Berbincang Dalam Kesunyian

1001 Kata
Suasana di Warung Ibu perlahan mulai sepi, beberapa siswa sudah memutuskan untuk kembali ke kelas masing-masing karena 5 menit lagi bel akan meraung sebagai pertanda waktu istirahat sudah berakhir. Namun nampaknya Ferdian dan teman-teman satu gengnya masih betah di sana, terlihat tidak ada sedikitpun untuk segera beranjak. Beda halnya dengan yang dialami oleh Amanda, dia tertahan oleh pemuda bertubuh tinggi yang duduk di hadapannya. Mantan ketua OSIS itu seperti menatap dalam bertubuh gendut di depannya, tentu saja apa yang dilakukannya membuat Amanda tidak nyaman dan menjadi salah tingkah. Ayisha membiarkan saja yang terjadi dengan teman sebangkunya itu, dia sedikit mengetahui bahwa Amanda memendam rasa kepada Arios Sumpah Palapa itu. “Amanda,” kata Arios Gadis bertubuh gempal itu terkejut saat pemuda yang menjadi favoritnya itu menyebutkan namanya. Dari mana Kakak tahu namaku Amanda? Jangan-jangan Kakak sudah mengintip Lauhul Mahfudz untuk mencari tahu siapa sebenarnya calon Bunda untuk anak-anak Kakak yang dilahirkan dari rahimku? Amanda bertanya-tanya dalam hatinya, bagaimana Kak Arios tahu namanya adalah itu? Bukankah kemarin aku mengenalkan namaku adalah Rani? Mengapa sekarang dia memanggil Amanda? Jika Kakak kelasnya mengetahui namanya jangan-jangan dia tahu bahwa sebenarnya Amanda Maharani Utami adalah aku sosok yang maha perfect dalam n****+ tapi berbanding terbalik saat di dunia nyata. Gadis bertubuh gempal itu mengangkat wajahnya perlahan’ “Namamu Amanda Maharani Utami, kan?” Gadis itu diam. Dia tidak berani berterus terang siapa namanya yang sebenarnya karena hal buruk pasti akan terjadi beberapa menit ke depan. Gadis bertubuh gempal itu masih menunduk, dia bingung apa yang akan dikatakannya untuk menjawab pertanyaan Mantan Ketua OSIS itu. Kali ini dia tidak bisa mengelak atau menghindar seperti apa yang biasa dilakukannnya, Amanda menelan ludah. “Namamu bukan Rani kan?” tanya Arios lagi, kepala Amanda kian terbenam dalam menunduknya. “Jawab, Manda. Jangan hanya diam, kesunyian tak akan menyelamatkan kamu kali ini. Aku menyesalkan sekali kamu menghindar terus-terusan dariku dan mengaku-ngaku namamu adalah Rani.” Suara bel terdengar sayup, itu adalah pertanda jam pelajaran setelah istirahat akan dimulai sebentar lagi. Ini adalah kesempatan yang harus diambil untuk menyelamatkan diri dari Arios, setidaknya menundanya beberapa jam sampai dia siap untuk bicara. “Manda, sudah bel?” ujar Ayisha membuyarkan ketegangan yang terjadi antara Amanda dan Arios. Gadis bertubuh gempal itu menoleh, dia merasa sepertinya Ayisha memahami apa yang sedang terjadi dengan dirinya. “Kita enggak ke kelas ni, Man? Nanti kita tertinggal, tadi katamu bukannya mau ada ulangan setelah istirahat?” kata Ayisha lagi menyusulkan kalimatnya. Amanda mengangguk pelan, dia berusaha memahami kalimat yang dilontarkan oleh teman sebangkunya itu. Ternyata memang benar gadis berambut pirang itu memahami apa yang sedang terjadi antara dirinya dengan Arios seperti dugaannya beberapa detik lalu, buktinya dia tak pernah mengatakan bahwa sehabis istirahat akan ada ulangan. Dari mana Ayisha mendapatkan ide seperti itu? “Maaf, Kak, aku harus kembali ke kelas mau ada ulangan setelah ini,” kata Amanda akhirnya memberanikan diri. Gadis tubuh gempal itu berdiri dari duduknya lalu menoleh ke teman sebangkunya. “Yuk, Ay. Nanti gurunya keburu masuk, bahaya nanti kita tidak diizinkan masuk kalau terlambat,” ajak Amanda yang dijawab anggukan oleh Ayisha. “Maaf ya, Kak. Aku pamit dulu,” ujar Ayisha sambil berdiri dari duduknya. “Iya, aku harap kita bisa jumpa lagi sepulang sekolah, Ayish,” kata Ferdian sambil ikut berdiri. “Sepulang sekolah, Kak?” Ayisha mengernyitkan dahinya karena dia sebenarnya agak malas menimpali Kakak kelasnya ini, walaupun bisa dibilang berwajah tampan tapi diajak bicaranya ‘kurang nyambung’. “Bisa, kan?” tanya siswa berambut gondrong itu memastikan. “Kita lihat nanti saja, mudah-mudahan bisa.” “Oke, sampai jumpa lagi sepulang sekolah.” “Aku pamit ya, Kak,” kata Ayisha sambil memasukkan tangannya ke dalam saku untuk mencari uang yang akan digunakan untuk membayar apa yang dimakan dan diminumnya. “Biar aku saja yang membayarnya, Ayish,” ujar Ferdian. “Jangan, Kak. aku enggak mau merepotkan.” “Enggak repot kok, nanti saja aku yang bayar apa yang kamu dan Manda makan. Lagian kalau kamu bayar dulu malah agak lama nantinya, bisa-bisa telat masuk nanti.” “Terima kasih ya, Kak. Kak Ferdian baik sekali,” kata Ayisha sambil mengangguk ke arah siswa berambut gondrong itu. “Terima kasih ya, Kak Ferdian.” Amanda mengucapkan kalimat yang sama. Kedua gadis siswi kelas 11 MIPA 1 itu beranjak meninggalkan Warung Ibu, mereka terlihat tergesa karena jika tidak pasti akan telat masuk kelas. Sebelum masuk ke kelas mereka harus melewati gerbang sekolah yang hanya diberikan toleransi 5 menit untuk mereka ya g telat masuk kembali setelah istirahat. “Terima kasih telah menyelamatkan aku tadi, Ay,” kata Amanda sambil berjalan tergesa. Gadis berambut pirang itu menoleh ke arah Amanda, sebuah senyum terlihat di wajahnya. Ayisha seperti menikmati apa yang baru saja terjadi di Warung Ibu. “Kamu memang ada apa dengan Kakak Jangkung itu, Manda? Sepertinya ada sesuatu di antra kalian namun belum terpecahkan.” “Ceritanya panjang, Ay,” balas Amanda sambil menoleh. “Kita punya beberapa menit sebelum sampai gerbang.” “Enggak akan cukup, seperti aku bilang ceritanya lumayan panjang.” “Aku siap kapanpun kamu siap bercerita, Manda.” “Sepulang sekolah? Eh, sepulang sekolah kamu sudah ada janji dengan kak Ferdian ya?” “Apa’an sih, Manda. Ganteng sih ganteng cuma otaknya lambat.” “Lambat? Lambat gimana?” “Kayak kita sebentar lagi, yang akan lambat karena berbincang dengan orang yang otaknya lambat,” kata Ayisha dengan sebuah senyum di wajahnya. “Apa’an sih, Ay.” Amanda menimpalinya dengan tertawa lebar. Terlihat seorang satpam muda sedang mendorong pintu gerbang sekolah, nampaknya toleransi 5 menit yang diberikan sudah habis. Kedua gadis itu lebih mempercepat lagi langkahnya supaya masih bisa masuk. “Pak, tunggu, Pak. Jangan dikunci dulu gerbangnya,” kata Amanda setengah berteriak. Satpam muda itu menoleh ke arah sumnber suara, dia lalu melihat jam tangannya memastikan apakah masih bisa ditoleransi keterlambatan mereka. Kepala pemuda di depan gerbang SMA PB itu menggeleng melihat kedua gadis yang seperti Kutub Utara dan Kutub Selatan itu. "Kalian terlambat lebih dari lima menit," kata satpam muda itu
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN