Sebagai seorang resepsionis hotel, Aanisah dituntut harus selalu bisa menampilkan wajah ceria setiap hari. Lagi bad mood atau bad hair day? Haram itu! Kalau ada masalah pribadi harus disimpan rapat-rapat dalam hati, jangan sampai memengaruhi mimik wajah dan intonasi suara. Tidak ada bedanya seperti pemain film, harus pintar akting! Seperti yang terjadi sekarang ini, meski dia sedang mengalami yang nama heart break, broken heart atau apalah namanya itu yang sama artinya dengan patah hati, ketika bekerja Aanisah harus meletakkan masalah hatinya sementara di rumah.
Di hotel, Aanisah harus mengangkat kepala dan dagu dengan tinggi, tetap menjadi pribadi yang ceria, ramah, murah senyum, penuh semangat, dan yang terpenting berias diri dengan sempurna. Teman-teman kerjanya bahkan tidak ada yang tahu pada apa yang dirasakan oleh hati Aanisah saat ini. Semua kesedihan hatinya tertutup sempurna melalui senyum dan tawa pura-pura terbaik darinya.
Namun ketika sudah keluar dari hotel, rasa sakit itu kembali ia rasakan. Bahkan dia bisa menangis sepanjang malam jika mengingat cara Gama mengempaskannya. Beban Aanisah lebih berat karena ia harus berpura-pura tegar dan bersikap angkuh untuk menunjukkan bahwa dialah yang memutuskan Gama.
Mestinya dia ngomong alasan memutuskan aku apa? Moga aja aku nggak mati karena penasaran.
Terlepas masalah hati, sebenarnya Aanisah sangat enjoy dengan pekerjaannya. Semenjak menjadi resepsionis dua tahun belakangan ini, dia belajar banyak hal dan bertemu banyak orang dengan berbagai karakter. Ada tamu hotel yang baik dan ramah, tapi tidak jarang juga Aanisah menemui tamu hotel yang ketus, judes dan sombong.
Namun meski dia begitu menyukai pekerjaan menjadi resepsionis, ada satu hal yang paling tidak ia harapkan dalam pekerjaannya, adalah saat kebagian shift malam. Di mana ia wajib terjaga sepanjang malam, sedangkan di pagi sampai siang hari kedua matanya susah sekali diajak kompromi untuk terlelap. Belum lagi dia harus mengerjakan nightauditing. Pekerjaan rasanya berkali-kali lipat saat dikerjakan dalam keadaan mengantuk berat.
Rupanya dewi fortuna sedang tidak berpihak pada Aanisah malam ini. Dia lupa kalau hari ini adalah jatahnya shift malam, tapi seharian ini bukannya istirahat malah sibuk hangout tak berfaedah dengan sahabatnya. Alhasil, baru pukul sembilan malam, mulut Aanisah tidak berhenti menguap. Americano dua cangkir masih belum cukup untuk mengusir rasa kantuknya.
Tepat pukul sebelas malam, Aanisah sudah tidak sanggup lagi menahan rasa kantuknya. "Reta, aku *kesirep bentar yo. Kalau ada tamu bangunin aja," ujar Aanisah pada rekan shift malamnya. (Tertidur sebentar)
Aanisah lalu duduk bersendekap sambil menyandarkan punggungnya di kursi. Bodohnya, Aanisah tidak menempelkan sandaran kursinya ke tembok atau lemari yang kuat untuk menopang bobot tubuhnya. Dia lupa kalau dirinya bukan keturunan Bruice Lee yang cepat tanggap ketika akan terjatuh.
Benar saja, kesialan menimpa gadis malang itu. Baru lima menit tertidur, tiba-tiba dia jatuh terjengkang ke belakang dan tubuhnya ikut terbalik hingga dua kali. Akibat keteledorannya sendiri itu, lengan kiri Aanisah mengalami patang tulang dan harus dipasangi gips untuk mengembalikan posisi tulang yang bergeser dari tempat asalnya.
Ibunya tak henti-hentinya mengomeli kecerobohan Aanisah yang memang levelnya sudah tingkat dewa. Ibunya hanya bisa menerima dengan lapang d**a segala kecerobohan yang sudah mendarah daging pada diri anak perempuan satu-satunya itu.
"Diambil hikmahnya aja bu. Dengan begini aku dapat cuti yang jadi hal mewah bagi karyawan seperti Nisa," jawabnya enteng, saat membahas bagaimana Aanisah bisa bekerja dengan satu tangan. Punya dua tangan saja pekerjaan di rumah tidak ada yang beres kalau dikerjakan oleh Aanisah, apalagi dengan satu tangan.
"Kalau cuti dalam keadaan sehat kan enak kamu bisa bantu ibu cuci piring dan ngipas sate di warung. Nah ini? Sehat aja kamu malasnya selangit. Sakit lagi. Awas aja kalau kamu ngelunjak ya!" Ancam ibunya meluapkan kekesalan pada Aanisah yang selalu membuat kekacauan setelah beranjak dewasa. Padahal dulu dia tergolong anak yang imut, manis, pendiam dan tidak suka membuat masalah.
Orang tua Aanisah memiliki sebuah depot makan yang mengajikan menu utama sate Madura. Karena kebetulan Ayahnya berasal dari pulau garam, Madura. Ayah Aanisah sendiri hanya bisa menjadi peredam emosi istrinya saat berdebat dengan anak semata wayangnya, tanpa bisa membela siapa pun.
"Kamu jangan keluar kamar apalagi keluar rumah. Ibu nggak mau kamu ditanyain macam-macam sama tetangga kita yang keponya selangit. Kalau kamu ditanya kenapa, bilang aja kecelakaan kecil nggak perlu dibahas dengan rinci."
Bukan Aanisah orangnya kalau menuruti omongan ibunya begitu saja. Baru setengah jam dinasehati seperti itu dia sudah melarikan diri dari kamar, saat ibunya sedang ke pasar.
Satu setengah jam kemudian.
Sepulang dari mini market yang letaknya di ujung jalan, Aanisah melintasi sebuah gerobak sayur yang biasa keliling perumahan tempat tinggal Aanisah dan orang tuanya.
"Loh dek Nisa tangannya kenapa? Kok sampai digips gitu?"
"Jatuh dari kursi gara-gara ketiduran pas kerja, bu Dayu. Aku salto ke belakang sampai dua kali kayak di film-film kungfu gitu," jawab Aanisah lalu menertawakan dirinya sendiri. Orang-orang yang sedang berbelanja di tukang sayur keliling sampai ikutan menertawakan kebodohan yang dilakukan oleh Aanisah.
Tiba-tiba dari belakang Ayu menyambar pangkal lengan Aanisah dan menyeret putrinya itu menjauh dari gerobak sayur tempat belanja sekaligus bergibah ibu-ibu sekompleks.
"Kamu dengerin nggak kalau ibu ngomong? Dari mana kamu? Udah dibilang jangan keluar. Itu lagi..., ngapain kamu jelasin sedetail itu, Nis? Emangnya kamu nggak malu ya kalau ketahuan tidur di tempat kerja?"
"Nisa ke mini market beli pembalut, bu. Lagian ketiduran di tempat kerja itu hal wajar kok. Banyak malah yang lebih parah dari Nisa."
"Kamu itu ya kalau dibilangin!" Sebuah jeweran mampir di telinga Aanisah untuk jawaban asal yang ia lontarkan pada sang ibu.
Aanisah tidak menggubris omelan panjang ibunya, memilih kembali ke kamar, memikirkan bagaimana caranya bisa keluar rumah dengan cara baik-baik.
○○○
Sampai detik ini semenjak ditinggal oleh kekasihnya tepat di hari pertunangan, Desta yang kalem, humoris dan tidak pernah membuat masalah berubah menjadi laki-laki yang dingin, tertutup, dan pendiam. Terkadang dia bisa menjadi pria tak berperasaan. Desta bisa tersenyum dan tertawa hanya ketika melihat tingkah pola kedua keponakannya yang lucu-lucu. Selain daripada itu, tidak ada yang mampu lagi membuatnya bisa tersenyum lepas seperti ketika bersama Rinjani.
Sore ini, kekasih salah satu teman klub motornya mengajak Desta ketemuan di sebuah kafe. Alasannya untuk membahas acara klub motor yang akan mengirimkan bantuan dan tim sukarelawan untuk membantu para korban asap akibat kebakaran hutan dan lahan di daerah Kalimantan dan sekitarnya.
"Zhafran mana, Ki?" tanya Desta pertama kali saat datang ke kafe tempatnya janjian dengan temannya.
"Masih belum pulang kerja."
"Jam berapa ini? Biasanya jam empat dia udah beredar?"
"Tau deh. Nggak usah ngomongin Zhafran. Ada hal penting lain yang mau aku obrolin sama mas Desta."
"Soal acara amal?"
"Bukan mas. Aku mau cerita soal temen SMA-ku yang antik. Dia itu sangat menyukai laut. Kalau sedang sedih suka berendam di laut. Tapi dia menunggu saat matahari terbenam dulu untuk berendam di laut. Katanya air laut yang hangat akibat sinar matahari sedang mencelupkan diri ke dasar laut bisa menenangkan hati dan jiwanya."
Tiba-tiba memori ingatan Desta berputar pada kejadian beberapa minggu yang lalu, saat dia melihat seorang gadis berjalan ke tengah laut, yang dia kira akan bunuh diri lalu Desta menyeretnya ke tepi pantai. Bukannya berterima kasih, gadis itu malah memakinya habis-habisan.
"Nah dia itu biasanya jalan pelan gitu mas ke tengah laut. Biasanya sambil merentangkan tangan. Dia bilang ingin memeluk laut seperti memeluk ibunya sendiri. Air laut yang hangat, ombak yang menggoyang tubuhnya dan langit senja adalah relaksasi paling tepat untuk menyembuhkan patah hati."
"Kok aneh gitu?"
"Bukan aneh, tapi antik. Satu bulan yang lalu dia memutuskan pacarnya. Padahal aku tahu kalau dia itu sayang banget sama pacarnya. Nggak ada yang percaya kalau Aanisah sampai hati memutuskan pacar yang sangat dia cintai itu."
"Aanisah?"
"Iya, temanku yang antik itu namanya Aanisah. Kalau ada yang melihat kelakuan dia di laut seperti itu, semua orang pasti mengira Aanisah sedang melakukan percobaan bunuh diri. Dia pernah cerita katanya ada laki-laki aneh yang pernah menyeretnya ke pantai dan mengira kalau Aanisah sedang mencoba bunuh diri."
Ketika sedang menertawakan kelakuan temannya, ponsel Eki yang berada di atas meja berdering. "Sepertinya dia tahu kalau sedang diomongin," ujar Eki dengan nada bicara bercanda.
"Ya, Nis? Aku udah di kafe. Kamu langsung ke sini aja," ucap Eki kemudian mengakhiri percakapannya di telepon.
Desta yang memahami tujuan sebenarnya Eki mengajaknya ketemuan, akhirnya beranjak dari kursinya dan meninggalkan meja detik itu juga. Eki berusaha menahan Desta, tapi langkah Desta tak mampu dihentikan. Akhirnya Eki mengikuti langkah Desta yang setengah berlari itu.
"Mas Desta mau ke mana?"
Desta hanya menoleh, menggeleng cepat kemudian melanjutkan langkahnya lagi. Eki terus mengejar Desta sampai ke parkiran. Namun Desta tidak bisa ditahan lagi, mobilnya telah melaju melewati gadis itu.
Di gerbang kafe terdengar suara decit ban mobil dan seseorang sedang memekik. Eki yang familier dengan suara teriakan itu bergegas menuju ke asal suara.
Seperti tidak sedang terjadi apa-apa, gadis yang terserempet oleh mobil milik Desta itu beranjak dengan kepala tertunduk dan melangkah mendekati Desta yang baru saja keluar dari mobil dalam keadaan syok berat. Saat kepalanya terangkat dan rambutnya yang terurai disingkap dengan tangan kanannya yang tidak digips, Desta terkejut melihat wajah perempuan di hadapannya ini. Terlebih lagi melihat darah yang keluar dari pelipis kanan perempuan yang terserempet oleh mobilnya.
"Nisa? Kamu nggak apa-apa?" Eki berlarian mendekati gadis tersebut yang tidak lain adalah Aanisah, sahabatnya yang akan dikenalkan pada Desta.
"Astaga, Nisa! Kepalamu berdarah, loh," pekik Eki lalu mengusap aliran darah di pelipis Aanisah dengan tisu.
Aanisah menerima tisu dari tangan Eki lalu menoleh pada laki-laki yang membuatnya terluka. Kedua bola matanya terbelalak saat menatap wajah laki-laki yang tidak terlalu asing baginya.
"Oya, Nis. Disapa dong. Ini mas Desta. Pemilik toko taxtile yang ramai itu loh," ujar Eki setelah menepuk pundak Aanisah.
Aanisah bergeming. Tatapannya masih belum bergerak sesenti pun dari wajah laki-laki di hadapannya. Dia sedang mengingat pernah bertemu di mana dengan laki-laki di hadapannya ini.
"Dia teman yang aku ceritakan barusan, mas. Aanisah," ujar Eki pada Desta yang juga sedang menatap bengong pada Aanisah.
"Sudah cerita apa aja kamu soal aku pada laki-laki ini, Ki?" tanya Aanisah dengan tatapan tidak suka, sambil menekan pelipisnya dengan tisu, mencegah supaya darah tidak terus mengalir.
Eki tidak menjawab pertanyaan Aanisah. Membuat gadis itu sebal lalu balik bertanya pada Desta. "Temanku sudah cerita apa aja sama kamu?"
Bukannya meminta maaf dan menjawab pertanyaan Aanisah, Desta malah pergi begitu saja meninggalkan dua gadis yang menatap aneh dan penasaran pada sikap Desta.
Dari kafe, Desta melajukan mobilnya ke sembarang arah. Berputar-putar sebentar kemudian laju mobilnya berakhir di pantai. Dia mencoba merenungi takdir apa yang membawanya harus bertemu kembali dengan gadis aneh yang pernah memakinya di pantai sebulan lalu.
Bagaimana juga dia bisa dipertemukan dengan gadis asing yang memiliki suara dan kesukaan hampir sama dengan gadis yang pernah meninggalkannya sebelas bulan yang lalu. Suara Aanisah begitu mirip dengan Rinjani. Waktu di pantai Desta tidak terlalu mengenali suara Aanisah, karena deburan ombak dan angin laut yang begitu kencang sore itu. Selain suaranya yang hampir mirip, alasan Aanisah menyukai laut juga sama seperti alasan Rinjani menyukai laut, termasuk ombak, dan matahari terbenamnya.
"Kalau mas Desta sedang sedih coba berendam di laut saat matahari terbenam. Sebentar aja, dan rasakan deh sensasinya."
Penggalan obrolan-obrolan dengan mantan kekasihnya dulu, kembali berputar di kepala Desta saat pandangannya tak putus menatap laut yang sedang menyambut kedatangan matahari, senja itu.
"Sudah cerita apa aja kamu soal aku pada laki-laki ini, Ki?"
"Temanku sudah cerita apa aja sama kamu?"
Namun kenangan obrolan dengan Rinjani tiba-tiba berganti dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Aanisah beberapa saat yang lalu. Desta menutup kedua telinganya. Berusaha membuang suara-suara yang sedang berdenging di telinganya.
---
^vee^