Elesh membawa ingatannya pada masalalu mereka di sepuluh tahun lalu ....
Setelah resmi berpacaran, Elesh tidak segan-segan menggandeng tangan Jingga di depan banyak orang. Membuat iri para kaum hawa di sekolah mereka.
Pasangan itu di juluki Dewa dan Dewi.
Elesh sering memainkan lagu lewat violin bernada mesra dan ditujukan untuk Jingga.
Dia sangat mencintai dan menyayangi Jingga.
"Kakak, jangan sembarangan. Bagaimana kalau ada orang lihat."Jingga protes. Pria ini selalu mencuri cium bibir Jingga.
"Biarin aja memang kenapa? Kau kan pacarku." Mencium di pipi.
"Pacar bukan istri dan ini juga desa, bukan Jakarta dimana kata kakak pacaran sudah hal biasa." Jingga mencubit lengan Elesh. Pria itu mengaduh kesakitan.
"Auh, uhhh. Sakit ..., bisa tidak cubitan ini diganti jadi ciuman mesra." Elesh membalas cubitan Jingga mesra di pipi.
"Jangan nakal. Aku pukul nih." Mengangkat tangan, tetapi segera ditahan Elesh kemudian sekelebat mengecup bibir Jingga. Gadis itu melebarkan mata melihat pacarnya yang semakin kurang ajar itu.
"Nakal."
"Tapi suka, kan?" Tanya Elesh menggoda.
Jingga mencebik, membuat Elesh tak tahan ingin menciumnya lagi. Lantas tangan Elesh menyatukan bibir Jingga hingga membentuk bibir bebek.
"Kak jail bangat." Jingga memukul lengan Elesh. Pria itu terkekeh bahagia.
"Oh iya, Imelda dimana?" Tanya Elesh, sembari merapikan lembaran surai Jingga yang dimainkan angin.
"Ke kantin."
"Dia memang teman yang baik."
"Maksudnya?" Elesh bukannya menjawab malah tersenyum sembari menjawil ujung hidung pacarnya itu.
......
Elesh menunggu Jingga di depan gerbang sekolah. Tak ada senyum di wajah pria itu saat Jingga tidak bersamanya. Ia menjadi sosok yang angkuh dan sulit tersentuh. Mengabaikan tatapan gadis remaja lain yang suka tebar senyum padanya.
Jingga, hanya bunga desa itu yang menarik perhatiannya sekarang ini.
Ia melihat dari kejauhan Jingga dan Imelda berjalan riang sambil saling menggoda. Senyum gadis itu sangat manis di mata Elesh. Ia benar-benar jatuh cinta padanya.
"Jingga." Panggil Elesh sembari melambaikan tangan ke arah Jingga dan Imelda.
"Kak, El." Jingga mendekati.
"Hei Imelda, kau manis sekali." Goda Elesh mengedipkan sebelah matanya pada Imelda.
Imelda mendengkus.
"Kalau manis kenapa tidak pacaran samaku?" Imelda membatin.
Jingga heran melihat Elesh menggoda Imelda. Gadis itu mengerucutkan bibir.
"Ya aku mengerti." Imelda mencebik. "Lagian siapa juga yang mau jadi penonton orang yang pacaran."
"Teman yang baik." Elesh segera menarik tangan Jingga, memisahkan teman baik itu.
"Cih, anak kota. Aku duluan, ya." Imelda melambaikan tangan dan berlari kecil mengejar teman lainnya.
"Kak, El." Jingga mencubit lengan Elesh. Setelah ia menyadari maksud kedipan mata Elesh pada Jingga.
"Apa?" Tanya Elesh mengusap lengan.
"Kau memintanya pergi."
"Tidak, dia sendiri yang mau."
"Apa salahnya jalan bersama."
"Diamlah, ayo." Elesh mengenggam tangan Jingga dan berjalan beriringan.
"Jingga ke rumah kakak ya." Ajak Elesh. menghentikan langkah Jingga.
"Memangnya mau ngapain? Aku takut sama Ibumu."
"Mama ada di perkebunan hanya ada nenek."
"Tidak kak, takutnya nanti jadi dosa." Jingga menolak, pria itu memberengut. Berhenti tak bersemangat melangkah. Melepas tangan Jingga.
"Ada Nenek Jingga, dosa apaan?" Jingga tersenyum melihat kekasihnya bersungut.
"Kakak, kalau merajuk tambah tampan." Goda Jingga, mengambil lengan Elesh dan bergelayut manja pada pria itu.
“Jingga …,” Elesh mencubit pipi Jingga. Ia membuat gadis itu menghadapnya, lengannya yang panjang melingkari pinggang kecil Jingga.
Gadis itu mendongak, menjawil hujung hidung Elesh. Elesh menggigit cuping telinga Jingga, mengundang gelenyar di tubuhnya.
“Kakak, geli.” Jingga menghapus telinganya yang terasa geli.
“Mau ikut kakak ke rumah tidak?” Tanya Elesh lagi, Jingga mengangguk.
"Makasih sayang, aku suka kesepian disana. Main PlayStation bosan juga kalau tidak ada teman." Elesh bersemangat, mencubit pipi Jingga menggemaskan.
.....
Elesh membuka pintu rumahnya dan membawa Jingga masuk. Ia menyapa neneknya yang tengah duduk di ruang tamu.
"Nenek, aku bawah teman masuk kamar ya," ujar Elesh, mencium pipi neneknya.
"Siapa?"
"Pacarku,"
"Gadis bermata biru?"
"Mmm," Elesh menarik tangan Jingga mengenalkannya pada Neneknya.
Nenek Elesh mengenakan kacamatanya, supaya jelas melihat Jingga.
"Ya ampun, aku pikir cucuku berkhayal mengenai mata kamu ini." Neneknya Elesh menatap takjub bola mata Jingga melalui kacamata tebalnya.
"Namaku Jingga, Nek." sapa Jingga dengan ramah.
"Yah cucuku sudah bercerita tentangmu." ucap Nenek Elesh, mengelus tangan Jingga. Gadis itu tersipu malu.
"Cantik kan, Nek?" Celetuk Elesh bertanya.
"Sangat."
"Aku akan menikahinya nanti, dan memberikan cicit yang banyak untuk Nenek."
"Kakak," Jingga merasa malu mendengar ucapan Elesh.
"Nenek setuju, “ ujar sang Nenek menimpali ucapan Elesh.
"Nenek yang terbaik." Elesh kembali mencium pipi keriput neneknya.
"Ajak makan dia," ucap perempuan tua, "Jangan sungkan anggap rumah sendiri." tambahnya pada Jingga.
"Iya nek,"
Elesh membawa Jingga ke kamarnya.
Jingga memperhatikan kamar Elesh yang tertata rapi. Selain tampan Elesh memang dikenal pria bersih. Elesh menarik kursi meja belajarnya dan meminta Jingga duduk.
"Duduk, sayang. Aku ambilkan makanan." kata Elesh.
"Aku tidak mau makan."
"Kamu tidak lapar?”
“Makan di rumah saja,”
“Ya sudah, aku ambilin buah ya.”
"Kak, es batu." gumam Jingga. Elesh mengacak poni Jingga, gadis ini sangat suka mengisap-isap es batu.
Jingga memperhatikan Violin milik Elesh dipajang dalam lemari berkaca. Violin itu sudah pasti mahal. Bukan Violin yang biasa Elesh gunakan bermain bersamanya. Ia mendekat dan membaca ada tulisan kertas di sana. Benda itu hadiah lomba yang Elesh menangkan.
Elesh membawakan pesanan Jingga. Es batu yang sudah dilepas dari cetakannya. Tak lupa buah Jeruk dan irisan buah apel juga ia bawa.
Elesh meletakkan di atas meja belajar. Menghampiri Jingga yang sedang memperhatikan Biola nya.
Tangannya melingkari pinggang Jingga. Gadis itu sedikit terkejut, lalu memutar tubuhnya menghadap Elesh.
"Kak, boleh lihat Biola itu? " Tunjuk Jingga pada benda itu. Elesh tidak melepas tatapannya pada netra kekasihnya.
"Boleh." jawab Elesh.
"Jangan melihatku begitu, kau sangat aneh." Jingga tidak nyaman melihat tatapan Elesh padanya. Ia mencoba melepas jalinan jari Elesh di belakang pinggangnya.
"Kau sangat manis." Elesh membawa Jingga duduk di tepi tempat tidur. Kemudian mengambil es batu dan memberikannya pada Jingga.
Elesh mengambil Violin yang dipajang di lemari hias.
"Ini hadiah saat aku mengikuti kompetisi. Usiaku saat itu 14 tahun. Juara satu harapan."
Elesh mulai memainkannya di hadapan Jingga. Sebuah lagu dari Dewa 19 "Selimut hati"
Neneknya mendengar dari luar kamar dan ikut menghayati lagu yang dimainkan Elesh.
.... Aku 'kan menjadi embun pagimu
Yang 'kan menyejukkan jiwamu
Dan 'kan membasuh hatimu yang layu ....
Jingga bertepuk tangan, mulutnya penuh es batu membuat Elesh tersenyum lalu mengakhiri permainannya. Meletakkan Biola di meja belajarnya, duduk bersama Jingga di tepi ranjang.
"Aku sering manggung di salah satu Cafe di Jakarta. Sembari belajar menguasai panggung." ujar Elesh menyuapkan irisan buah apel ke mulut Jingga.
"Jangan makan es aja, bodoh." Elesh menjauhkan es batu dari depan Jingga.
"Kakak anak tunggal?"
"Mmm, tanggung jawabnya berat."
"Sama, Jingga juga anak tunggal."
"Jingga," Elesh menyelipkan rambut Jingga kebelakang telinga.
"Kakak sayang kamu." Mengucapkan dengan sunguh-sunguh. Menatap hangat Jingga.
"J-jingga juga sayang kak, El." Terbata-bata.
"Setelah lulus sekolah, ayo kita menikah." Ucap Elesh.
"Apa ini lamaran?"
"Mmm,"
"Kakak, jangan konyol. Kamu pikir menikah itu mudah. Lagian bukannya kakak mau jadi pemain Biola terkenal? Raih dulu cita-citamu baru kita menikah." Jingga mencubit hidung mancung Elesh.
"Aku akan lebih mudah menggapainya saat kupastikan kau milikku, Jingga." Katanya dengan tatapan bersungguh-sungguh, membawa tangan Jingga menuju sisi wajahnya.
"Kita masih anak-anak, kak."
"Kau aja yang anak-anak, aku tidak." Elesh berengut.
Jingga terkekeh melihat raut yang tampak malas. Pacarnya itu sedang bicara serius.
"Jadi, kakak mau mengajak anak-anak ini menikah?" Goda Jingga, mencubit kedua pipi Elesh.
"Aku serius, Jingga." Jingga tampak memikirkannya dan kemudian berujar.
"Iya, kita nikah setelah aku lulus sekolah juga, kan?"
"Aku akan menunggumu, meski itu sangat lama."
"Satu tahun tidak lama, kak." Kata Jingga dibarengi kekehan ringan.
"Buat aku itu sangat lama." Elesh mencubit hidung Jingga sampai memerah.
"Kakak, berhenti. Hidungku bisa patah." Merajuk.
"Jingga, bagaimana?Mau menikah sama kakak, kan?" Tanya Elesh lagi.
Jingga menatap kekasihnya lekat, lalu mengangguk pelan.
"Terima kasih, Jingga." Telapak tangan menepuk pucuk kepala kekasihnya lembut, lalu mengambil potongan apel. Elesh mendekat memberi potongan apel ke mulut Jingga lewat mulutnya.
Jingga malu-malu, tetapi tidak menolak ia kemudian menerima dengan mulutnya. Kedua bibir mereka menyatu dengan potongan apel di mulut masing-masing.
Berciuman lama, seolah tidak ada rasa lelah. Mengundang hasrat lebih dalam. Elesh perlahan mendorong Jingga berbaring di ranjang tanpa melepas ciumannya. Tangan pria itu, menyelinap masuk kedalam seragam Jingga.
Jingga membeliak saat tangan Elesh menyentuh dadanya, bibirnya masih di lumat dalam. Jingga memalingkan wajah, melepas ciuman Elesh.
"Kak, El."Jingga menggeleng, menolak.
"Ji, aku menginginkanmu?" bisik Elesh, mencium kembali bibir tipis milik Jingga.
"Tapi kak," berusaha menolak.
"Aku mohon, Ji." Pupil membesar, hasratnya tengah bergejolak.
"Satu tahun lebih masih lama, kak." Jingga mengingatkan rencana Elesh menikahinya.
"Kumohon." Elesh menelan ludah, menatap bibir Jingga yang merah muda.
Jingga terdiam, menatap pria diatasnya. Elesh sangat mendambanya. Jingga akhirnya mengangguk, ia juga telah berselimut hasrat.
Senyum pria merekah, melumat bibir Jingga. Merasakan nikmat bibir manis semanis madu. Bermain lidah, saling bertukar air ludah hal yang kotor dianggap nikmat.
Elesh turun ke jenjang leher, menjilat disana. Memberi rasa geli, berpindah menggigit cuping telinga.
“Kak El ….” Gadis di bawah tubuhnya mendesah. Elesh merasakan punggungnya di belai mesra. Cintanya meminta cumbu lebih dalam.
“Jinggaku ….” Bisik Elesh di telinga Jingga.
Ia melucuti pakaiannya dan melempar ke lantai.
Jingga menyentuh d**a Elesh mesra, tubuhnya tidak terlalu kekar tetapi d**a kekasihnya itu sangat seksi dan menggoda.
"Kumohon." Elesh menelan ludah, menatap bibir Jingga yang merah muda.
Jingga terdiam, menatap pria diatasnya. Elesh sangat mendambanya. Jingga akhirnya mengangguk, ia juga telah berselimut hasrat.
.
.
.
.