Desta mengabarkan pada Akbar bahwa Aanisah ngekos di kamar belakang yang dulunya dijadikan gudang untuk menyimpan gulungan kain oleh Ayah Desta. Semenjak toko taxtilenya beralih ke tangan Desta, semua stok yang tersimpan di gudang tersebut dipindah ke toko besar yang dibeli oleh Desta atas namanya melalui kredit lunak dari bank. Sejak itu pula kamar gudang akhirnya kosong dan beralih menjadi gudang serba guna untuk menyimpan barang apa saja yang tidak berguna untuk sehari-hari tapi berguna di waktu-waktu tertentu.
"Kamu nggak lagi bercanda kan, Des?" Akbar mencoba meyakinkan dirinya kalau apa yang disampaikan Desta tadi adalah benar.
Desta menarik napas, menatap malas pada Akbar. "Menurutmu hal kayak gitu pantes dijadikan bahan bercandaan?"
"Kok bisa loh ibumu malah nyewakan kamar ke perempuan aneh itu? Astaga, nggak abis pikir aku."
"Ibu juga nggak tahu apa-apa soal dia, Bar."
"Yakin ibumu nggak tahu apa-apa? Katanya pegang ktp perempuan itu?"
Desta terdiam. Berpikir sejenak. Dia memang belum membahas soal itu dengan ibunya. Bukan karena belum ada kesempatan, tapi cari momen yang pas karena hal yang akan Desta bahas dengan ibunya nanti pasti akan ada sangkut pautnya dengan luka yang dirasakan oleh semua orang. Karena nyatanya bukan hanya Desta saja yang terluka, ibunya turut menjadi korban.
"Udah berapa lama dia tinggal di kamar itu?" tanya Akbar lagi, karena tidak ada jawaban dari Desta.
"Udah tiga hari ini. Tapi udah tiga hari ini juga dia nggak kelihatan ada di rumah."
Akbar mendecakkan lidahnya sampai geleng-geleng kepala karena heran. Dia tidak habis pikir takdir apa yang sedang menimpa sahabat dari masa remajanya itu.
"Masa itu yang dinamakan proses bertemu dengan jodoh, Des. Hidupmu kebanyakan bercanda sih, makanya dibecandain sama Tuhan tuh."
"Ojok ngawur kamu, Bar! Ya nggak gitu lah. Aku mau ngungsi ke tempatnya mbakku aja sampai perempuan itu menemukan tempat tinggal baru."
Akbar terbahak mendengar jawaban Desta. "Kamu lupa kalau mbakmu itu sudah berkeluarga? Emang kamu nggak malu sama suami mbakmu, kalau ketahuan kabur dari rumah cuma gara-gara perempuan? Kalau mbakmu sampai tahu, aku yakin kamu akan dibully sepanjang masa sama mbakmu itu."
"Ngapain malu? Suami mbakku ya Om ku sendiri ini. Mereka tinggalnya di rumah eyangku juga. Urusan dibully itu urusan belakangan. Lagian nih, Bar, kalau aku nggak cepet-cepet ngungsi, bakalan sering ketemu sama dia. Nggak bisa aku, hidup kayak begini."
Belum sempat Akbar menyampaikan solusi konyol lain yang mampu memancing kemarahan Desta, terdengar suara pintu gerbang dibuka. Kedua laki-laki itu berbarengan melongok ke jendela untuk melihat siapa yang baru pulang di pukul setengah sebelas malam.
○○○
Susah payah Aanisah menggeser pintu gerbang rumah tempat dia ngekos tiga hari yang lalu. Pintu gerbang yang berat dan tinggi menjulang ini benar-benar menyiksa dirinya yang tengah berada dalam kondisi lemas, lapar dan mengantuk berat.
Setelah menggembok kembali pintu gerbang tersebut, Aanisah melangkah sambil setengah menyeret kakinya. Dia malas-malasan membawa tubuhnya yang begitu penat dan lelah karena dua hari ini terpaksa masuk full untuk menggantikan salah satu rekannya yang tidak masuk kerja karena kecelakaan.
Rasa-rasanya Aanisah mulai bosan menjalani hidupnya yang terasa monoton. Meski dia mencintai pekerjaannya sepenuh hati, tapi rasa bernama jenuh itu mulai menghampiri hari-harinya. Belum lagi kesepian sedang mendera kehidupannya yang dipaksa terbiasa menjalani hari-hari tanpa Gama. Namun demi profesionalisme dan masih mengharapkan gaji tiap bulannya, Aanisah menjalani pekerjaannya dengan penuh keihklasan meski harus tersiksa seperti sekarang ini.
"Kapan aku mau berinteraksi sama masyarakat kalau kerja keras bagai kuda begini?" gerutu Aanisah saat membuka kunci pintu belakang, satu-satunya akses masuk yang bisa mengantarnya langsung menuju kamarnya tanpa masuk rumah induk.
Sebenarnya Aanisah sudah sangat merindukan bantal, guling dan kasurnya yang dingin dan empuk. Namun sayang, perutnya menuntut ingin diperhatikan melebihi matanya. Akhirnya Aanisah memutuskan membuat mie instant untuk memuaskan rasa laparnya sebelum beranjak ke peraduan. Semata demi mendapatkan tidur yang nyenyak sampai besok siang. Aanisah sudah punya rencana indah esok hari. Dia ingin tidur sampai siang, kalau perlu sampai sore karena besok adalah hari liburnya.
Emangnya bisa cepat dapat pacar baru kalau interaksinya terbatas gini? Aku merasa seperti dikekang oleh pekerjaan.
Aanisah mendesah lesu setelah menggumam perihal nasib urusan asmaranya. Dia melangkah malas menuju dapur setelah mengganti uniformnya dengan piyama lengan pendek motif tokoh kartun pororo.
Suara pematik kompor gas yang dinyalakan oleh Aanisah terdengar menggema di dapur yang cukup besar. Dia memasak air untuk merebus mie nya. Matanya sesekali terpejam sambil menunggu air di panci mendidih.
"Kamu nggak pulang beberapa hari ini apa ada hubungannya dengan saya?" Suara seseorang yang tiba-tiba membuat Aanisah cukup terkejut. Namun dia tidak sampai bertingkah konyol atau menyebut kata-kata kotor seperti orang latah.
"Nggak lah. Baper amat kamu," jawab Aanisah ketus. Dia cuek saja mengaduk mie instant di mangkuk dengan garpu dan sendok. Kemudian meletakkan mangkok berisi mie instant tersebut di atas lantai. Aanisah mengambil toples kerupuk sebagai alas mangkuk sekaligus pengganti meja makan untuknya. Dengan salah satu kaki ditekuk Aanisah mulai menikmati mie instant pedasnya.
"Trus kenapa kamu nggak pulang?" Desta berdiri menyandarkan pinggangnya di pinggiran kitchen island, sambil menatap ke bawah, melihat Aanisah yang sedang menyantap mie instantnya.
"Apa peduli kamu? Bukannya seharusnya kamu seneng ya kalau nggak melihat aku seliweran di rumah ini? Atau sekarang kamu mulai merasa tertarik padaku sampai bingung nggak melihat wajahku tiga hari saja?" tanya Aanisah acuh tanpa menatap wajah Desta.
Desta menarik napas. Dia mencoba sabar menghadapi Aanisah. Dia tidak ingin merusak moodnya hanya gara-gara menghadapi seorang perempuan yang lebih muda darinya itu.
Sabar Des! Jangan terlalu dimasukin ke hati omongan bocah menyebalkan ini.
"Untuk sementara saya akan pindah dari rumah ini sampai kamu menemukan tempat kos baru," ujar Desta dingin.
Aanisah meletakkan sendok dan garpu dengan kasar hingga menimbulkan bunyi dentingan cukup keras saat sendok dan garpu saling beradu dengan mangkuk beling.
"Bisa nggak sih kamu biarin aku makan dengan tenang? Aku itu capek, ngantuk tapi lapar. Kalau mau ngomong tunggu aku selesai makan!" tukas Aanisah dengan tegas kemudian melanjutkan acara makannya.
"Maaf," kata Desta lagi.
Hasrat Aanisah untuk menghabiskan mie instantnya musnah saat Desta mengucap satu kata sakti itu dengan tegas. Aanisah berdiri dan meletakkan mangkuk di dalam bak cuci piring. Membuang sisa mie instantnya ke tong sampah kemudian mencuci bersih piring dan perabotan kotor lainnya yang ia gunakan untuk memasak mie.
"Mau kamu apa? Kamu masih tetap menganggap kalau aku ngejar-ngerjar kamu?" tanya Aanisah sinis.
"Bukan seperti itu maksud saya."
"Tapi kelihatan banget di mata kamu kalau anggapanmu seperti itu."
"Demi Allah! Saya sama sekali nggak punya pikiran kamu mengejar saya."
"Aku juga bersumpah, saat memutuskan ngekos di sini aku bener-bener nggak tahu kalau rumah ini rumah kamu."
"Iya, iya. Saya percaya kalau kamu nggak tahu dan ini murni suatu kebetulan. Tapi-"
"Tapi kenapa?"
Wajah Desta terlihat sedikit resah. Dia bingung mau menjawab apa. Dia tidak mungkin menyampaikan alasan sesungguhnya tidak bisa hidup berdampingan dengan Aanisah. Bisa-bisa gadis itu akan semakin marah, dan lebih parahnya lagi akan menganggap kalau Desta tipekal laki-laki gagal move on dari mantan pacarnya.
"Pokoknya nggak bisa."
"Aku ataupun kamu nggak boleh ada yang keluar dari rumah ini sebelum kamu memberi tahukan padaku alasannya."
"Tapi ini rumah saya!"
"Ini rumah orang tuamu! Jadi yang berhak mengusirku cuma ibu atau bapakmu," ujar Aanisah tegas kemudian putar badan dan masuk ke kamarnya. Meninggalkan Desta yang tercengang di tempatnya berdiri gara-gara ucapan Aanisah yang tak bisa dikompromi lagi.
Lagi-lagi pertengkaran. Desta menarik napas, mengikuti jejak Aanisah meninggalkan dapur. Dia kembali ke kamarnya. Akbar sudah menunggu dengan tidak sabaran ingin tahu bagaimana reaksi Aanisah saat mengetahui rencana Desta yang ingin meninggalkan rumah ini untuk sementara waktu.
"Gimana? Rinjani yang asing tetap menolak disuruh pindah?"
"Bar! Udah aku bilang berapa kali, dia punya nama. Jangan sebut dia dengan nama seperti itu!" hardik Desta, tidak suka dengan sebutan dari Akbar yang ditujukan untuk Aanisah. Benar-benar tidak suka Akbar menyebut Aanisah dengan nama seperti itu, tapi bukan karena ada nama Rinjani dalam sebutan tersebut.
"Oke, oke. Maaf. Jadi gimana?"
"Aku nggak punya hak ngusir dia. Lagian ini juga bukan rumahku tapi rumah orang tuaku. Aku memutuskan tetap tinggal di sini tapi berusaha menjaga jarak dengan dia."
"Ini gila namanya, Des!"
"Aku nggak gila. Ini keputusanku. Dia sibuk kerja, aku juga. Paling ketemunya hanya sesekali. Bahkan bisa jadi nggak bakal ketemu meski kita serumah, kalau aku pinter mengatur waktu dan menghindari dia."
"Tapi mau sampai kapan kamu bisa bertahan kayak gitu, Des?"
"Sampai dia memutuskan untuk pindah dari rumah ini."
"Kalau nggak mau pindah?"
"Aku akan bikin dia secepatnya angkat kaki dari rumah ini"
"Kalau kamu naksir dia trus jatuh cinta sama perempuan itu gimana?"
"Kamu pulang sana, aku mau tidur," ujar Desta tak menjawab pertanyaan sahabatnya itu.
Desta beranjak ke peraduannya, meninggalkan Akbar yang masih bengong memikirkan jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan sebelum Desta menjawab dengan mengusirnya.
○○○
Satu minggu setelah percakapan sengit di dapur malam itu, baik Desta maupun Aanisah sudah tidak ada yang pernah membahas soal pindah dan pengusiran secara paksa lagi. Aanisah bisa bekerja dengan tenang, begitu pun Desta. Karena kesibukan masing-masing dan kelihaian Desta menghindari Aanisah, akhirnya hingga seminggu ini keduanya masih belum pernah terlibat obrolan sama sekali, bertatap muka pun benar-benar secara tidak sengaja. Kebanyakan Desta yang berusaha keras menghindari Aanisah. Sedangkan Aanisah, dia hidup bahagia dengan sifat cuek dan masabodonya.
Hari ini jadwal Aanisah adalah shift pagi. Pukul setengah tujuh pagi, Aanisah sudah keluar dari kamar kosnya. Setelah mengunci kamar, dia bertemu dengan ibu kosnya yang sedang memasak di dapur. Aanisah ingin mengobrol sebentar, tapi telepon dari teman kerjanya, membuat Aanisah mengurungkan niat baik tersebut. Jadi Aanisah hanya menegur sapa sekadar basa basi pada ibu kosnya itu.
Sekitar pukul setengah dua belas siang, Aanisah kedatangan tamu hotel yang membuat semua mata tertuju pada tamu tersebut. Dari mulai masuk melalui pintu utama hotel hingga berdiri di depan meja resepsionis, tamu perempuan berambut sepinggang berwarna agak kecoklatan itu menjadi layaknya sumber mata air di tengah gurun pasir siang begini bagi para laki-laki yang berada di lobi kotel.
"Selamat siang, saya Aanisah akan membantu mencarikan kamar yang tepat sesuai keinginan dan kebutuhan anda," sapa Aanisah dengan ramah setelah berdiri dari kursinya.
"Suite roomnya ada yang kosong, mbak?" tanya tamu tersebut sopan.
"Sebentar saya cek dulu ya," jawab Aanisah lalu memeriksa keberadaan kamar yang diinginkan oleh pengunjung tersebut melalui komputernya.
Beberapa menit menunggu Aanisah berdiri kembali dan menyampaikan bahwa ada kamar kosong untuk tipe kamar yang diinginkan perempuan tersebut.
"Untuk berapa malam ibu?" tanya Aanisah sopan.
"Sementara tiga malam."
"Boleh saya pinjam KTP nya?"
Tamu tersebut memberikan KTPnya pada Aanisah. Saat membaca keterangan yang ada pada KTP tersebut, Aanisah menatap lurus pada tamunya itu.
"Rinjani Wulan Hamdani?" Aanisah mengeja nama yang tertera pada KTP tadi. Tamu Aanisah itu tersenyum seraya mengangguk kecil.
"Namanya sama," gumam Aanisah sambil melanjutkan pekerjaannya memproses pemesanan kamar.
"Nama siapa?" tanya tamu itu.
"Nama ibu hampir sama dengan nama saya," jawab Aanisah diiringi senyum lebar. Sedangkan tamu tersebut hanya balas dengan senyum tipis.
Setelah memasukkan data KTP pada database pengunjung dan pemesan kamar, Aanisah menyebutkan tarif hotel yang harus dibayarkan oleh tamu tersebut.
Pembayaran tarif menginap selama tiga hari dibayar lunas melalui p********n elektronik. Aanisah menjetikkan jarinya memberi kode pada salah satu roomboy yang kebetulan melintas di depan meja resepsionis.
"Harun, tolong antar tamunya ke suite room ya. Silakan ibu Rinjani kartunya. Selamat beristirahat. Semoga hotel kami memberikan kenyamanan pada Anda."
"Terima kasih," jawab tamu yang tidak lain adalah Rinjani yang dicari oleh Desta selama satu tahun ini.
Setelah kepergian Rinjani, beberapa karyawan hotel mendekat ke meja resepsionis untuk mencari informasi pada Aanisah. Namun Aanisah pura-pura jual mahal supaya temannya itu tidak mengganggunya lagi.
---
^vee^