Dikhianati Imajinasi

1803 Kata
Amanda melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar, wajahnya nampak basah oleh air wudhu bekas tadi dia menunaikan sholat Isya. Gadis itu sebenarnya agak malas mengerjakan ritual umat Islam itu tapi karena Bundanya yang memaksanya dengan berceramah panjang akhirnya dengan berat hati dia melaksanakannya juga. Menjalankan sholat lima waktu bagi gadis bertubuh gempal itu adalah sesuatu yang membuat mager sekali, sering kali kewajiban itu dia tinggalkan dengan sengaja. Kadang ada saja alasan yang dibuatnya saat ditanya oleh Bundanya, satu hal yang paling manjur adalah sedang halangan alias sedang haid. Gadis itu merebahkan badannya di atas tempat tidurnya yang berseprai lusuh, matanya mengawang-awang melihat langit-langit kamarnya yang mulai terlihat banyak spiderman. Dia mengingat kejadian siang tadi di sekolah, saat bertemu teman baru yang cantik, menyenangkan dan menjadi teman sebangkunya, tentang perundungan yang selalu diulangi oleh Natasya dan gengnya juga tentang Mantan Ketua OSIS yang sempat mencarinya ke kelas. “Andai saja aku sesuai dengan aku yang ada di n****+ Miss Perfect, aku enggak akan malu  bertemu dengan Kak Arios tadi,” kata Amanda sambil menggulingkan tubuhnya di atas tempat tidur. “Tapi, jika pun terjadi hal itu enggak akan terjadi dalam waktu singkat, akan butuh banyak waktu buatku mengumpulkan uang untuk operasi plastik.” “Satu hal yang pasti adalah bagaimana cara menghindari Kak Arios yang sudah mulai mencari-cariku di kelas, aku enggak akan bisa menghindar lebih lama lagi. Mau tak mau identitas itu harus kuungkapkan atau terungkap sendiri dengan cara yang mungkin saja enggak akan menyenangkan.” Amanda mengambil ponselnya yang tadi sempat diletakkan di atas meja sebelum sholat Isya, dia lalu membuka aplikasi menulis di ponsel, WPS. Gadis bertubuh gempal itu mulai menuliskan apa yang dialaminya hari ini. Bukan untuk menuangkannya dalam bentuk diary, tetapi sebagai chapter n****+. Jemari Amanda mukai menari di atas layar ponsel merangkai kata dan kalimat dan membentuknya menjadi paragraf. *** Sepuluh menit jelang bel istirahat berakhir, Amanda mengajak Ayisha untuk kembali ke kelas. Sebagai siswi baru yang belum mengerti dengan aturan sekolah, gadis bule itu mengikuti saja dengan ajakan gadis bertubuh gempal itu. Beberapa siswa yang berpapasan dengan kedua siswi yang mempunyai kecantikan yang khas itu menyempatkan menyapa walau hanya sekadar mengucapkan kata ‘hai’, beberapa di antaranya berusaha menahan kedua gadis cantik kelas 11 MIPA 1 untuk alakadar berbincang walau sejenak. Beberapa lagi memaksakan diri untuk mengenalkan diri kepada Ayisha dan memberikan nomor kontaknya di atas secarik kertas. Tentu saja untuk menghargai mereka gadis berambut pirang itu menerima apa yang mereka berikan walau pada akhinya kertas-kertas itu menjadi penghuni tempat sampah. Kurang dari sepuluh meter lagi mereka akan tiba di kelas 11 MIPA 1, tiba-tiba Amanda menghentikan langkahnya saat dia menangkap sesosok pemuda berdiri di depan pintu kelas sambil berbincang dengan Natasya. Ada bara cemburu yang mengisi d**a Amanda karena Kakak kelas favoritnya itu sedang berbincang dengan ketua kelasnya. Mungkin sekarang belum ada apa-apa dengan mereka tapi entah jika bincang-bincang itu sering dilakukan nanti, bisa saja terjadi sesuatu. “Ada apa, Manda?” tanya Ayisha karena teman sebangkunya itu tiba-tiba berhenti. Gadis berhidung bangir itu tidak menjawab, matanya melihat lurus ke depan menatap dua orang siswa berbeda tingkat sedang berbincang dengan dilengkapi tawa. “Oh, cowok itu ya?” sambung Ayisha. Amanda menoleh ke arah gadis berambut pirang itu namun tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Gadis itu melanjutkan langkahnya menuju kelas tanpa mengajak Ayisha, otomatis gadis berambut pirang itu mengikuti langkahnya. Dia menggelengkan kepalanya dengan kelakukan Amanda yang aneh itu saat melihat adegan bincang santai di depan kelas itu. “Finnaly,” kata Arios saat melihat kedatangan Amanda. “Aku pikir hari ini kita enggak akan bertemu. Aku sengaja menunggumu di sini karena tadi sempat mencari-cari di kantin tapi enggak bertemu, Manda.”   Arios merayapi wajah Amanda dengan kedua matanya, ada kerinduan yang mendalam namun tak diucapkannya lewat tutur kata. Natasya terlihat bete dengan adegan sinetron itu, terlebih karena Amanda telah mengacaukan acara bincang santai dengan Arios yang menyenangkan untuknya. Ketua kelas 11 MIPA 1 itu pergi meninggalkan mereka tanpa pamit. Mantan Ketua OSIS itu tidak mempedulikan kepergian Natasya itu. “Maaf, Kak. Tadi aku mengantar Ayisha keliling sekolah setelah ke kantin sebentar,” kata Amanda sambil menoleh ke arah temannya yang berambut pirang. “Halo, Kak,” sapa Ayisha sambil menjulurkan tangannya ke arah Kakak kelasnya itu. “Aku Ayisha teman sekelasnya Amanda, Kak.” “Ayisha, nama yang bagus. Namaku Arios Sumpah Palapa, kelas 12 IPS 1.” “Nama yang bagus juga, Kak.” Ayisha balas memuji Mantan Ketua OSIS itu dengan sebuah senyum di wajahnya. “Aku pikir tadi saat melihatmu kamu itu akan terbata berbicara bahasa Indonesia, Ayisha,” kata Arios dengan senyum kecil. “Ini tahun keduaku di Indonesia, Kak. Jadi sudah tidak menyulitkan bagiku, lagi pula aku walau seperti ini ada separuh darah Indonesia di dalam tubuh.” “Oh ya?” “Papaku kelahiran Surabaya, Almarhum Mama berkebangsaan Amerika, Kak.” “I see, keren, Ayisha.” Sebuah senyum melengkapi jempol tangan yang diberikan oleh Mantan Ketua OSIS itu untuk gadis berambut pirang di depannya. Amanda sempat tidak senang melihat dialog antara dua orang yang baru kenal itu, ada khawatir yang merambati dadanya. Bel terdengar meraung keras, menandakan waktu istirahat sudah berakhir, suara siswa mulai riuh karenanya. Ada dari mereka yang mengutuk waktu istirahat yang sepertinya sangat cepat berakhir ada pula yang memang tidak ingin waktunya lebih panjang karena ingin kembali belajar atau karena tidak membawa uang saku. “Cepat banget dah waktu istirahat,” kata Arios sambil melihat jam tangannya. Dia menghela napas panjang karena memang sudah waktu masuknya kembali, waktu istirahat tetaplah sama ternyata. “Well, I have to go.” Mantan Ketua OSIS itu menatap satu persatu adik kelasnya yang berdiri mematung di hadapannya, nampaknya mereka pun merasa waktu istirahat berlangsung sebentar saja. “Iya, Kak. See you,” kata Ayisha sambil melambaikan tangan walau Arios belum beranjak dari berdirinya. “See you Ayisha,” kata Arios kepada gadis berambut pirang itu. Matanya beralih kepada gadis yang satu lagi. “Aku akan menelepon kamu nanti malam ya, Manda.” Tanpa sadar Amanda mengangguk pelan, entah apa alasannya. Sebenarnya gadis itu ingin menahan kepergian Mantan Ketua OSIS itu tapi apa daya dia tak bisa melakukannya, terlebih karena tidak ada apa-apa di antara mereka. Gadis berhidung bangir itu berharap bukannya kalimat ‘tidak ada apa-apa di antara mereka’ seperti yang disebutkannya tadi, tetapi ‘belum ada apa-apa di antara mereka’. *** Sebuah panggilan telepon masuk ke ponsel gadis itu, dia agak terkejut karena layar itu tertutupi oleh notifikasi panggilan dan nama si penelepon. Telunjuk kanan Amanda menekan tombol merah, dia menolak panggilan itu lalu dengan cepat menyimpan hasil ketikannya tadi sebelum panggilan kedua masuk lagi. Jika tadi dia langsung menerima telepon dari Arios tadi hasil imajinasinya akan raib dan terpaksa harus mengulang kembali merangkai kata dan kalimat itu menjadi paragraf. “Ada apa ya Kak Arios menelepon malam-malam? Eh, tadi kan memangnya dia janji mau telepon malam waktu di depan kelas, tapi kan itu cuma di bab n****+ yang aku ketik barusan, aslinya enggak. Aslinya tadi pagi itu aku menghindari bertemu dengan Babang Ganteng itu dari pada kacau karena dia mengetahui wujud asli dari Amanda Maharani Utami yang jauh dari yang dibayangkannya.” “Babang Ganteng, lumayan buat pengganti sapaan nama Kak Arios di n****+ Miss Perfect-ku,” gumam Amanda sambil tersenyum kecil. Gadis bertubuh gempal itu menatap layar ponselnya, dia berharapa panggilan kedua dari Arios akan masuk. Apa yang diharapkannya sia-sia setelah lebih dua menit harapannya tidak terjadi. “Apakah Kak Arios marah gara-gara tadi aku me-reject panggilannya? Duh, gimana kalau dia beneran marah? Bagaimana aku akan mendapatkan benih dari Abi calon anak-anakku nanti. Bisa berantakkan nanti hidup anak cucuku.” Amanda membuka chat dia dengan Arios beberapa malam lalu, gadis itu lalu mengetikkan kalimat ke nomor Mantan Ketua OSIS itu. “Maaf, Kak. Kepencet enggak sengaja, aku sedang mengetik tadi.” Sebuah emoticon telapak tangan bersatu menjadi pelengkap di belakang kalimat. Amanda menekan tombol ‘kirim’, mata gadis itu menatap layar ponsel itu memperhatikan apa yang terjadi dengan chat-nya itu. Belum genap semenit pesan itu berubah menjadi centang dua biru, rupanya Arios sudah menerima pesan yang dikirimkan gadis itu. Sebuah pesan masuk ke ponsel Amanda, namun hanya sebuah emoticon tertawa yang dikirimkan oleh Arios. Terlihat notifikasi di layar ponsel bahwa pemuda di ujung sana sedang mengetik, dengan penasaran gadis bertubuh gempal itu menunggu kalimat apa yang sedang dirangkai Mantan Ketua OSIS itu. “Sebenarnya aku tadi enggak sengaja menelepon kamu, Manda. Tertekan enggak sengaja. Tapi karena sekarang kamu sudah chat seperti itu hasratku untuk menelepon jadi menggelora,” tulis pesan itu. “Bolehkah aku menelepon kamu, tentunya jika tidak mengganggu kamu menumpahkan imajinasi. Ada hal yang ingin aku tanyakan.” “Boleh dong, Kak. Aku sedang mengistirahatkan jariku dulu ni, Kak.” Sedetik kemudian panggilan telepon dari Mantan Ketua OSIS itu masuk, rupanya Arios bersemangat sekali untuk menelepon orang yang ingin diketahui sosoknya itu. “Hai, Manda?” ujar suara di ujung sana sebagai pembukaan. “Halo, Kak. Apa kabar?” “Aku baik-baik saja, bersemangat untuk hidup. Kabar kamu gimana?” “Aku juga baik-baik saja, Kak. Masih bersemangat untuk hidup juga.” Amanda melengkapi kalimatnya dengan sebuah tawa karena menirukan apa yang diucapkan oleh Kakak kelasnya itu. “Alhamdulillah, tadi aku ke kelas kamu lho waktu istirahat, Manda.” “Ke kelasku, Kak?” ujar Manda. Gadis itu berpura-pura tidak mengetahui dengan apa yang disampaikan oleh Mantan Ketua OSIS itu. “Iya, kata Natasya kamu sedang istirahat dengan siapa itu namanya ya aku lupa, Ay … Ay apa gitu namanya.” “Ayisha, Kak. Dia siswa baru pindahan dari Surabaya.” “Nah itu, namanya adalah Ayisha. Tadinya aku mau menunggu kamu datang tapi keburu bel masuk lagi.” “Coba lagi, Kak. Anda belum beruntung,” kata Amanda dengan sebuah tertawa, terdengar Arios juga tertawa di ujung sana. “Kamu susah sekali menemuinya, Manda. Kemarin janjian di Saung Sehati juga enggak datang, hari ini enggak bisa ditemui. Aku makin penasaran dengan yang namanya Amanda Maharani Utami jadinya.” “Enggak usah penasaran seperti itu, Kak. Nanti kalau bertemu aku Kakak malah kecewa karena ternyata imajinasi telah mengkhianati Kakak.” Amanda berusaha meyakinkan soosk di ujung telepon sana. “Maksud kamu gimana?” tanya Arios dengan kerutan dahi yang tak terlihat oleh Amanda. “Imajinasi Kakak kan menggambarkan aku sesuai deskripsi Miss Perfect di n****+, gadis Hyperthemesia yamng kecantikannya membius banyak kaum Adam. Aku enggak seperti itu, Kak, aku enggak menarik sama sekali.” “Aku makin penasaran dengan sosok rendah hati seperti kamu, Manda. Aku jadi ingin sekali bertemu denganmu.” “Itu bukan rendah hati, Kak. Itu sebuah kenyatanan,” kata Amanda sambil menghela napas, dia berusaha merangkai kata sebaik mungkin untuk menyampaikan bahwa dia adalah Amanda Maharani Utami yang sama sekali berbeda dengan karakter maha perfect di n****+ online-nya. Suasana hening sejenak, mereka terjebak dalam pikiran masing-masing.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN