Siang itu Elena sedikit menyadari bagaimana Tuan ularnya menunjukkan kebaikan hatinya. Yah anggap saja begitu. Meski cara bicaranya yang selalu kasar dan suka berkata konyol Elena tau nyawanya berada dalam lindungan Tuan ular itu. Jadi sebisa mungkin Elena akan melayaninya dengan baik dan tidak memicu kemarahannya. Maka nyawanya akan selamat dan pembalasan dendamnya juga cepat terlaksana.
Kini dirinya harus fokus dengan masakannya. Tuan ularnya kelaparan. Elena harus segera menyiapkan makanan buatannya sebelum dirinya sendiri yang akan dijadikan hidangan utama. Satu demi satu Elena membawa piring-piring berisi masakan dagingnya ke meja makan. Dimana sang vampire dan Tuan ularnya menunggu. Bisa dilihatnya Sebastian sang vampire tampan sedang asyik duduk di kursi paling ujung sambil menyedot sebungkus "tomat"nya dengan nikmat. Lalu Tuan ularnya yang berada di sebelahnya sudah melingkar dengan nyaman menunggu dirinya.
Mereka fokus memerhatikan Elena yang membawa piring-piring itu dan menatanya di meja. Lalu kembali untuk membawa sisanya.
Sebastian melirik Evan yang sedang memerhatikan makanan buatan Elena satu persatu selagi gadis itu mengambil masakannya yang lain di dapur. Pria itu melepaskan sedotan yang masih menempel di bibirnya dan mengatakan apa yang ada dalam pikirannya saat ini.
"Hei Evan kau meminta gadis itu membuatkan semua makanan ini?" tanya pria vampire itu sedikit tidak percaya. Evan hanya melirik teman vampirenya sebentar lalu kembali memusatkan perhatian pada masakan pelayannya. Tidak ada yang salah dengan masakannya. Semua terlihat enak. Evan tidak menyangka bahwa gadis itu memang berbakat menjadi pelayan. Hanya saja seberapa banyak gadis itu membuat masakan untuknya. Apa dia fikir karena tubuh ularnya yang besar maka nafsu makannya juga besar. Yah itu tidak masalah juga untuknya.
"Kau mau mencicipinya?" tawar Evan. Hanya sekedar basa basi karena mana mungkin teman vampirenya itu menerima tawarannya.
"Kau gila? Aku tidak ingin merusak lambungku dengan makanan manusia." Jawab Sebastian dengan sarkas. Benar apa katanya bukan. Evan terkekeh kecil mendengarnya. Dan lalu menghentikan kekehannya ketika Elena kembali membawa sisa masakan di dapur. Gadis itu tanpa kata meletakkan sambil menata piring-piring itu di depan mereka dan mundur beberapa langkah setelahnya.
"Kau sudah membawa semuanya."
"Iya Tuan."
"Bagus. Pergilah ke dapur dan bersihkan kekacauan tadi. Lanjutkan pekerjaanmu." titah Evan sambil mengibas-ibaskan ujung ekornya menyuruh Elena pergi
"Baik Tuan." jawab Elena patuh. Keduanya kembali memperhatikan tubuh Elena yang berjalan pergi hingga menghilang di belokan. Sebastian kembali mengutarakan rasa penasarannya terhadap teman ular dan pelayannya itu.
"Gadis itu tidak mengetahui namamu. Apa kau tidak memperkenalkan dirimu dengan baik Evan?" ujar Sebastian. Evan melongokkan kepala ularnya untuk membaui semua makanan di depannya. Lidahnya menjulur beberapa kali untuk mengecap rasa masakannya sebelum menjawab pertanyaan dari Sebastian.
"Aku memang bermaksud tidak mengatakan namaku padanya. Dan kau mengacaukan rencanaku."
"Hahhh mana aku tahu jika rencanamu seperti itu. Bukankah gadis itu hanya pelayanmu saja. Jadi tidak ada salahnya bukan untuk mengetahui namamu. Kecuali kau sudah menandainya." kicau Sebastian merasa tidak bersalah melakukannya hingga pria itu terdiam menyadari sesuatu.
"Owh s**t! Apa kau sudah menandainya?" tuduh Sebastian sambil membolakan matanya tidak menyangka dengan apa yang ada dalam fikirannya.
"Hanya menggigitnya." jawab Evan seadanya. Ujung ekornya meraih satu piring dan mengapitnya lalu membuang isinya ke dalam mulut Evan yang telah terbuka lebar. Ular itu langsung menelannya tanpa masalah berarti. Lidahnya menjulur mengecap rasa yang dirasanya tidak buruk.
"Apa maksudmu? Kau ingin menjadikannya pasanganmu Evan?"
"Jangan bodoh. Mana mungkin aku mau berpasangan dengan seorang manusia lemah sepertinya. Jangan berpikir hal menjijikkan seperti itu. Gadis itu hanya cocok dijadikan sebagai pelayan. Tidak lebih." ketus Evan tidak senang dengan ucapan tempan vampirenya. Dirinya terlalu luar biasa untuk seorang manusia yang penuh dengan kemunafikan. Sebaliknya, Sebastian yang mendengar ucapan teman ularnya itu hanya memutar bola matanya yang sudah kembali berubah warna menjadi hitam dengan bosan.
"Lalu untuk apa kau menandainya heh. Seorang pelayan tidak memerlukan sebuah tanda untuk menunjukkan bahwa dirinya hanyalah seorang pelayan di sini. Toh tidak lama lagi manusia itu juga akan mati jika bukan di tanganku maka pastinya di tangan teman kita yang lain." Ucapan Sebastian berhasil mengusik kemarahan ular di depannya itu yang kini menunjukkan desisan kerasnya. Meski desisannya tidak berpengaruh apa-apa terhadapnya saat ini. Sebastian mengerti bahwa ular itu tidak akan menyerangnya tanpa alasan.
"Apa? Aku mengucapkan hal yang sebenarnya bukan."
"Ck! Jangan mengganggu mangsaku. Kalian akan berhadapan denganku jika berani menyentuhnya."
"Mangsa heh. Kau bukan seekor kucing yang suka bermain-main dengan mangsamu sebelum memakannya Evan. Kau itu ular." Sebastian terkekeh geli dengan tatapan meremehkannya. Tidak percaya jika tidak terjadi apa-apa di antara mereka berdua. Setidaknya yang mereka bicarakan saat ini adalah teman ularnya yang begitu anti dengan seorang manusia sejak kejadian terakhir kali yang berhasil mengusik hidup Evan.
"Aku telah melakukan perjanjian dengannya." jawab Evan santai. Ujung ekornya kembali mengambil piringnya satu demi satu dan melemparkan isinya ke dalam mulutnya. Ular itu menumpuk piring-piring yang kosong menjadi satu.
"Kau apa!" Sebastian menegakkan tubuhnya mendengar ucapan yang terlontar dari ular itu.
"Kau berubah tuli sekarang?" ucap Evan sambil ganti menatap remeh teman vampirenya.
"Ck ayolah. Kau tidak akan mau membuat perjanjian dengan seorang manusia, ular." ujar Sebastian gemas. Pria itu sengaja menekan kata ular untuk teman ularnya saking gemasnya.
"Aku yakin kau sedang memperdaya gadis itu bukan." tuduh pria itu final.
"Khekhekhe kau mengerti diriku dengan baik, Tian." kekeh Evan sambil meletakkan piring terakhirnya.
"Cih dasar ular kau."
"Aku tegaskan sekali lagi padamu. Aku tidak akan sudi menjadikan manusia sebagai pasanganku. Aku menandai gadis itu hanya untuk menjadikannya sebagai pelayanku dan untuk mengawasinya melakukan pekerjaan dengan semestinya. Aku hanya ingin memberinya pelajaran."
"Aku tidak mengerti maksudmu. Tapi jika gadis itu hanya seorang pelayan itu berarti aku boleh mencicipi darahnya bukan." ujar Sebastian berusaha mencoba peruntungannya lagi untuk mendapatkan ijin Evan.
"Aku tidak main-main dengan ucapanku Tian. Jangan mengganggunya." kali ini Evan benar-benar menunjukkan aura kemarahannya dan itu cukup membuat Sebastian mundur, menjaga jarak darinya. Sebastian menyadari ular itu benar-benar serius kali ini.
"Baiklah baiklah aku menyerah Evan. Aku tidak akan mengganggunya lagi. Kau puas." ujar Sebastian akhirnya. Pria itu mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah di depan Evan. Tidak lucu jika mereka harus bertarung hanya karena seorang pelayan bukan.
"Bagus." jawab Evan singkat. Ular itu lalu bergerak meninggalkan Sebastian di tempat. Sebastian sendiri hanya melihat kepergian Evan sambil bersedekap dengan kedua tangannya, menatap remeh Evan yang menghilang menuju kamarnya. Pria vampire itu mendecak sebal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Menjadikan gadis manusia sebagai pelayan, namun tidak bisa berhenti mengawasi pelayannya. Tidak membiarkan siapa pun menyentuhnya juga. Kau pikir aku bodoh tidak menyadari apa maksudmu heh. Dasar ular labil." rutuknya. Sebastian menyenderkan tubuhnya ke kursi lalu mengalihkan tatapannya ke arah piring kosong yang ditumpuk Evan hingga menjulang keatas. Bibirnya kembali merutuki ular itu.
"Apa mulutnya berubah menjadi vacum cleaner heh."
***
Malam telah menjelang. Elena baru saja selesai membersihkan tubuhnya yang penuh dengan keringat setelah bekerja seharian. Tubuhnya terasa linu di beberapa bagian padahal ini adalah hari pertamanya bekerja.
Mansion yang di tempatinya ini sungguh luar biasa luasnya. Pantas saja ular itu memandang rendah tempat yang ditinggalinya selama ini. Jika dipikir-pikir kembali, jangankan rumah mewah, sisik tubuhnya saja dilapisi berlian murni. Tentu saja Tuan ularnya kaya raya.
Tapi mansion seluas ini hanya ditinggali oleh seekor ular dan seorang vampire, bukankah itu terlalu sunyi. Elena menelusuri kamar Tuannya yang begitu luas dengan matanya. Mewah dan memiliki gaya Eropa. Bisa dibilang luasnya hampir menyamai luas rumah beserta kebun neneknya, hanya untuk sebuah kamar dari seekor ular.
Krucukk!
Ahh dirinya lapar sekali. Seharian belum mengisi perut kecilnya. Tenaganya sudah terkuras habis seharian ini untuk membersihkan mansion Tuan ularnya. Tidak sanggup pergi ke dapur untuk sekedar membuat sepiring makanan untuknya.
Elena ingin merebahkan dirinya dan beristirahat saja. Tapi di mana dirinya harus mengistirahkan diri? Hanya satu ranjang berukuran besar dan sebuah sofa mewah. Jika boleh memilih, dirinya ingin mendapatkan kamarnya sendiri agar bisa merasa aman beristirahat. Hahhh Elena menghela nafasnya lelah.
"Sedang apa kau berdiri di situ?" tanya Evan yang baru saja masuk ke kamarnya.
"Tuan, di mana kamarku?" tanya Elena memberanikan diri menanyai Tuannya.
"Kamarmu di sini bersamaku." ujarnya. Dan melihat Elena yang memerosotkan kedua bahunya kecewa. Sudah dia duga bahwa gadis itu pasti akan membahasnya.
"Bisakah aku mendapatkan kamarku sendiri Tuan?" pinta gadis kecilnya.
"Tidak. Aku tidak mau jika harus datang melindungimu dari serangan lainnya, di saat aku sedang beristirahat nanti." tolak pria ular itu begitu saja. Jawaban Tuan ularnya membuat Elena terdiam. Benar apa yang dikatakan ular itu. Jika dirinya berada di luar jangkauan Tuannya, maka mungkin saja vampir tadi bisa menyelinap masuk ke dalam kamarnya.
Elena menyingkir sedikit memberi jarak ketika ular itu bergerak merayap melewatinya menuju ranjang, yang lalu menghentikan dirinya ketika mendengar teriakan kelaparan dari perut gadis itu. Evan menoleh ke arah Lena yang menunduk malu.
"Kau belum makan seharian ini?" Elena menggelengkan kepalanya.
"Bodoh! Apa saja kerjamu seharian ini!" geram Evan tidak habis pikir dengan gadis itu.
"Me-membersihkan mansion Tuan."
"Sampai semalam ini? Dasar lamban!"
"Yak! Aku sudah membersihkannya secepat mungkin kau tau! Mansionmu ini sangat luas. Bagaimana bisa aku-" protes Elena langsung terpotong ketika melihat tatapan Tuan ularnya yang terlihat ingin menelannya.
"Diam kau! Cepat ikuti aku!" perintah Evan membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar diikuti Elena.
Di sinilah mereka. Duduk di meja makan menunggu beberapa pelayan Evan menyiapkan makanan untuk Elena. Wajah Elena sudah bersungut kesal karena harus mengerjakan semuanya sendiri, sedangkan di mansion ini ternyata sudah memiliki beberapa pelayan yang siap membantunya kapan saja.
Elena merasa dibodohi. Dan jiwa manusia Evan menyeringai senang menikmati ekspresi yang ditunjukkan gadis itu.
"Jahat sekali." gerutunya yang sudah pasti ditujukan untuk pria ular itu.
"Diamlah. Cepat habiskan makananmu."
Elena menyuap makanannya dengan hati dongkol. Masih tidak terima dengan perlakuan Tuannya.
***
"Aku tidak mau!" teriak Elena. Matanya menatap horror ke arah Evan yang sudah melingkar nyaman di atas ranjangnya. Jiwa manusia Evan memutar bola matanya malas. Dirinya hanya ingin cepat tidur sekarang, namun gadis itu terlalu banyak tingkah.
"Aku bilang kau harus terbiasa denganku gadis kecil. Jadi cepat kemarilah dan tidur. Aku tidak akan memakanmu. Berapa kali aku harus mengatakannya, sialan!"
"Tapi aku tidak mau Tuan hiks. Itu menggelikan sekali. Biar aku tidur di sofa saja. Atau aku bisa tidur di kamar mandi saja ya Tuan." rengek Elena bersikeras kepada ular itu. Air matanya mulai berjatuhan.
Bagaimanapun juga memikirkan dirinya akan tidur dengan seekor ular besar di ranjang, membuatnya geli setengah mati. Mereka yang pecinta reptile saja tidak akan melakukan hal berbahaya itu, bagaimana dengan dirinya? Elena tidak bisa.
"Ck semakin kau menjaga jarak dariku, semakin aku ingin memaksamu mendekat dan membiasakan diri terhadapku bodoh! Aku tidak suka dengan pandangan jijikmu itu. Cepat ke sini sialan!" bentak Evan. Elena menggeleng keras meminta belas kasih dari Tuannya.
"Ini tidak seperti perjanjian kita Tuan!"
"Perjanjiannya adalah kau harus melayaniku. Jadi kau harus mengikuti semua perintahku."
"Tapi ini sudah termasuk privasi Tuan."
Sudah cukup. Evan pusing mendengar rengekan tidak berkelas dari gadis itu. Dengan cepat ekornya menjulur panjang ke arah Elena dan menarik tubuhnya langsung ke ranjang.
Dibantingnya tubuh itu tepat di depannya dan Evan segera membelit gadis itu. Tidak mempedulikan teriakan dan rontaan Elena yang menangis keras dalam belitannya. Evan bisa merasakan tubuh Elena yang bergetar hebat ketika tubuhnya menyelimuti seluruh tubuh gadis itu.
Elena sendiri bisa merasakan pergerakan dari sebuah daging besar yang meliuk-liuk merayapi tubuhnya. Lalu tubuhnya yang tertimpa tubuh ular itu terasa begitu berat.
"Hentikan tangisanmu dan tidurlah! Jangan berisik." hardik Evan.
Pria ular itu meletakkan kepala ularnya tepat di samping kepala Elena yang melirik was-was ke arahnya. Gadis itu berusaha menetralkan nafasnya dan menahan tangisnya. Elena masih harus memikirkan nyawanya, jangan sampai membuat ular itu marah dan langsung menelannya. Hingga beberapa waktu terlewati dalam diam.
Elena masih terdengar sedikit sesenggukan meski mulai terlihat lebih tenang. Evan yang sudah di ambang batas kesadarannya merasa sedikit terusik mendengar sesenggukan gadis itu yang tidak juga berhenti.
"Tidurlah." gumam Evan.
"Ak-aku tidak bisa tidur jika Tuan selalu mengawasiku seperti itu." cicit gadis itu. Pasalnya Elena melihat ular itu seakan sedang mengawasinya dalam diam. Itu membuatnya tidak tenang. Sekaligus membuat Evan bingung.
"Aku tidak mengawasimu. Jangan berfikir kau adalah pusat perhatianku." ucapan gadis itu berhasil menguarkan rasa kantuk Evan.
"Tapi matamu terbuka seperti itu. Kau sedang mengawasiku bukan?!"
SHAAHHHH!
"Yak! Apa kau tidak tahu kalau ular selalu membuka matanya meski tidur sekalipun?! Berhenti bicara omong kosong dan tidurlah!" bentak Evan kesal.
Elena yang mendengar desisan keras dari ular itu langsung beringsut mundur, namun tubuhnya tertahan di tempat karena belitan Tuan ularnya. Air matanya kembali lolos begitu saja. Menangis keras.
"Hahhh sialan!" keluh pria ular itu dengan lelah.