kak Elesh kesini mau ambil—" ucapannya terputus, Jingga melebarkan mata diam mematung. Rasa dingin mendarat di bibirnya lima detik tapi membuat adrenalin nya memacu.
Bibirnya dikecup ringan oleh Elesh.
"Aku datang mengambil ciuman pertamamu." ucapnya mengansurkan ibu jari di bibir tipis.
Degup jantung Jingga berkejaran, wajahnya dipenuhi rona. Ia masih menatap pria dihadapannya tanpa henti.
"Mulai malam ini kita resmi pacaran."
Meminta atau memaksa yang pasti si pemilik bibir tiba-tiba saja mengangguk dua kali artinya setuju.
Pesona Elesh memang tidak bisa ditolak, entah sihir apa yang digunakan hingga dengan mudahnya Jingga patuh.
Selama ini Jingga berusaha menghindar dari kata pacaran, menolak pria remaja yang berusaha mengambil hatinya dengan cara yang manis. Tapi pria kota tidak tahu diri ini dengan mudahnya mendapatkan hati Jingga.
Elesh tersenyum, sangat bahagia. Ribuan kupu-kupu berterbangan dalam perutnya. Caranya yang tidak biasa mengajak pacaran membuahkan hasil.
Jingga cinta pertama dalam pandangan pertama.
"A-aaku masuk dulu kak," tersipu setelah ditatap lama oleh Elesh.
Jingga berbalik, Sekelebat tangan menarik dan memutar tubuhnya.
"Hei bunga desa, apa begini caramu mengucapkan selamat malam pada pacarmu?"
"Eh?" Gugup Jingga, ia tidak mengerti maksud Elesh.
Kedua tangan Elesh menangkup sisi wajah Jingga, melumat bibir tipis dengan gerakan lembut.
Pemilik bibir membola, merasakan bibir dingin membelai bibirnya. Tidak membalas hanya menerima. Ia polos, ciuman ini adalah yang pertama baginya.
Nafas gadis mulai tersengal, Elesh melepasnya. Memberi jarak satu inci lantas berbisik.
"Ini ciuman pertamaku, Jingga. Aku menyukaimu juga mencintaimu." Nafas yang keluar dari rongga mulutnya terasa panas membakar di wajah Jingga.
Tangan kecil Jingga melemas, terangkat mendorong d**a Elesh pelan.
"Kak, sudah malam aku mau masuk." Elesh mengangguk pelan meski tak rela berpisah.
Jingga berlari cepat, meninggalkan Elesh.
Pria kota tersenyum, setelah mendapatkan yang ia mau. Malam ini dunia miliknya, ia pulang dengan rasa bahagia.
Tinggal di desa tidak lagi masalah baginya. Ada kehidupannya di desa ini. Jingga pacar pertamanya.
Sejak malam itu, mereka resmi pacaran.
....
Jakarta, Tahun 2020
Klinik
"Jingga," Elesh menekan gigi di bibir bawahnya. Suaranya gemetar.
"Akhirnya kita bertemu." Ucapnya lagi.
Jingga mendengkus, "Akhirnya kita bertemu? Memangnya apa yang akan terjadi dari pertemuan sialan ini." Mencela dalam hati.
Jingga melihat Hagena yang tengah menatapnya juga.
"Maaf dokter saya tidak bisa bekerja di rumah, Anda." Ucap Jingga mengambil tas dari bangku lalu mengenggam tangan putranya.
"Permisi." Jingga membawa Aldebaran keluar ruangan, melewati Elesh.
"Tapi kenapa, kita sudah sepakat." Seru Hagena pada Jingga yang sudah menghilang di balik pintu.
"Jingga." Panggil Elesh, ia berlari mengejar keluar.
"Elesh ...." Panggil Hagena mencoba menghentikan langkah kaki Elesh. Tetapi, pria itu mengabaikannya.
Perlahan Hagena duduk, tubuhnya seketika melemah. Suaminya bertemu dengan cinta pertamanya lewat dirinya.
"Aku harus bagaimana?" lirih Hagena dengan wajah menyendu.
"Jingga ...." Panggil Elesh, ia berhenti saat melihat perempuan itu menggandeng tangan putranya menunggu lift terbuka.
Aldebaran menolehkan kepala pada Elesh, tetapi tidak dengan Jingga. Ia menulikan telinganya.
"Jingga, mari kita bicara." Pinta Elesh, mencoba menarik tangan Jingga yang menjinjing tas.
“Lepaskan!” Jingga menghempaskan kasar tangan Elesh.
“Jingga kumohon, aku cuman ingin bicara.” Pria memohon dengan tatapannya. Jingga menelan ludah rasa empedu.
Bicara? Apa yang ingin ia bicarakan? Pikirnya.
Tas di tangan ia jatuhkan. Menatap pria di hadapannya dengan tajam.
“Maaf, aku tidak punya urusan dengan anda yang mengharuskan kita bicara." kata Jingga.
“Ji, berikan waktumu sebentar. Sebentar saja.” Mohon pria itu, dengan nada getar dan tatapan penuh harap.
Jingga mengabaikannya, ia menarik tangan putranya masuk ke dalam lift meninggalkan Elesh berdiri di luar lift.
Begitu pintu tertutup, Jingga menangis dalam diam, dadanya terasa sesak. Genggamannya semakin erat pada tangan kecil Aldebaran.
Pertemuannya dengan lelaki itu kembali merobek luka lamanya yang masih basah.
"Mama, kita akan pulang kerumah?" Tanya Aldebaran mendongak pada Ibunya, yang ditanya kehilangan pikiran, diam mematung.
Air mata tidak dapat ditahan di tempatnya hingga berlabuh membanjiri pipi.
Jingga membenci hidup ini. Karma tidak berlaku pada pria itu. Hanya dia yang menanggung dosa di masa lalu.
Luka lamanya belum sembuh sepenuhnya. kini kembali berdarah. Selama ini Jingga berusaha mengobati hatinya yang terluka dengan cara melupakan. Namun, malam ini tanpa peringatan robek kembali.
"Mama," Aldebaran menyadarkan Jingga kembali dengan cara menarik ujung kemeja Jingga.
“I-iya sayang,” ujar Jingga, menyapu pipinya yang basa air mata.
“Pintunya sudah terbuka.”
"Oh, maaf mama tidak menyadarinya. ayo kita pulang." Jingga membawa Aldebaran keluar lift, dan langsung menuju pintu keluar klinik.
"Jingga!" Panggil Elesh, Ia berlari mengejar lewat tangga.
Keringat membanjiri tubuhnya, Elesh tidak akan membiarkan Jingga pergi begitu saja. Ia tidak akan membiarkan wanita ini menghilang lagi. Sepuluh tahun sudah cukup berpisah dengannya.
Meski Jingga membencinya tidak masalah baginya. Saatnya menebus dosa.
Jingga tidak peduli, telinganya jelas mendengar tapi mengabaikan. Mendorong pintu kaca, pria kecil menoleh kebelakang sembari mengikuti langkah Ibunya.
Aldebaran masih penasaran, kenapa pria ini mengejar mereka bahkan memanggil nama Ibunya dengan jelas.
Aldebaran bukan lagi anak kecil berusia lima tahun, tapi Ia berusia sembilan tahun tentu paham mengamati situasi. Aldebaran berhenti melangkah.
"Ada apa?" Tanya Jingga, bingung.
"Paman itu mengejar kita,"
"Biarkan saja, ayo." Menarik tangan putranya, tetapi entah kenapa Aldebaran tiba-tiba mengeras tidak bergerak. Diam di tempat.
"Aku tidak mau pulang ke rumah," lirihnya, ia menunduk lemah. Memikirkan Amos membuatnya ketakutan.
“Al, lalu kita kemana?”
“Bukanya dokter itu memberi mama pekerjaan?”
“Mama baru saja menolaknya,”
“Tapi kenapa, Mama?”
Jingga melihat Elesh, yang sudah berdiri tak jauh di belakang Aldebaran.
"Ayo jalan, Al." Jingga menarik tangan Aldebaran.
"Mama, Al tidak mau pulang kesana." Aldebaran menangis, menolak mengikuti Jingga.
"Aldebaran!" Bentak Jingga, mengejutkan Aldebaran, ia kesal putranya kenapa tidak patuh saat seperti ini.
"Maaf sayang." Jingga segera menyesalinya. Ia menarik Aldebaran kedalam pelukannya.
"Maaf, mama tidak bermaksud marah. Ayo kita pulang, mama mohon." gumam Jingga menyeka air mata Aldebaran.
Elesh mengatur nafas yang tersengal. Pria ini basah keringat, menatap Jingga dengan tatapan sulit diartikan. Antara kesal dan sedih.
Menekan langkah, mengambil tangan Aldebaran lalu menariknya dari Jingga.
"Lepasin, paman. Aku mau sama mama."
Aldebaran memberontak berusaha melepaskan genggaman tangan besar di pergelangan tangannya.
“Ikut denganku atau berpisah darinya.” Ancam Elesh berhasil membuat mata Jingga melebar, ia tidak mengerti isi pikiran Elesh.
Apa dia mengancamku? Berpisah? Dia putraku.
Jingga tersenyum miring mendengar ucapan Elesh.
“Apa kau sedang mengalami gangguan jiwa? Kau mengancamku menggunakan putraku?” Jingga tertawa seraya menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Elesh mengangkat tubuh Aldebaran, ia tidak main-main dengan ucapannya. Jingga mendelik.
"Elesh!" Tidak tahan lagi, Jingga meneriaki pria itu dengan bibir tipisnya.
Elesh mengangkat pria kecil, menempatkannya di pundak. Membawanya ke area parkiran dimana mobilnya berada.
Jingga jadi kebingungan, ia tidak mengerti apa yang dipikirkan Elesh saat ini. Dalam situasi ini kenapa jadi dia yang dipersulit Elesh.
"Elesh tolong lepaskan putraku." suara gemetar, mengikuti langkah lebar. Sedikit mengiba.
Pria jangkung membuka pintu mobil, memasukkan pria kecil ke dalam.
"Jangan takut, paman tidak akan menyakitimu." Dengan cekatan memasang seatbelt, Aman.
"Naiklah!" Perintah Elesh.
“Elesh lepasin putraku, ada apa denganmu?”
“Aku minta naik.”
Jingga jengkel melihat Elesh, ia mengabaikannya dan mematung di tempatnya.
Elesh naik ke dalam mobilnya, menutup pintu dan menghidupkan mesin mobil. Ia melirik Jingga dari kaca spion, Jingga masih berdiri di tempatnya.
Elesh menjalankan mobilnya pelan, membuat panik Jingga. Ia pikir Elesh hanya menggertaknya.
"Elesh!" Hardik Jingga sembari mengejar, tangan kecilnya memukul body mobil penuh emosi. Sakitnya luar biasa, namun Jingga berhasil menahannya.
Elesh menghentikan mobilnya, ia membuka kaca mobil.
"Naiklah!"
Dasar b******n!” Sarkas Jingga, membuka pintu mobil, masuk dan langsung memeluk putranya.
"Tutup pintunya, Jingga." Suara pria itu melembut, Jingga sengaja tidak mau menutupnya.
“Tutup sendiri!”
Elesh menghela nafas panjang, ia keluar dan menutup pintu lalu kembali masuk dan mengemudikan mobil.
Jingga mengambil tangan kecil putranya, mencium berulang kali, membawah pria kecil dalam dekapannya.
Elesh sesekali melirik lewat spion, dua orang di bangku belakang duduk diam. Pria kecil merasa nyaman di dekapan sang Ibu. Sementara Ibunya menatap keluar lewat kaca jendela mobil.
Ponsel Elesh berdering, memecah keheningan dalam mobil. Elesh mengangkatnya.
"Halo, Ge."
"Kau bersama mereka?" Hagena bertanya. Sebenarnya wanita hamil itu sudah melihat sejak Elesh memaksa Jingga naik dari pintu masuk klinik.
"Mmm ….” Elesh melirik dari kaca spion kedua penumpangnya. Jingga bersandar pada Jok mobil sembari menatap ke luar jendela.
"Dimana?" Hagena meremas ponselnya, ia sangat gelisah.
"Lagi dalam perjalanan, aku akan membawa mereka ke hotel."
“Kenapa tidak ke rumah, El?”
“Aku tidak ingin dia canggung.”
"Pulanglah setelah mengantar mereka."
"Mmm," Mematikan ponsel, mencari hotel lewat aplikasi lalu memesannya. Ia melakukannya sambil menyetir.