Tinggalkan Suamimu

1228 Kata
Satu minggu setelah pertemuannya dengan Aldebaran, pria kecil itu belum juga menghubunginya. Dalam satu minggu itu pula Elesh selalu datang ke sekolahan Aldebaran, memastikan pria kecil itu baik-baik saja. Elesh mengawasi dari dalam mobilnya. Jingga dan Aldebaran selalu membuatnya merasa sedih. Seperti saat ini. Ia memperhatikan Aldebaran dan Jingga berpisah di gerbang sekolah. Seandainya dia juga disana, atau seandainya Aldebaran dan Jingga ada bersamanya. Elesh keluar dari mobilnya, mendekati Jingga yang masih berdiri menunggu angkutan umum. Jingga tersentak saat melihat kehadiran Elesh. Ia tak habis pikir pria ini begitu nekat mengikutinya. "Apa yang kau lakukan disini?" Bertanya dengan raut muram. "Dasar orang gila.” Bersungut begitu jelas, menunjukkan ketidaksukaannya pada Elesh. "Aku ingin bicara denganmu," suara dan tatapannya sangat lembut. Memohon lewat tatapannya pada Jingga. "Mengenai apa lagi?" Jingga memalingkan wajah, harinya jadi buruk saat melihat pria ini mendatanginya. "Berikan waktumu sedikit, Jingga. Sebentar saja." Elesh mengiba. Jingga tertawa, tawanya terdengar mengejek, kemudian berdecak kesal. "Aku tidak mau." ucapnya dengan nada ketus. "Sepuluh menit," "Jangan memaksaku." Mendelik. "Baiklah sampai angkutan datang," “Berhenti bicara denganku!” Ia menggeram, kemudian menghentikan angkot di depannya. Elesh mengumpat dalam hati, menyugar rambutnya kasar. Mencari cara supaya perempuan ini patuh. Ia tersenyum miring, lalu menarik kasar tangan Jingga yang sudah bersiap naik angkutan. “Apa yang kau lakukan?” Teriaknya bertanya, tubuhnya yang ringan segera diangkat Elesh seperti karung beras. Jingga menendang-nendang dan menjerit ketika ia dibawa menuju mobilnya. "Hei, hei, hei ada apa?" Beberapa orang yang melihat menghampiri mencoba menolong Jingga. "Maaf, dia istriku. Kami sedang bertengkar dan dia tidak ingin pulang bersama." ucap Elesh saat beberapa orang melihat kejadian itu. Jingga tak dapat protes, terlalu malu hingga pasrah. ia bahkan tidak tahu seperti apa posisinya. Kepalanya berada di bawah tepat menyentuh pinggang pria itu sementara perutnya berada diatas pundak Elesh. "Kalau ada masalah, selesaikan dengan baik Nyonya. Jangan buat orang salah paham." Salah satu dari mereka berujar, lalu membubarkan diri. "Maaf, ini salahku." Gumam Elesh. Menunggu mereka bubar, kemudian ia membuka pintu mobil dan mendudukan Jingga di bangku depan. "Dasar sialan!" Elesh menahan senyum, tidak peduli meski Jingga memakinya. Salah siapa jika ia bertindak nekat. Dia sudah meminta baik-baik bahkan mengiba. Perempuan ini terlalu sombong. Elesh menutup pintu mobil tak ingin mengambil resiko, jika perempuan ini melarikan diri. "Cih, meskipun kau satu-satunya adam di dunia ini. Aku nggak sudi jadi istrimu.” Bergumam dengan raut suramnya, melihat Elesh mengitari mobil menuju bangku kemudi. "Maaf Jingga aku terpaksa mengatakan itu. Kau sangat keras kepala tapi, sangat menggemaskan." Elesh terkekeh, mengundang senyum sinis di wajah Jingga. Astaga dia tertawa, dasar pria sialan. Ia membatin, menatap Elesh dengan tatapan mencemooh. "Ketawa lagi mulutmu. Kau sadar mengatakan itu?" Tanya Jingga dengan nada ketus “Kenapa selalu emosi, Jingga?” Elesh menghidupkan mesin mobilnya lalu mengemudikannya tanpa tujuan. "Katakan apa yang ingin kau katakan." Tak ingin basa-basi, ia menuntut apa maksud pria ini sampai menculiknya ke dalam mobil. "Kita cari tempat yang nyaman untuk bicara, Ji." "Aku tidak butuh tempat nyaman untuk bicara denganmu, Elesh." Melipat lengan di d**a, dagunya terangkat tinggi menunjukkan sikap pongah di wajahnya. Elesh melihat Jingga dan mengingat wajah Aldebaran saat ia menemuinya di sekolah. Ia tersenyum kecil, paham dari siapa wajah pongah itu di turunkan. Elesh mengemudikan mobilnya ke suatu tempat. Di depan ruko kosong yang masih tahap pembangunan. Ia mendesah panjang, melihat Jingga yang masih menunjukkan wajah buruk padanya, lalu mengutarakan apa isi hatinya. "Aku ingin kau meninggalkan pria itu." “Apa?” Jingga menyelipkan rambut ke belakang telinganya, ia ingin mendengar jelas apa yang diminta pria ini padanya. “Tinggalkan suamimu.” Jingga tergelak, menertawakan permintaan Elesh hingga bahunya bergetar. “Apa maksudmu? Kau ingin aku meninggalkan suamiku?” Tanya Jingga dan kembali terbahak. “Aku dengar kau punya rencana meninggalkannya dan ingin bekerja di rumah.” ujar Elesh. “Oh yah? Lalu apa hubungannya denganmu? Dengar sialan! Keluargaku bukan ranah mu jadi jangan coba-coba ikut campur.” “Aldebaran putraku, jika kau tidak mau berpisah dengannya. Aku akan mengambilnya.” Jingga mengepal tangan diatas pahanya, ia menatap Elesh dengan tatapan nyalang. Tunggu! Pria ini mengancamnya bukan? Jingga merunduk, mencerna baik ucapan Elesh dalam pikirannya. Ia kemudian mengangkat wajahnya, melihat ke arah Elesh. “Coba saja, Elesh.” ucapnya dengan nada datar. “Kau yakin? Aku akan mengambilnya, Jingga. Putraku tidak boleh tinggal bersama pria pemabuk dan tukang pukul. Dia bisa hancur, pikirkan itu baik,-baik. " Elesh berucap dengan santai namun terdengar tegas. Jingga terkikik mendengar perkataan Elesh. Ia melihat pria itu dengan biji matanya yang indah, berwarna hijau. "Mungkin kau pernah mendengar pepatah ini Elesh. Gajah dipelupuk mata tak tampak, tapi kuman diseberang lautan tampak." ujar Jingga, "Kau menilai keburukan suamiku tapi lupa dengan keburukanmu sendiri." Ia menekan satu persatu kata -kata yang ia lontarkan dari mulutnya. Elesh tercengang mendengarnya, tidak menyangka Jingga akan sekeras ini padanya. Menyindirnya dengan kata-kata yang tepat. "Apapun yang kau katakan aku tidak peduli Jingga, putraku harus bersamaku." "Katakan sekali lagi!" "Alde—" Plak! Jingga melempar tas kecil miliknya tepat ke wajah Elesh. Telinganya sakit mendengar pria itu berbicara mengenai anaknya. "Aku hanya ingin melindungi putraku." ucap Elesh, mengabaikan rasa sakit di wajahnya. "Ingin melindungi? Benarkah? Kau lupa pernah menolaknya." "Semua orang pernah melakukan kesalahan dan semua orang juga punya kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu, Jingga." Kata Elesh. "Kecuali kamu. " Jingga menarik bibir tipisnya untuk tersenyum. "Di dunia ini selalu ada pengecualian, Elesh. Aku tidak berniat memberimu kesempatan itu." katanya dengan nada tegas. "Kalau begitu kita bertemu di pengadilan." Mendengar kata pengadilan membuat Jingga membelalak. Artinya ia harus bersinggungan dengan hukum. Elesh berniat mengambil Aldebaran dari tangan Jingga. Sebenarnya dia juga tidak yakin dengan ucapannya tetapi, Jingga selalu saja punya cara membantahnya. Jingga terdiam, Elesh memiliki segalanya. Dari kebutuhan primer hingga tersier. Dibanding dirinya dan Amos tentu saja Elesh jauh di atas langit. Lalu bagaimana kalau pria ini menyombongkan uangnya untuk merebut putranya? Jingga gemetar membayangkan itu. Hukum selalu tajam ke bawah kan? “Apa yang kau inginkan? Kau mau apa, Elesh? Aku sudah memohon padamu dulu, kenapa saat itu kau tidak mau menolongku. Kenapa sekarang kau berniat mengambilnya? Kau sudah tahu dia putramu apa itu tidak cukup?” Air matanya tiba-tiba saja berderai membanjiri pipi, suaranya terdengar getir. Banyak pertanyaan terlontar dari mulutnya. "Tinggalkan suamimu, itu syarat supaya Aldebaran tetap bersamamu." Gadis bertubuh kurus kesal, ia menarik kuat kerah kemeja Elesh hingga kancing kemejanya terlepas. “Kau tidak boleh melakukan itu, Elesh. Berhenti mengganggu kami.” Pintanya, bibirnya bergetar menahan tangisnya. "Maaf Jingga, ini satu-satunya cara supaya kau berpisah darinya." Ia membatin, merunduk melihat kancing kemejanya yang terlepas. "Aku tidak mengizinkanmu mengambilnya dariku. Dia napasku. Aku bertahan hidup untuknya. Aku mohon jangan egois." ujar Jingga dengan lelehan air mata semakin membanjiri pipi kecilnya. Pria di sampingnya tak tahan melihat air mata Jingga. Ia ingin menyentuh pipi basah air mata tapi tak punya keberanian melakukan itu . “Jingga pria itu menyakitimu, kenapa bertahan dengannya." "Dia ayah putraku." ujar Jingga, menyeka air mata yang terus saja mengalir di pipinya. "Seorang b******n meninggalkan aku dalam keadaan hamil. Aku tidak tahu harus bagaimana. Melahirkan tanpa suami bukan perkara besar bagiku. Tapi, bagaimana dengan nasib putraku? Jika orang tahu dia anak haram maka hidupnya akan tercela selamanya. Dia akan hancur dan aku tidak bisa melihat itu terjadi." Ia menarik napas panjang, lalu menggigit bibirnya menahan tangis. Dadanya terasa sesak saat mengingat bagaimana ia diperlakukan Amos begitu tahu Jingga membawa benih di dalam rahimnya. Ditampar dan dipukul menjadi sebuah kebiasaan. Tetapi, Pria tambun itu tidak berniat melepasnya. Menahan Jingga di sisinya adalah sebuah hukuman atas kesalahan Jingga. . . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN