Ups, Ada Yang Penasaran

1055 Kata
"Eh, kok minta maaf lagi, sih! aku cuma mau ajakin kamu makan. Makan!" Nuna menggaruk pelipis sebentar, lalu ia mencontohkan gerakkan makan. Ia takut, lelaki di depannya tidak paham dengan logatnya yang ke-bulean. Beberapa bulan ini, ia baru kembali dari Paris. Dan tahun ini ia meminta ke papihnya untuk melanjutkan sekolah formal--bukan homeschooling--sebelum dirinya kembali pergi ke kota asing itu sebagai perwakilan calon model se-Indonesia. Nuna memasang wajah prihatin pada Mamat. Sebetulnya, ia cuma mau menunjukkan sikap peduli kepada sesama manusia. Sayangnya, sang papih juga keluar dari mobilnya. Menatap jijik Mamat, seolah ia hama yang tak pantas disandingkan sebagai insan biasa sama halnya dengan dirinya juga Nuna. "Nuna, sudahlah. Cepat masuk!" Robby tak ingin tingkah Nuna tertangkap awak media. Ia juga menutupi tubuh Nuna dan spontan mendorong Mamat agar menjauh. "Papih!" sentak Nuna tak suka. "Apa yang Papih lakukan. Aku gak suka." Nuna mencoba membantu Mamat agar tegap kembali. Meski sejatinya, Mamat yang seorang sekuriti sudah memiliki proposi tubuh yang tegap layaknya tiang listrik. Mamat berusaha mengontrol diri dari rasa marah. Dia tidak mau menganggap itu sebagai sebuah penghinaan. Harga dirinya jauh lebih tinggi sampai tidak semudah itu dijatuhkan. "Maaf, Non. Tapi saya tidak bersedia," ucap Mamat sembari berusaha menahan perasaan kesal. Sayangnya, Nuna memasang tampang iba. "Kenapa, kamu udah makan?" duganya, meletakkan tangan di bahu Mamat. Mamat menggeleng lemah. "Ya sudah kalau gitu sekarang makan sama aku, yuk!" Ia tertawa. Sungguh dalam hati Nuna cuma merasa kasihan dengan Mamat. Ia menduga Mamat sengaja menahan lapar karena tidak punya uang dan jiwa patriotnya tidak bisa menerima hal itu. Ia ingin sekali menteraktir Mamat, sukur-sukur bisa jadi teman. Nuna tahu, Mamat menolak pasti karena segan padanya dan papihnya. Banyak orang yang meski butuh tetapi menolak keras menadahkan tangan untuk meminta. Yah, ia salut sama orang-orang yang punya prinsip seperti itu. Lebih baik hidup berkalang nista daripada merendahkan harga diri. Bukankah itu keren? "Gini saja, tadikan kamu nabrak aku. Gimana kalo gantinya kamu temenin aku sarapan. Ya, ya..." Ia masih terus mencoba merayu Mamat. Sedang Robby segera masuk mobil sambil menggebrak pintu. Papinya sudah menyalahkan mobil dan suara mesin terdengar saling bertalu hingga Memekakkan telinga. Robby hendak pergi dari sana. Ia tidak tahan dengan kelakuan Nuna. Robby sangat mengenal sifat anak gadisnya itu yang selalu terobsesi dengan orang miskin. Semakin dilarang, Nuna bisa semakin nekat, itulah kepribadiannya dan Robby tidak berniat menegur sikap Nuna kembali. Biarlah dia bergerak semaunya asal jangan pernah lagi menolak untuk ikut pemotretan. Nuna memandangi mobil papinya yang berlalu pergi. Seirama dengan tatapan gadis itu. Mamat juga melongo melihat mobil milik pria itu berlalu. Jelas teriang, lelaki itu tak suka padanya. Ia jadi menelan ludah kasar, hampir saja jantungnya copot cuma karena bersinggungan dengan suara barito orang kaya. Entah, bagaimana jadinya kalau ia memaksakan rasa suka ini. Mungkin Mamat akan mati muda. "Tuh papi udah pergi. Kamu jadi gak perlu takut lagi, hehe!" Nuna meletakkan tangan di bahu Mamat. Meski tangannya kecil, tapi rasanya beban di pundaknya semakin bertambah. Mamat menggeliat kembali. "Iya, kalau gitu, Non juga masuk aja!" sarannya, tangannya mempersilahkan Nuna berjalan lebih dulu. Sayangnya Nuna cemberut. Ia tidak suka terus-terusan ditolak. "Laluna, tapi kamu bisa panggil aku Nuna dan satu lagi, aku belom makan dari kemarin. Masa aku masuk kelas belom makan sih, kalau aku pingsan gimana. Kamu tega?" Ia malah memberikan bola panas ke Mamat. Seolah-olah pria itu amat bersalah. Mamat terperangah, kenapa kesannya dia yang salah? "Kenapa Non, Eh.., Nuna gak makan dari kemarin?" selidiknya yang tertarik dengan alasan Nuna, tapi gadis itu malah tersenyum. "Kamu mau tahu ceritanya? kalau gitu mending kita masuk dulu. Kita makan di kantin, yuk!" ajaknya lagi. Ingin sekali Mamat membuka diri dan bersedia menjadi kawan pertama untuknya. Entah, meski baru bertemu tapi Nuna merasa Mamat lelaki yang baik untuk dijadikan teman. Mungkin juga ia bisa merevisi anggapannya suatu hari nanti. Bukan cuma sekedar teman pria. Tapi Mamat bisa menjadi teman hidupnya. * Keduanya sampai di kantin. Nuna segera mengambil kendali. Dia menarik tangan Mamat sampai bangku tengah. Mungkin dia tidak menyadari sikapnya yang pemaksa itu merepotkan bagi Mamat. "Yuk dipesen, Mas, Bang~?" "Mamat, Non Nuna," sahut Mamat yang melihat wajah kebingungan Nuna. Sebentar saja raut kebingungan itu berubah jadi senyum ceria. "Namanya unik," selorohnya girang Mamat salah tingkah tapi dia tidak merasa kali ini juga bentuk penghinaan. Beberapa menit mengenal Nuna, ia bisa menilai gadis itu tidak seburuk itu. Nuna tak hentinya tersenyum manis dikala menatap Mamat. Entah sudah berapa banyak senyum yang ia lontarkan ke pria ini. Dan semuanya serba manis persis seperti sedang menjilati permen lolipop. Mamat uduk di depan Nuna. Mungkin ia cuma mau pesan es teh manis sembari menemani gadis itu makan, sudah itu saja! "Bang Mamat pesenin aku makan dong!" desis Nuna manja. Sejak tadi matanya menatap daftar menu. Sayangnya semua itu terlihat asing baginya. 'Somay ? Bukannya ini dimsum,ya?' pikir Nuna. "Emangnya Non Nuna mau makan apa?" tanggap Mamat ikut berbisik dan memperhatikan menu. Nuna menggeleng lemah. "Gak tahu, Bang!" Ia menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Memainkan rambutnya yang tercurly pada bagian bawah. Mamat menyeritkan alis. 'Kok gak tahu sih?' batinnya. Tapi berhubungan tadi Nuna meminta bantuannya. Jadi, Mamat menyarankan beberapa makanan kesukaannya. Meski mungkin selera makan mereka mungkin berbeda "Ini aja, Non." Mamat menunjuk somay. Nuna kembali menatap gambar di samping buku menu. "Ini dimsum,'kan?" tanyanya berbinar. "Eh, bukan ini somay. Kalau dimsum beda lagi. Non mau, gak?!" Nuna mencoba mengkaji dari tampilannya. Em, sepertinya ia gak begitu suka. "Coba yang lain. Ini apa?" Ia menunjuk gado-gado. Kebetulan Nuna sedang mendedikasikan dirinya sebagai vegetarian. Dan ketika ia melihat sayuran ditambah bumbu kacang itu cukup menggugah seleranya. "Non mau ini?" Mamat malah balik bertanya dengan keras saking kagetnya. Mohon maaf, nih kalau yang ini Mamat sudah khatam banget sama rasanya. Secara Emak Robiya, kesayangannya penjajah kuliner gado-gado. Gado-gado terenak diseluruh pelosok Jakarta. Yang makan itu bisa langsung tewas dengan senyum bahagia. Lumayan kan mati dalam keadaan tersenyum. "Iyah. Ini namanya apa, Bang?" Ketika itu Mamat ingin sekali tertawa sama tampang Nuna yang terlihat KEPO. "Ini tuh gado-gado, Non. Makanan khas betawi enak banget." Tanpa segan Mamat memberikan dua jempolnya untuk jenis kuliner tersebut. Nuna mengangguk-ngangguk maksum. "Dan Emaknya Bang Mamat jago banget bikin ginian," lanjutnya keceplosan. Kini Nuna menatapnya sambil tersenyum penuh arti. "Kalau gitu boleh gak aku main ke rumah Bang Mamat. Minta dibuatin sama E-Mak yang kayak gini, ya, ya!" Ia langsung merayu Mamat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN