Biarkan suamimu ini memikirkan perempuan lain. Mungkin suatu saat nanti, aku akan melupakannya dan mencintaimu seutuhnya. Danu.
***
Aku perlahan membuka mata saat menggema azan subuh. Aku melompat terkejut saat pintu terbuka, ternyata Mas Danu terlelap dengan kepala bersandar di dinding. Setelah meredamkan gemuruh d**a, aku melangkah pelan menuju kamar mandi, menunaikan kewajiban-Nya, setelah itu melakukan aktifitas seperti biasa sambil mencoba melupakan kejadian semalam.
"Sarapan sudah kusiapkan." Aku meliriknya saat Mas Danu mendekat dengan pakaian rapi. Ia menatapku sekilas, lalu duduk di meja makan, perlahan menyesap kopi.
Aku menarik napas, tak ada obrolan lanjutan. Tak bisakah ia meminta maaf karena semalam salah mengenali istrinya? Mengharap maafnya, sepertinya hal yang konyol. Apa jangan-jangan ia tak mengingatnya? Karena merasa tak nyaman, aku akhirnya meraih sapu. Lebih baik berkutat dengan kesibukan daripada terus merasa canggung begini.
"Yang semalam ...."
Hening. Aku menunggu lanjutan ucapannya dengan d**a bergemuruh.
"Aku minta maaf."
Aku menghela napas. Hanya seperti itu sajakah? Tak bisa menjelaskan? Aku menggigit bibir. Cukup lama menunggu, ia tak kunjung melanjutkan. Akhirnya aku meninggalkannya, membereskan rumah sambil menyanyi dengan nada ceria. Tak peduli hati terasa tersayat. Perasaan pedih tak terperi. Siapa yang tak sakit hati saat sang suami menyebut gadis lain di malam pertama mereka?
Aku menghela napas. Tangan bergerak pelan mengusap air mata yang menetes. Aku kembali bernyanyi dengan nada ceria saat ia melangkah melewatiku dengan tas hitam di tangan.
"Aku makan di rumah."
"Ya." Aku tak menatapnya. Tumben. Apa lelaki kaku ini merasa bersalah? Kupikir, ia tak punya perasaan.
"Pulang jam 5."
Aku menghela napas saat terdengar bunyi pintu ditutup dari luar. Lalu kembali menghela napas saat teringat tadi itu, kalimat terpanjang yang pernah meluncur dari mulutnya sepanjang kami resmi menikah. Apakah ini awal hubungan kami akan terbangun?
Mengingatnya menyebut nama perempuan lain, aku menggigit bibir. Sepertinya, aku terlalu berlebihan berharap.
***
Seperti yang dijanjikannya, ia pulang tepat pukul 5 sore. Langsung menuju kamar mandi, lalu menghampiriku di meja makan yang sudah menunggunya dengan perasaan canggung dan tak nyaman. Keheningan terus memeluk kami. Tanpa kata, aku mengambilkannya nasi dan lauk. Ia segera memakannya. Hening. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring yang meramaikan ruangan ini.
"Aku sudah kenyang." Lalu, aku beranjak menuju ruang tengah. Sambil menunggu azan, kunyalakan televisi. Jantung hampir melompat saat melihat Mas Danu menyusul duduk di sebelahku.
Aku meliriknya. Dia mau apa, sih, sebenarnya. Jika hanya membuat canggung, seharusnya tak perlu dekat-dekat. Lihatlah, lelaki kaku ini hanya diam seperti batu. Tatapannya fokus ke layar televisi yang tengah menampilkan iklan minuman bersoda. Sementara jari-jemarinya mengetuk-ngetuk lututnya. Ealaah, iklan saja fokus banget seperti itu.
"Tumben pulang cepat." Sebenarnya agak kesal karena selalu aku yang mengakhiri kebisuan. Namun mau bagaimana lagi, masa suami istri seperti orang asing. Heran, masa lelaki tak ada inisiatif memulai. Bilang maaf, kek, lalu menjelaskan, kek. Membuka obrolan ringan, kek. Sama sekali tidak peka. Pantas saja, perempuan yang digilainya menjauh. Siapa juga yang betah dengan lelaki super pendiam begini?
Aku berdeham. Lalu meliriknya sinis.
"Tadi pagi sudah bilang."
"Ingat, kok! Tapi kan biasanya selalu pulang jam sembilan malam. Tumben!" ucapku sinis.
Ia menoleh, mengerutkan kening. Mungkin heran karena tak biasanya istrinya ini berkata dengan nada tinggi. Terserah, deh, ia mau berpersepsi bagaimana. Aku bersikap pura-pura cuek walau sebenarnya jantung berdegup hebat. Aku meraih air minum lalu menyeruputnya pelan untuk mengusir gugup. Dari sudut mata, terlihat ia sedang mengawasiku. Membuat dadaku terus berdesir aneh.
"Kamu lebih suka aku pulang malam?"
"Uhuk. Uhuk." Aku tersedak air. Dan semakin terbatuk-batuk saat Mas Danu mendekat lalu menepuk-nepuk pelan bahuku.
"Bukan begitu," sahutku setelah batuk mereda.
Ia memandangku cukup lama. Sungguh membuat salah tingkah saja. Enam bulan menikah, ini baru yang pertama. Bertatapan seintens ini.
"Heran aja, biasanya kamu kan selalu pulang jam 9."
"Pelanggan semakin banyak. Aku cari asisten."
"Ooh, gituu."
Ia membisu. Kembali fokus pada layar televisi. Keheningan di antara kami sungguh membuatku tak nyaman. Sudahlah, lebih baik pergi saja. Namun, baru saja hendak beranjak, ia berkata,
"Kamu mau kita bulan madu?"
"Apa?"
"Bulan madu," ulangnya, kali ini menoleh menatapku. Setelah 6 bulan, ia akhirnya mengajak pergi bersenang-senang. Apa ia melakukannya karena merasa bersalah?
"Kenapa tiba-tiba? Apa kamu merasa bersalah karena semalam ... emp ...."
"Baru punya waktu. Dulu, belum ada asisten."
Sungguh tak kusangka kejadian semalam bisa membuatnya berkata lebih panjang dari biasanya. Apa ia begitu merasa bersalah? Kutatap Mas Danu curiga. Ia berpaling, tatapannya kembali lekat pada layar televisi. Dasar lelaki tak berperasaan. Tak bisakah membujuk? Malulah, yaaa, kalau langsung mengangguk mengiyakan. Siapa tahu, bulan madu akan menjadi awal kedekatan kami.
Hening yang pqnjang. Cepat bujuk dong, Maas. Batinku, menatapnya penuh harap. Tetapi, lelaki menyebalkan ini sama sekali tak menoleh. Ia malah sedikit tertawa pada benda sialan itu. Aku mencoba menegurnya dengan mengembuskan napas kuat. Ia menoleh, mengerutkan kening, lalu kembali ke layar televisi.
"Tidak mau ya sudah."
Aku menggigit bibir menahan geram. Lalu melangkah cepat meninggalkannya diiringi suara tawa. Ia tertawa pada layar televisi. Sungguh menyebalkan! Rasanya, ingin berbalik lalu menimpuk wajahnya yang tanpa ekspresi dengan batu.