“Dokter Fadlan ada?”
“Ada perlu apa ya?”
Icha meringis. Iya ya? Ia bahkan menepuk keningnya. Mengabaikan sang resepsionis yang heran akan sikapnya. “Eung....biasanya dia pulang jam berapa ya?”
Si resepsionis itu melirik jam di ponselnya. “Biasanya sih jam lima. Tapi kalau sedang sibuk, bisa pulang jam sepuluh atau sebelas malam.”
Oooh. Icha nampak berpikir. Sejujurnya, ia juga bingung kenapa ia bertanya tentang jadwal kepulangan lelaki itu. “Ruangannya di mana ya?”
“Ada perlu apa ya? Soalnya, takut beliau sibuk.”
Icha meringis. Ia harus bilang apa? Ia bingung. “Eung....gak jadi deh, mba. Cuma nanya saja kok,” tuturnya kemudian lantas meringis dalam hati. Sejujur-nya, ia ingin mengembalikan kacamata lelaki itu yang tertinggal di kursi teras kosnya. Karena semalam, lelaki itu datang melihatnya. Seperti permintaan lelaki itu. Ia mengeluh dalam hati. Berjalan keluar dari lobi dengan gamang. Baru akan berjalan lagi ke luar dari gedung rumah sakit, ia urungkan. Terlebih saat melihat mobil lelaki itu yang masih terparkir di parkiran mobil. Ia berbalik, melihat ke arah lobi. Masa ia harus menerobos sih? Maksudnya, masa tanpa izin atau buat janji dulu untuk ketemu si dokter yang satu itu?
Ia menimbang-nimbang lantas memberanikan diri bertanya lada satpam yang berdiri di pintu lobi. Dengan suara berbisik ia bertanya, lantas mendengar arahan dari sang satpam. Ia bersyukur dalam hati. Kemudian pelan-pelan me-langkah menuju lift. Melirik ke arah resepsionis yang tadi berbicara dengannya. Kemudian dengan cekatan masuk ke dalam lift tanpa dilihat oleh resepsionis itu. Ini memang agak nekat, pikirnya. Ia segera keluar dari lift saat tiba di lantai d imana ruangan Fadlan berada. Kemudian berjalan pelan-pelan dan duduk di sofa. Ia terperangah sesaat melihat interior yang bagus sekali. Lalu ia celingak-ce-linguk mencari seseorang yang bisa ia tanyakan karena lantai ini terlihat begitu sepi. Saat melihat seorang perempuan duduk sendirian di depan sebuah ruangan, ia langsung datang menghampiri. “Ruangan dokter Fadlan dimana ya?”
“Ini,” ia menunjuk ruangan di belakangnya. “Tapi sekarang beliau masih rapat.”
Huuuh. Ia mengeluh dalam hati lantas melirik jam tangannya. “Kira-kira selesainya jam berapa ya, mba?”
Si asisten Fadlan yang berkerudung itu melirik jam diponselnya. Ia tampak mengingat-ingat jam berapa si Fadlan memulai rapat tadi. “Paling lama satu jam lagi sih. Biasanya kalau rapat gini mingguan gini cuma dua jam.”
Icha mengangguk pelan. “Eung...aku boleh nunggunya duduk di situ tak?” tanyanya sambil menunjuk sofa yang ia duduki tadi.
Si asisten itu tersenyum tipis. “Silahkan saja,” tuturnya yang membuat Icha bernafas lega. Gadis itu duduk di sofa. Masih menimbang-nimbang. Apa ia titip kan saja kacamatanya pada si asistennya Fadlan ini? Tapi kemudian ia meng-gelengkan kepala. Sikap tak enak hatinya ini mulai berperan. Lantas duduk dengan bosan. Mengeluarkan ponselnya dan mengabaikan chat dari Tio yang menanyakan keberadaannya. Sesekali ia melirik sekitar kemudian menunduk lagi. Aisha yang baru muncul, berjalan menuju ruang Fadlan. Baru akan membuka ruangan itu, ia dicegat si asisten. Si asisten Fadlan itu bilang kalau Fadlan masih rapat. Aisha mampir sebentar setelah menyelesaikan koassnya.
“Ya sudah deh. Bilangin kak Fadlan, aku sudah pulang duluan ya, Reya!” tuturnya yang diangguki Reya, si asisten. Perempuan itu tampak tersenyum saat tanpa sengaja melihat Icha yang duduk di sofa. Icha hanya mengangguk. Walau dalam hati bertanya-tanya juga. Ada hubungan apa perempuan itu dengan Fadlan?
Empat puluh menit kemudian Fadlan baru muncul. Lelaki itu berjalan terburu-buru tanpa melihat ke arah sofa. Berjalan lurus saja ke ruangannya sementara Icha sudah berdiri kaku. Tak tahu harus gimana.
“Tadi Aisha ke sini, Re?” tanyanya sambil membuka pintu ruangannya.
“Iya, dok. Katanya mau pulang duluan,” tutur Reya.
“Ck! Dibilangin tunggu dulu,” Fadlan nampak kesal. Lelaki itu me-ngeluarkan ponsel, berusaha menghubungi Aisha. Saat diangkat, ia langsung mengomel. “Di mana kamu?”
“Aisha sudah di jalan, kak. Naik taksi.”
“Kan dibilangin tadi, tunggu dulu. Masih rapat tadi,” tutur Fadlan dengan sedikit berdecak. Lelaki itu terburu-buru membereskan meja kerjanya agar segera pulang. Sedangkan Icha sudah nelangsa disitu. Gadis itu berjalan pelan menuju meja Reya.
“Mba, aku boleh nitip ini untuk dokter Fadlan gak?” tanyanya sambil me-nyodorkan kacamata Fadlan pada Reya yang membuat Reya keheranan.
“Ini maksudnya gimana ya, dek?”
Icha agak meringis mendengar sebutan 'dek' itu. “Itu kacamata beliau,” tuturnya kemudian buru-buru pamit. Ia segera menaiki lift saat pintu lift itu ter-buka. Hatinya agak nelangsa. Terlebih saat melihat perempuan berjas dokter yang cantik tadi. Icha mana tahu bedanya dokter koass dan dokter tetap. Kemudian tampang marahnya Fadlan. Rasa-rasanya dugaannya benar. Mana mungkin cowok seganteng itu tak punya pacar?
Ia? Ah paling si Fadlan cuma modus saja. Semua lelaki pasti begitu.
Waktu berjalan terasa begitu cepat. Icha bahkan sudah kembali dari Australia. Ia sudah menyelesaikan tesisnya dan baru saja keluar dari ruangan sang dosen. Menerima beragam revisian walau tak banyak. Ia bahkan sudah disuruh untuk menghubungi penguji untuk sidangnya. Ia segera pamit pada Laila dan temannya yang lain saat bertemu di depan fakultas. Ia ingin pulang. Lelah sekali rasanya karena ia baru tiba di Malaysia kemarin siang. Tiba di lobi apartemennya, ia terheran melihat kemunculan sosok lelaki yang tak asing. Kemudian lelaki itu menoleh dan berjalan ke arahnya.
“Aku sudah menunggu dari tadi.”
“Kau tak menghubungiku, mana ku tahu.”
“Kalau ku hubungi nanti kau bilang kau sibuk,” tuturnya yang membuat Icha meringis. Ya, bagaimana pun ia memang berupaya lari dari lelaki ini. Siapa?
Irfan.
“Dok!”
Reya sampai terbirit-b***t mengejar Fadlan. Padahal ia sudah memanggil-nya dari tadi. Tapi si Fadlan sudah turun duluan dengan lift sementara ia masih mem-bereskan mejanya. Kini ia tiba di parkiran saat Fadlan hendak masuk ke dalam mobil. Kening lelaki itu mengernyit sambil memasukan ponselnya ke dalam saku celana.
“Kenapa? Ada meeting dadakan?”
“Ng...anu, dok,” ia bingung bagaimana menjelaskannya lantas mengulurkan kacamata pada Fadlan. “Tadi ada adek perempuan cantik, ngasih ini untuk dokter. Katanya ini kacamata dokter.”
Fadlan termangu. Walau awalnya agak heran namun sedetik kemudian ia tersadar itu dari siapa. Ah, padahal ia bilang agar tak usah diantar. Ia bisa meng-ambilnya. Walau seharian ini ia agak susah tanpa kacamata itu.
“Kapan dititipkan?” tanyanya sambil mengambil kacamata itu dengan rasa kacau dihati.
“Tadi waktu dokter baru selesai rapat.”
“Kenapa kamu tak bilang?”
“Y-ya kan tadi aku panggil-panggil dokternya malah buru-buru,” tutur Reya. Tentu saja ia tak terima kalau dimarahi. Fadlan menghela nafas kemudian masuk ke dalam mobil. Tapi baru akan menutup pintu ia tersadar lantas segera memanggil Reya yang membuat perempuan itu mengeluh dalam hati.
“Barusan banget dititipinnya, Re?”
“Iya, dok!”
Fadlan menganggukan kepala. Kali ini ia menutup pintu mobilnya. Perkiraan-nya, kalau gadis itu baru saja menitipkannya, seharusnya belum jauh. Maka itu, ia segera menyalakan mesin mobil. Kemudian berbelok ke kiri. Mata-nya tampak melihat ke trotoar hingga kemudian ke arah kanan yang membuatnya tak sengaja melihat gadis itu. Gadis itu sedang menyebrang jalan. Kontan saja, ia me-nambah kecepatan kemudian memutar balik dan berhenti tepat di depan gadis yang hendak memberhentikan angkot itu. Fadlan menurunkan jendela, hal yang membuat Icha tersadar kalau itu Fadlan. “Naik, aku antar,” titahnya bukan sebuah tawaran. Tapi gadis yang biasanya tak berkutik itu kali ini menolaknya.
“Enggak usah. Bisa naik angkot kok,” tolaknya lantas berjalan dengan muka masam. Ia segera masuk ke dalam angkutan umum yang berhenti tepat di depan mobil Fadlan. Fadlan menghela nafas. Kemudian garuk-garuk tengkuk. Heran karena karena kali ini ditolak. Gadis itu lebih memilih naik angkutan umum dibanding naik mobilnya yang mahal. Tak perlu bayar pula. Tapi bukan Fadlan namanya kalau pergi begitu saja. Lelaki itu malah mengikuti angkot itu. Melirik gadis yang ada di dalamnya. Sayangnya, gadis itu tak sadar kalau Fadlan meng-ikuti. Ia cuma bengong dengan perasaan yang mendadak kacau gegara perempuan berjas putih tadi. Mana cantik pula.
Huh, ia mengeluh. Seharusnya ia memang tak usah bawa-bawa perasaan kalau urusannya dengan lelaki seperti Fadlan. Mana mungkin lelaki seperti itu menyukainya seperti yang dikatakan Alya dan Ghina? Bodoh! Keluhnya dalam hati. Lantas memaki diri sendiri.
“Kiri, bang!” teriaknya kemudian turun dari angkot. Ia berhenti tepat di depan g**g kosannya. Melangkah dengan gamang kemudian berhenti di warung bakso. Memesan bakso untuk dibungkus sebagai makan malamnya. Setelah itu berjalan menuju rumah kosnya. Lima meter dari rumah kosnya, ia mengernyit heran melihat kenapa ada mobil Fadlan di sana. Bahkan lelaki itu sudah berdiri di dekat pintu mobil. Ia menghela nafas. Baru berniat kabur, Fadlan sudah melihat kehadirannya. Lelaki itu segera memasukan ponsel ke dalam saku celana. Matanya melirik bungkusan bakso yang dibeli Icha tadi.
“Tadi kamu ke ruangan aku?”
Itu pertanyaan pertama yang ditanyanya. Icha yang sebenarnya marah dan sempat menolak diantara pulang cuma menghela nafas. Lagi pula, ia juga tak berhak marah. Memang Fadlan siapanya? Hayolooo.
“Iya.”
“Kenapa gak nunggu tadi?” tanya Fadlan lagi.
“Tadi...,” Icha nampak berpikir. “Tadi kakak masih rapat,” lanjutnya dengan tutur kata yang sangat cepat.
“Besok gak ke rumah sakit lagi?”
Icha menundukan kepalanya sesaat lantas menggeleng. Mau ngapain ia ke rumah sakit lagi? Sedangkan Fadlan menahan senyum melihat gadis yang tiba-tiba bertingkah malu-malu ini. Ia mulai hapal gelagatnya walau kadang susah dibaca. “Kalau besok aku main ke sini, boleh gak?” tanyanya yang membuat jantung gadis itu berhenti berdetak sesaat. Icha bahkan menahan nafasnya. Kemudian mendongakkan kepalanya pelan-pelan. Ah, lelaki ini memang selalu bertanya tiap mau ke sini.
“Gak usah.”
“Gak usah?”
Fadlan heran mendengar jawabannya. Kan ia nanya boleh atau tidak? Kok jawabannya malah gak usah?
“Ng, maksudnya...,” Icha bingung menjelaskannya bagaimana. Otaknya masih mengingat perempuan berjas putih tadi. “Mmmmph,” Icha agak me-nimbang-nimbang. Walau tak urung ia bertanya juga. “Memang kakak gak ada yang marah?”
Fadlan terkekeh. “Kalau ada, ngapain aku kejar kamu ke sini,” tuturnya kemudian menegakan tubuhnya. “Di kos kamu ada siapa?”
Rasanya Icha mau lompat-lompat. Mati-matian menahan senyumnya. Kemudian memalingkan wajah ke belakang, melirik kamar kosnya lantas ter-senyum lebar dan kembali mengatupkan mulutnya ketika tahu bahwa kosnya pasti sepi. Entah kemana Ghina dan Alya. Tapi feeling-nya mengatakan bahwa dua gadis itu di kosnya Tio.
“Enggak ada orang kayaknya,” tuturnya lantas berbalik menatap Fadlan tampang sok serius. Padahal tadi tersenyum lebar.
Fadlan melirik jam tangannya kemudian tampak menimbang-nimbang. “Aku temenin kamu makan deh,” putusnya yang tentu saja membuat Icha girang setengah mati.