Udara dingin pagi dan lantunan azan di kejauhan membuat tidurku yang sedikit gelisih terjaga dengan sempurna.
Mataku langsung menyapu ke tempat di mana Isrina semalam tidur, berharap perempuan itu masih terbaring dan memejamkan mata. Aku tersenyum mengingat semalam aku berhasil memaksa Isrina tidur di kamarku.
Rasa bahagia itu masih menggores jelas di d**a. Bisa melihat wajah teduhnya, menatap senyum hangatnya atau cuma menatap binar matanya yang bening adalah sebuah anugerah bagiku.
Aku masih celingukan. Sepertinya aku lupa, Isrina selalu terjaga dalam keheningan di sepertiga malam, bersimpuh dalam cucuran air mata dan doa. Lantunan ayat-ayat suci biasanya menjadi penutup dari simpuhnya yang panjang sampai subuh menjelang.
Menjelang azan berkumandang, biasanya Isrina akan bangkit membangunkanku. Dengan goyangan halus atau tepukan di pipiku biasanya menjadi pertanda kalau aku harus segera bangkit dan sesegera mungkin bergegas ke Masjid terdekat.
"Ayo, Mas bangun!"
"Mas,laki-laki sejati adalah laki-laki yang selalu berusaha menjaga sholat berjamaah. Temui Allah di sana sayang, dan selipkan namaku di dalam doamu." Itu selalu katanya mengusel-ngusel pipiku yang pura-pura terlelap dengan gemas. Rasanya kenangan yang kurasa menjengkelkan kala itu berubah semanis madu.
Aku rindu goyangan tangannya yang mesra di pipiku. Aku rindu cubitan gemas yang lumayan pedih, kalau aku malah melingkarkan tanganku di pinggangnya pertanda malas bangun.
"Mas, aku siram ya."
Ancamnya melihat aku yang malah meleat-meleot. Urusan sholat, Isrina lumayan galak dan judes.
Kupejamkan mata sejenak berharap ada tangan halus yang mencubit pinggangku atau ada suara cerewet yang menyuruhku bangun untuk segera menunaikan sholat berjamaah.
Hening, tak ada pelukan dan cubitan yang menggemaskan itu. Sepertinya jarak sudah sedemikian menganga di antara aku dan Isrina.
Aku mendesah pelan, bayangan tubuh Isrina yang mendekatiku membuatku replek menutup mata, pura-pura tidur. Aku berharap dia mendekatiku dan mulai menggoyangkan punggungku.
Rencanaku rupanya berhasil, Isrina mulai duduk di sisi ranjangku, mengusap pipiku.
"Bangun, Mas" Suara halusnya mengingatkan pada kenangan saat kami masih akur.
Aku pura-pura tidak mendengar dan mulai melingkarkan tanganku di pinggangnya, rindu sekali.
"Mas, ah...." Isrina cepat me ggeser, sepertinya dia sangat risi dengan pelukanku.
"Kenapa,Rin?"
Tanyaku pura-pura keheranan.
"Maaf, aku harus segera membereskan semua barangku. Mamang Habibi, siang nanti menjemputku."
"Rin."
Aku berusaha meraih pinggang Isrina. Sehingga sebuah cubitan pedes menghujam di pinggangku.
"Sholat Mas, kalau tidak aku siram." Ancamnya judes, aku terkekeh mengangangkat tubuhku mengambil posisi duduk.
"Peluk aku, Rin. Kalau tidak, suamimu yang ganteng ini mau rebahan lagi. "
"Mas...ih. "
Seru Isrina jengkel, tapi tak urung tubuhnya jatuh dalam pelukanku. Ku dekap tubuh itu erat, berharap jam berhenti berputar agar aku bisa memeluknya lebih lama.
"Terimakasih sayang, pernah menjadi bagian terindah dalam hidupku," bisikku di telinganya.
Ku tatap matanya yang teduh, kuhapus air mata yang menganak di sudut matanya.
"Terimakasih sudah berusaha mencintaiku," Jawabnya sendu.
Kudekap tubuh itu lebih dalam lagi, saat suara azan subuh berkumandang perlahan ku urai lingkaran tanganku di tubuhnya.
"Mas, ke mesjid dulu ya." bisikku di telinganya yang di jawab dengan anggukan dan senyum termanisnya. Sebuah kecupan kecil ku daratkan di keningnya.
Ada perasaan yang luruh di hatiku, mungkin ini adalah kecupan terakhirku.
****
Aku menjejakkan kaki di halaman rumahku, ingin segera sampai dan merebahkan tubuh lelahku. Di kantor banyak kerjaan, banyak berkas yang harus kupelajari dan jadwal meeting untuk proyek baru membuatku pulang agak malam.
Suasana rumah begitu hening, lampu sebagian sudah dinyalakan Bi Asih seperti biasa.
Aku tertegun ada yang hilang dari pandanganku, bilah dinding yang kosong. Tak ada lagi foto-foto pernikahanku dan Isrina, juga foto-fotoku dan Isrina sewaktu berlibur dan acara keluarga lainnya, yang tertinggal hanya foto-foto diriku dan beberapa foto Papa dan Mama di bilah dinding lainnya.
Isrina telah membawa jejak dirinya di rumah ini, membawa semua kenangan yang tertinggal, menyisakan sunyi.
Suasana rasanya begitu sepi, setelah tadi pagi aku masih melihat wajah teduh itu tersenyum di ujung meja makan dan membuatkan sarapan berupa nasi goreng mata sapi kesukaanku dan segelas teh manis panas.
Aku menghela napas, tak terasa ada rasa sakit di ujung hati, bisa jadi itu adalah nasi goreng terakhir yang di buatkan Isrina di rumah ini.
Suara detak jam terasa nyaring, dengan enggan aku melangkah ke kamar berharap menemukan sepotong foto Isrina yang tertinggal.
Seperti ruang keluarga dan ruangan lainnya di rumah ini, kamarpun sunyi. Dinding nya terasa lengang, tak satupun foto perempuan itu tertinggal.
Aku perlahan membuka lemari pakaianku, berharap ada sepotong baju Isrina yang tertinggal bersama bajuku.
Baju tertata rapi, lebih rapi dari kemarin-kemarin sebelum isrina hadir semalam, sepertinya Isrina membereskan lemariku sebelum pergi.
Isrina memisahkan baju kantor, baju santai, kaos dalam sampai dasiku di tempat yang berbeda, membuat lemari rasanya lebih lapang. Sentuhan seorang istri memang luar biasa. Sayang aku tidak menemukan satupun baju Isrina di lemariku, perempuan itu telah membawa semua barangnya di rumah ini, berharap tidak meninggalkan jejak agar aku bahagia dengan kehidupan baruku bersama Anggita.
Aku mematung, merasakan hampa yang menyelimuti hatiku.
Isrina bisa saja membawa semua miliknya dari rumah ini, tapi jejaknya di hatiku tidak akan terhapus.
Aku butuh ribuan tahun agar bayangannya sirna dalam hidupku. Atau berapapun jarak dan waktu telah memisahkan, kenangan tentang dia akan selalu hadir dalam hatiku.
Aku mengedarkan pandangan, menghalau rasa sepi yang kian mendera hatiku. Tak sengaja mataku menangkap selembar kertas yang tergeletak di atas nakas di samping tempat tidurku. kertas putih tidak bersampul yang sepertinya sengaja di letakkan Isrina, membuatku penasaran.
Aku membukanya dengan d**a sedikit gemuruh.
[ Mas, jam sembilan pagi Mamang Habibi menjemputku, untuk sementara sambil menunggu sidang ikrar talak dua hari lagi, aku kembali ke rumah Bibi Halimah.
Mas, semua bajumu kurapihkan, berkas-berkas dan laporan pekerjaanmu yang banyak bercecer juga sudah kurapihkan di ruang kerja, jaket dan baju hangatmu kusimpan di tempat yang terpisah agar Mas gampang mengambilnya.]
Sampai di sini dadaku bergemuruh, kenangan Isrina yang selalu telaten melayaniku menari-nari lagi di benakku.
[Aku juga sudah menulis menu kesukaanmu dan makanan yang tidak kamu sukai, aku tulis di buku merah yang kusimpan di laci lemari. kalau kamu sudah menikah, berikan sama Anggita, jika ada waktu senggang dia bisa mulai belajar memasak untukmu.]
Tak terasa ada air mata yang menganak di sudut mataku.
[Mas, ini ATM dan buku tabunganmu yang biasa ku pegang, kukembalikan padamu. Aku simpan, bersama surat-surat penting milikmu di lemari.]
Sampai disini dadaku
rasanya sakit, dengan tangan bergetar kubuka lembar terakhir.
[Mas, terimakasih sudah memberiku kesempatan menemani hidupmu.
Terimakasih sudah menggores seribu kenangan indah dalam hatiku.
Terimakasih kau sudah mencintaiku.
Maafkan segala hilaf dan kekuranganku selama mendampingimu. Aku selalu berharap di pernikahan keduamu, kau selalu bahagia.
Sekali lagi maafkan aku.
Sampai jumpa di persidangan.]
Runtuh sudah airmataku. Surat putih berisi goresan tinta Isrina jatuh bercecer di lantai kamar.