Cafe Benazir

1660 Kata
Semilir angin menerpa wajah Amanda yang berhelm bogo, kehadiran pengaman kepala itu terasa berharga sekali untuk mengusir panas yang cukup menyengat. Posisi duduknya yang miring saat naik motor bersama dengan Arios itu memaksa dirinya harus memeluk pinggang Kakak kelasnya menggunakan tangan kanan supaya aman. Awalnya siswi ber-sweater kuning itu agak sungkan melakukannya karena dia tidak begitu mengenal Arios dalam dunia nyata. Amanda hanya mengenal pemuda tampan itu di dunia khayalnya karena benaknya selalu dipenuhi oleh wajah pemuda itu yang tampan setiap malam. Imajinasi ternyata berbeda dengan kenyataan yang dialaminya hari ini, saat terjebak dalam posisi sekarang tetap saja ada gugup yang merambati.  Dari sekian banyak pemuda yang berniat mendekatinya hanya Arios lah yang berhasil mencuri perhatian Amanda, walaupun dia sebenarnya tidak ikut menjadi orang-orang yang mengantre untuk mendekatinya. Arios telah masuk perlahan ke benak gadis itu dan menetap di sana. Laju motor sport itu tidak seperti sebelumnya, Arios mengurangi tarikan gas di tangan kanannya. Pemuda berhelm fullface ini mengambil posisi kiri di mana terlihat ada sebuah cafe dua lantai di sana. Cafe Benazir tertuliskan di bagian atas bangunan itu. Amanda bertanya kepada dirinya sendiri, ‘mengapa Kakak kelasnya ini tidak bertanya dulu, apakah dia bersedia atau tidak diajak ke sini. Walaupun jawabannya sudah pasti mau. Pemuda berjaket denim untuk menutupi seragamnya itu memarkirkan motornya berdampingan dengan motor-motor pengunjung lainnya. Sebuah suara peluit terdengar dari pojok depan cafe dan seorang Tukang Parkir berjalan menghampiri, sebuah tiket diberikan oleh pemuda berseragam bertuliskan Parkmen di d**a sebelah kiri. Amanda menduga usianya masih seumuran dengan dirinya atau mungkin setahun di atasnya. Arios turun dari motor lalu melepaskan hem fullface-nya, lalu diletakkan di tangki bensin motor sport itu. Sebuah senyuman terlihat mengembang di wajah Arios yang disambut tertawa lebar Tukang Parkir itu melihat wajah Kakak kelas Amanda. Gadis itu mengernyitkan dahinya karena tidak mengerti dengan apa yang sedang berlangsung di hadapannya. “Udah gue duga ini motor lu, Bro,” kata Tukang Parkir itu sambil mengangkat tangan kanannya yang disambut tangan kanan Arios, mereka melakukan tos lalu berjabat tangan dengan erat. Amanda menyimpulkan bahwa pemuda berseragam parkmen ini adalah sahabat baik Kakak kelasnya. “Apa kabar, Men?” tanya Arios sambil melepaskan sarung tangannya dan meletakkannya di bawah helmnya. “Seperti yang lu lihat, Bro. Kayak beginilah gue sekarang. Jadi Tukang Parkir di cafe,” katanya dengan sebuah senyum tipis yang dipaksakan. “Tukang Parkir itu bukan perbuatan yang hina, Men. Ini adalah pekerjaan yang halal, jangan risau,” Arios menepuk-nepuk bahu kiri sahabatnya. “Gue sering ke sini lho, baru kali ini ketemu lu, Men.” “Biasanya gue shift malam, mulai jaga sehabis Magrib. Mulai hari ini masuk siang karena Bang Boteng yang biasa jaga siang minta tukar shift. Dia kerja katanya kalau siang.” Arios mengangguk-angguk mendengar kalimat penjelasan sahabat baiknya yang terlihat mulai memanjangkan rambutnya. “Oh iya, ini teman gue, namanya Manda. Manda ini sahabat baik aku, namanya Lucky.” Manda mengangguk ke arah pemuda berkemeja warna hijau itu, disambut dengan anggukan kepala Lucky dan sebuah senyum yang masih terlihat dipaksakan. “Lucky ini pernah bersekolah di sekolah kita, SMA Pilar Bangsa. Dia sekelas denganku dulu. Namun ada sedikit masalah yang menyebabkan dia harus lulus dengan premature,” jelas Arios. “Bilang aja gue dikeluarin dari sekolah, Bro. Mengapa jadi panjang banget istilah yang lu sebutkan tadi.” Lucky tertawa yang disambut dengan tertawa Arios. “Apapun istilahnya, lu tetap teman gue, Men,” kata Arios sambil melakukan tos lagi dengan Lucky. “Thank you, Bro. Lu memang sahabat yang luar biasa.” “Pastilah, tetapi gue hanya meniru keluarbiasaan lu aja, gue belajar itu dari lu, Men,” kata Arios sambil menepuk bahu sahabat baiknya lagi. “Ikut ke dalam yuk, Men. Gue dan Manda mau makan siang.” “Tawaran yang menarik sekali, Bro. Tapi gue enggak bisa karena masih kerja ‘ni. Lagian gue enggak mau ganggu kalian, nanti kehadiran gue malah jadi nyamuk di sana. Kalian masuk deh.” “Oke deh kalau begitu, gue cabut ya, Men. Kalau mau nyusul ke dalam aja.” “Oke, makan yang banyak, Bro. Supaya kuat menghadapi kenyataan,” kata Lucky sambil tertawa yang disambut tertawa sahabatnya itu. Arios dan Amanda meninggalkan Lucky yang kemudian nampak sibuk lagi sepeninggal mereka. Beberapa motor pengunjung cafe berseragam SMA datang secara bersamaan. Kedua siswa SMA Pilar Bangsa yang berbeda tingkat kelas itu menaiki tangga, mereka menuju lantai dua dan memilih posisi duduk paling pinggir. Di sana mata mereka bisa menjangkau lalu lalang mobil dari posisi mereka duduk. “Maaf, aku tadi enggak sempat bertanya dulu kepada kamu tentang makan siang dulu di cafe ini, Manda,” ujar Arios sesaat mereka duduk. Dia menyematkan sebuah senyum kecil saat menggenapkan kalimatnya. “Enggak apa-apa, Kak. Kebetulan banget aku juga sudah lapar, tadi pagi enggak sempat sarapan soalnya.” “Oh, syukurlah jika enggak apa-apa. Aku khawatir kamu enggak nyaman jika ternyata kita berhenti di sini dulu. Aku juga khawatir pertemuan kita yang pertama kali ini meninggalkan kesan enggak baik karena aku mungkin terlihat egois di matamu.” “Enggak apa-apa, Kak. It’s fine.” Manda menghiasi wajahnya dengan sebuah senyuman. Arios terpana melihat senyum itu, baru kali ini dia melihat senyum yang  membuat hatinya berdesir hebat. Amanda bersyukur sekali dalam hatinya karena mereka mampir dulu ke cafe ini, bukan hanya karena cacing-cacing di perutnya sudah meminta jatah, hal ini juga berarti dia akan lebih lama menikmati waktu bersama dengan kakak kelas idolanya. Jangankan hanya sekadar makan siang, menemani seluruh waktu makannya juga gadis itu sangat senang sekali. Bisa berada di samping pemuda itu pasti akan menjadi mimpi paling manis yang berhasil terwujud. Arios meraih kertas menu yang ada di meja, lalu diberikan ke Amanda. Gadis itu gelagapan karena tertangkap basah sedang memandangi sosok di depannya. Arios tersenyum melihat kelakuan adik kelasnya itu. “Kamu mau pesan apa, Manda?” tanya Arios “Kakak sudah menentukan pesanan?” Manda berbalik memberikan pertanyaan. “Aku sudah, walaupun tanpa melihat isi kertas menu cafe. Aku suka nasi goreng di sini, Manda.” “Boleh, aku juga mau coba nasi gorengnya, Kak.” Kalimat Manda disambut dengan anggukan Arios. Pemuda itu mengangkat tangannya ke arah pelayan cafe yang berdiri di pojok dengan teman seprofesinya. Gadis berambut sebahu itu melangkah mendekat dengan sebuah notes di tangannya. Dia lalu berdiri di samping meja mereka dengan sebuah senyum kecil di ujung bibirnya. “Mau pesan apa, Kak?” tanya gadis itu sambil bersiap menuliskan pesanan kedua orang yang ada di hadapannya. “Nasi goreng dua ya, Kak,” kata Arios sambil menoleh ke arah pelayan itu. “Baik, nasi goreng dua. Minumnya apa, Kak?” kata pelayan itu sambil menuliskan pesanan yang disebutkan itu. “Air mineral dua yang dingin,” tambah Arios. “Baik, nasi goreng dua dan air mineral dua. Ada lagi yang dipesan, Kak?” kata gadis itu, dia masih menempelkan pulpennya di atas notes. “Manda? Kamu mau pesan apa lagi?” Arios mengalihkan pandangannya ke gadis berhidung bangir yang duduk di depannya. “Aku tambah jus mangga, Kak,” ujar Manda. “Tambah jus mangga dua ya, Mbak.” Apa yang diucapkan oleh Arios segera dituangkan dalam catatan pelayan cafe itu. “Baik, Kak. Ada lagi?” “Itu saja dulu,” kata Arios santai. “Baik, ditunggu pesanannya ya, Kak.” Pelayan itu mengayunkan langkahnya menjauhi meja kedua pengunjung cafe yang berseragam sekolah itu. “Kakak sering ke sini ya?”  ujar Amanda memecah kesunyian yang tercipta sesaat setelah waitress itu pergi. “Iya, sering. Biasanya aku pulang sekolah ke sini untuk makan siang dan menunya adalah selalu nasi goreng.” “Selalu makan nasi goreng, Kak?” tanya Amanda dengan wajah serius. “Iya.” Arios menggenapkan kalimat pendeknya itu dengan sebuah senyum kecil. “Enggak bosan makan nasi goreng terus, Kak?” “Enggak, aku ini type orang yang enggak mau ribet, Manda. Aku enggak mau otakku pusing harus pesan apa dari banyaknya menu cafe yang ditawarkan. Pertama kali ke sini aku mau coba nasi gorengnya dan akhirnya menjadi ketagihan, setiap ke sini jadi memesan menu yang sama terus,” jelas Alpha. “ I see,” ujar Manda dengan sebuah senyum kecil. “By the way, hari ini aku bahagia sekali, Kak.” “Bahagia? Karena akan makan nasi goreng di sini, Manda?” Arios mengernyitkan dahinya. “Bukan karena ingin makan nasi gorengnya, Kak, tetapi dengan siapa aku akan menikmati nasi gorengnya. Itulah yang membuatku bahagia hari ini.” “Maksudnya bagaimana, Manda?” “Jadi begini ceritanya, Kak,” Manda menghela napas panjang dan bersiap bercerita. “Sejak pertama kali masuk ke SMA Pilar Bangsa, otakku selalu terganggu dengan gunjingan siswi di sekolah yang selalu menyebutkan nama Arios. Di setiap sudut sekolah, setiap sudut kantin rata-rata bahan gunjingan itu adalah siswa yang bernama Arios. Jujur, waktu itu aku kepo banget yang mana sebenarnya siswa yang menjadi favorit itu. Hari ini keingintahuanku sudah mempunyai wajah dan aku makan siang bersamanya.” “Wow,” Arios tertawa mendengar cerita Amanda. “Kisah milikku agak mirip dengan ceritamu, Manda. Aku juga mendengar gunjingan sejenis tentang siswi baru yang dalam beberapa bulan menjadi buah bibir hampir semua penghuni sekolah, mulai dari siswa, guru dan kepala sekolah. Juara kelas dan juga juara sekolah, memiliki nilai akademis paling tinggi di antara ratusan siswa, luar biasa sekali. Awalnya sih aku berpikir biasanya perempuan yang pintar seperti itu jauh dari kata cantik, apalagi sempurna. Biasanya mereka berkaca mata tebal dengan wajah tak terawat. Ternyata pikiranku berkhianat karena justru yang dihadapanku kali ini adalah sosok bidadari tanpa cela.” “Terlalu berlebihan kalimatnya itu, Kak. Aku ini bukanlah bidadari. Aku pun banyak cela yang kusembunyikan dari khalayak.” Arios tersenyum dan merayapi wajah gadis di depannya dengan kedua matanya, benar-benar sosok dengan kecantikan yang membius sekali. Mata bulat berwarna cokelat yang selalu berbinar, hidung bangir berhias dengan senyum manisnya. Jika bibirnya itu melengkung mengukir sebuah senyuman siapapun yang melihatnya akan menagih untuk melihatnya kembali. Kulit putihnya bersinar terang karena terpantul dari sweater warna kuning yang dikenakannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN