Pagi ini Erden bangun dengan rasa curiga yang tidak kunjung hilang. Semenjak pulang dari Mall kemarin, Erden terus memikirkannya.
Bahkan saat sampai universitas pun, rasa curiganya masih ada, kian bertambah malah. Apalagi saat melihat Steven dan Profesor Martin. Memang, waktu itu juga ada teman-teman Steven dan juga Leora, tapi entah mengapa dua manusia itu yang memenuhi kepalanya.
Apakah benar di antara mereka berdua adalah vampire? Tapi rasanya tidak mungkin. Mereka sudah lama berurusan dengan darah dan mereka tampak baik-baik saja.
"Hey, Erden. Ayo." ucap Steven menepuk pelan bahunya menyadarkan Erden dari lamunannya.
"Hm?"
Erden malah menatapnya dengan tatapan bertanya membuat Steven memukul bahunya lebih kuat kali ini.
"Ayo ke Lab. Kau tidak mendadak pikun 'kan?" ucap Steven lagi.
Ah, Erden ingat. Tadi dosen memerintahkan mereka untuk menuju laboratorium.
"Aku hanya lupa." jawab Erden kemudian berdiri dan pergi mendahului Steven.
Teman Steven yang satu itu memang kurang hajar.
"Ck. Jangan sampai kepalan tanganku mendarat di pipimu itu. Menyebalkan!" gerutu Steven ikut berjalan menyusul Erden dan yang lainnya yang sudah lebih dulu pergi.
Mereka berjalan santai menuju ruangan laboratorium, dan Erden yang terus memikirkan kejadian kemarin. Dia harus waspada bukan? Satu bangsa bukan berarti berpihak padanya.
Sibuk dengan pemikirannya sendiri hingga Erden tidak sadar kalau mereka sudah sampai, lengkap dengan pakaian khusus laboratorium.
Dan sekarang dia mulai merutuki kebodohannya yang terlalu banyak melamun sehingga tidak mendengarkan penjelasan dosen di kelas tadi.
Dia kembali di hadapkan dengan darah.
Dan bagian terburuknya, dia sama sekali belum meminum obatnya.
Steven menoleh padanya, menyadari gelagat dari teman datarnya itu.
"Hey, kau kenapa?" tanya Steven berbisik menyenggol sedikit lengan Erden.
Erden menoleh, Steven tampak tenang sama dengan temannya yang lain, dia bahkan terlihat biasa saja melihat darah di depan sana.
"Aku? Memangnya kenapa?" Erden balik bertanya, hanya sebagai pengalihan tepatnya.
"Kau aneh." jawab Steven kembali menatap ke depan.
Erden mengedikkan bahunya acuh.
Di depan sana, sang dosen masih setia menjelaskan bagaimana tata cara melakukan tes DNA menggunakan darah. Entah darah siapa yang menjadi percobaan Erden tidak mau tau, yang dia tau sekarang matanya berkilat senang melihat darah itu.
Nafasnya memburu, dan kuku-kuku tajamnya mulai muncul, begitupun taringnya. Taringnya terselamatkan oleh masker, namun tidak dengan yang lainnya.
Menunduk, mengalihkan pandangan dari hal menggiurkan di depan sana. Ini masih terlalu dini untuk orang-orang mengetahui identitasnya.
"Baik. Saya butuh satu orang untuk mempraktekkan penjelasan saya tadi."
Dosen itu mengedarkan pandangannya ke seluruh mahasiswa yang ada di sana.
And bingo! Tatapan dosen itu jatuh pada pemuda yang sedang menunduk di belakang sana.
"Saya dengar di sini ada murid kesayangan Profesor Martin. Saya penasaran dengannya. Siapa namamu? Ayo ke depan." ucap sang dosen lantang.
Tanpa di sebut nama pun mereka sudah tau siapa yang di maksud dosen itu. Tatapan mereka semua mengarah pada Erden yang masih setia menunduk, pemuda itu tampak belum menyadari keadaan.
Steven yang berada di sampingnya langsung menyenggol lengan Erden dengan keras, menyadarkan pemuda tampan itu.
"Erden! Kau sedang apa? Kau di panggil dosen." ucap Steven sedikit berbisik dan menatap semua teman-temannya yang juga menatap mereka berdua.
Erden mengangkat kepalanya perlahan, kini keringat itu semakin jelas tampak di wajahnya.
"Siapa namamu? Erden? Maju ke depan. Lakukan apa yang saya lakukan tadi." lagi dosen itu kembali memberi intruksi.
"Apa katanya?" tanya Erden menoleh pada Steven.
Sungguh, dia benar-benar tidak bisa fokus saat ini karena cairan kental berwarna merah di depan sana.
"Kau diperintah mempraktekkan tes DNA, majulah." ucap Steven sedikit mendorong Erden.
Bolehkah Erden pergi saja dari sini? Bagaimana bisa dia melakukannya?
Menoleh kembali ke depan, menatap tepat pada tabung darah itu. Hasratnya kembali bergejolak, bahkan taringnya di dalam sana kembali tumbuh.
"Kau kenapa? Kau sakit?" tanya Steven memegang lengan Erden dan Erden langsung menepisnya.
"Aku tidak bisa." ucap Erden cepat.
"Hey, ada apa denganmu?" tanya Steven bingung.
Tak hanya Steven, semua yang ada ikut bingung menatap Erden yang seperti itu. Mereka tentu menyadari kalau setiap kali Erden melihat darah Erden seperti ketakutan dan berakhir berkeringat dingin.
"Aku trauma melihat darah." ucap Erden setelah lama terdiam.
•
•
•
•
"Ahahahah~"
Tawa membahana milik pemuda tampan yang Erden anggap sebagai pria paling menyebalkan setelah Teo itu terus terdengar di telinga. Dia bahkan tidak malu tertawa sepanjang jalan dan menjadi tontonan orang-orang.
Baru kali ini rasanya Erden memikirkan kalau menjadi tontonan banyak orang itu memalukan. Apalagi dia berjalan beriringan dengan orang gila di sampingnya ini.
"Steven, diamlah!" geram Erden memberikan tatapan tajam.
"Kau membuatku malu." lanjutnya menambah laju jalannya.
Namun Steven tak kunjung berhenti. Ada kalanya dia hampir terjatuh karena tidak memperhatikan jalan, namun setelah itu dia lanjut tertawa. Entah apa yang lucu menurutnya sampai tidak bisa berhenti tertawa.
"Kau membuat perutku sakit, Erden." ucap Steven memegang perutnya sambil bersandar di kursi kantin.
"Dan kau membuatku malu." ketus Erden membuat Steven terkikik.
"Kenapa kau tidak pernah mengatakan kau trauma akan darah?" tanya Steven setelah dapat menenangkan dirinya.
"Itu penting?" Erden menatap Steven.
"Tentu. Lihatlah tadi. Setidaknya jika aku tau, aku bisa membantumu untuk tidak ikut dalam praktek. Kau pikir aku orang yang suka memanfaatkan kelemahan orang lain?" ucap Steven panjang lebar.
Erden pernah berpikir, apa Steven selalu seperti ini? Maksudnya, selalu menjawab pertanyaan yang jawabannya singkat menjadi jawaban yang sangat panjang. Apa Steven tidak pusing memikirkan jawabannya?
Yaa, sekedar info saja, kata-kata itu sudah sangat panjang baginya.
"Aku tidak memikirkannya." jawab Erden acuh.
"Sejak kapan__"
Ucapan Steven terpotong saat makanan yang mereka pesan telah tiba.
"Terimakasih." Steven tersenyum.
"Sejak kapan kau trauma? Maksudku, penyebabnya?" Steven lanjut bertanya.
Erden masih diam, tampak berpikir. Tentu saja memikirkan alasan yang tepat untuk itu.
"Entah, aku tak begitu mengingatnya. Sejak kecil, maybe." ucapnya ragu.
"Waktu itu aku sempat melihat pembunuhan, tepat di depan mataku sendiri." ucap Erden menatap kosong pada makanannya.
Untuk yang satu itu Erden tidak berbohong.
"Kau tau? Itu terlalu mengerikan bagi bocah kecil umur tujuh tahun." lanjutnya terkekeh pelan.
Steven speechless mendengarnya. Dia tidak menyangka jika ceritanya akan sebegitu menakutkan.
"Bernafaslah. Aku tidak mau terlibat kasus pembunuhan jika kau mati." ucap Erden tanpa mengalihkan tatapan dari makanannya.
Steven membuang nafas. Wajahnya terlihat memerah karena menahan nafas.
"Aku tidak menyangka jika kau pernah mengalami hal menyeramkan seperti itu." ucap Steven akhirnya.
Erden terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis.
"Itu belum apa-apa jika kau tau semuanya." ucap Erden dalam hati.
•
•
•
•
Sore ini satu universitas geger karena sebuah kejadian yang baru pertama kali mereka alami.
Dua pot bunga yang terbuat dari tanah liat berukuran besar, hampir saja membuat nyawa seorang profesor yang sangat di puja-puja, melayang.
Terdapat beberapa luka di bagian kepala dan lengannya. Namun itu lebih baik daripada dua pot itu berhasil menimpa kepala sang profesor.
Iya, hal itu lah yang membuat satu universitas geger. Beritanya bahkan sudah menyebar dalam waktu kurang dari 10 menit.
"Kami akan memeriksa seluruh cctv di sekitar gedung ini." ucap seorang polisi pada profesor.
"Itu lebih baik. Saya tidak ingin ini terjadi kembali pada salah satu mahasiswa di sini." balas sang profesor yang sedang di obati oleh seorang gadis di sampingnya.
"Pak, sebaiknya jangan meletakkan pot bunga di lantai atas. Untuk keselamatan bersama. Dan pastikan untuk beberapa hari ini jangan ada mahasiswa yang berada di tempat lokasi kejadian, sampai tim kami menyelesaikan kasus ini." ucap sang komandan pada pak dekan yang juga berada di sana.
Pak dekan sempat heran. Keamanan di kampus ini sangat ketat. Bangunan pun selalu di periksa secara berkala, tidak ada yang rusak ataupun cacat. Dan sekarang pagar pembatas di lantai atas sana patah. Itu jelas perbuatan di sengaja.
"Saya akan mengikuti intruksi dari Bapak." jawab pak dekan.
Sang komandan mengalihkan perhatiannya pada dua pot bunga yang sudah tak berbentuk di depan sana. Sama sekali tidak ada sidik jari ataupun barang bukti di sana maupun di lantai atas. Pekerjaan yang sangat rapi.
"Kau beruntung, Prof. Satu pot bunga saja sudah bisa membuatmu kehilangan nyawa." ucap komandan pada Profesor Martin.
"Mungkin saya harus menyewa bodyguard setelah ini." canda Profesor Martin membuat sang komandan terkekeh.
"Kalau begitu kami permisi. Tim kami akan menyelesaikannya dengan cepat. Untuk sementara ini kalian cukup berhati-hati dan selalu waspada sampai pelakunya tertangkap." ucap komandan kembali memberi peringatan.
Mereka hanya mengangguk mengerti dan tim kepolisian segera pergi dari sana.
"Saya akan mengganti rugi semuanya, Profesor. Apapun keluhanmu tentang kejadian ini, saya akan menanggungnya. Sekali lagi maafkan kelalaian saya." ucap pak dekan meminta maaf.
"Ah, tidak seperti itu, Mr. Ini kecelakaan, saya memakluminya. Tidak masalah." ucap Profesor Martin tersenyum lembut.
Pak dekan ikut tersenyum dan pamit pergi dari sana, pun gerombolan mahasiswa yang berangsur bubar dari tempat kejadian.
"Hey, sudah. Aku tidak apa-apa." ucap Profesor Martin melihat Leora yang sedang menangis.
"Kau hampir mati. Aku sangat mengkhawatirkanmu." ucap Leora sesekali mengusap air matanya.
Profesor Martin mengusap sayang kepada Leora dan menghapus air mata di pipi gadis itu.
"Tapi sekarang aku tidak apa-apa bukan? Sudahlah, berhenti menangis." ucapnya tersenyum.
Profesor membawa Leora ke dalam pelukannya.
"Dan terimakasih karena telah menyelamatkanku. Aku benar-benar akan mati jika kau tidak ada tadi." ucapnya lagi yang di balas pelukan erat oleh Leora.
Leora tak habis pikir, siapa yang melakukan ini? Kenapa ada orang yang mempunyai niat sejahat itu? Menghilangkan nyawa orang lain, itu bukanlah perbuatan manusia normal.
"Sial!"
Orang itu segera pergi dari sana. Berjalan santai dengan kedua tangan terkepal di dalam saku hoodie miliknya.
•
•
•
•
"Kau baru pulang." ucap Teo yang baru turun dari atas melihat Erden baru memasuki rumah.
Erden hanya diam sambil terus berjalan menuju meja makan.
"Bagaimana?" tanya Teo seraya menuangkan air di gelas yang dia ambil.
"Apanya?" Erden balik bertanya membuka hoodie menyisakan kaos hitam polos di tubuhnya. Dia merasa gerah omong-omong.
Teo tak menjawab dan hanya mengangguk-angguk pelan.
"Raut wajahmu sudah menjelaskan semuanya." ucap Teo lagi.
"Baguslah otak jeniusmu sedang bekerja sekarang." balas Erden meminum air di gelasnya.
"Ah, kau sudah pulang rupanya." Kaza berjalan menuju mereka berdua.
"Kau terluka?" tanya Kaza melihat beberapa goresan di lengan Erden.
Erden menatap lengannya, dia tidak merasakannya tadi.
"Sepertinya tidak sengaja. Biarlah, nanti juga akan sembuh sendiri." ucap Erden acuh.
Hanya butuh beberapa jam untuk seorang Erden menyembuhkan lukanya tanpa bekas.
"Jangan risaukan lukanya. Aku berharap kau tidak meninggalkan barang bukti. Sia-sia pekerjaanku jika itu terjadi." ucap Teo berjalan menuju ruang tamu.
"Ya ya, setidaknya aku bukan orang yang lupa mematikan cctv yang hampir membuat semuanya terbongkar." ucap Erden menyindir.
•
•
•
•