Di Balik Pintu Kamar No. 1

2278 Kata
Silla tengah menyendiri di kamarnya, malam telah tiba dan dia sama sekali tidak mengantuk, ini karena kejadian hari ini tak bisa dia lupakan. Silla menatap ke arah jam di ponselnya dan mendengus mendapati waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. “Huh, kenapa malam-malam begini aku malah ingin ke toilet segala? Menyusahkan kalau tidak ada kamar mandi di dalam kamar.” Silla menggerutu jengkel karena kondisi kamarnya yang memang tak terdapat kamar mandi sehingga dia harus keluar kamar jika ingin ke toilet seperti sekarang. Silla yang sedang merebahkan diri di tempat tidur pun beranjak bangun, lalu berjalan keluar dari kamarnya. Suasana begitu sepi di tengah apartemen mengingat hanya Silla dan Ardo yang menetap di sana. Bi Imah selalu pulang ke rumahnya setiap selesai menyiapkan untuk makan malam. Sebelum melangkah menuju kamar mandi yang berada di dekat dapur, Silla tertegun sejenak. Tatapannya tertuju pada pintu kamar Ardo yang tertutup rapat. Kamar pria itu berada tepat di samping kamar Silla. “Kak Ardo pasti sudah tidur.” Silla bergumam seorang diri meyakini sang suami pasti sudah tertidur pulas di jam ini. Raut wajah sendu seketika terbesit di wajahnya, dia meratapi pernikahannya yang menyedihkan ini. Padahal seharusnya dia tidur sekamar dengan sang suami, bukannya terpisah seperti ini. Lantas untuk apa dia tinggal di apartemen itu jika Ardo tidak pernah memperlakukannya layaknya seorang istri? Lagi dan lagi Silla meragukan keputusannya menikahi Ardo memang tepat. Silla pun melanjutkan langkahnya yang tertunda menuju kamar mandi, dengan cepat dia menyelesaikan aktivitasnya yang ingin buang air kecil. Setelah selesai, dia pun bergegas keluar, siap kembali ke kamarnya dan kali ini dia berniat untuk tidur. Namun, langkah Silla seketika terhenti karena mendengar suara langkah kaki yang mendekat, Silla yakin itu pasti suara langkah kaki Ardo mengingat hanya mereka berdua yang tinggal di sana. Silla pun menyembunyikan diri dengan bersembunyi di balik dinding menuju dapur yang sedikit menjorok. Dia tak ingin berpapasan dengan Ardo karena masih kesal dengan kejadian tadi siang. Dia mengintip ke depan dan benar saja sosok Ardo akhirnya terlihat. Pria itu membuka pintu dan pergi begitu saja. Silla pun langsung keluar dari tempat persembunyiannya. “Mau pergi ke mana, Kak Ardo?” Silla bertanya pada dirinya sendiri, terheran-heran karena sang suami pergi di tengah malam seperti ini. Awalnya, Silla berniat tak peduli dan ingin kembali ke kamarnya, tapi karena teringat pada kejadian menyebalkan tadi siang di mana teleponnya diangkat oleh seorang wanita, Silla pun berubah pikiran. “Jangan-jangan Kak Ardo berniat pergi menemui wanita yang mengangkat teleponku tadi.” Silla melebarkan mata karena menyadari pemikirannya itu mungkin saja benar. Tentu saja dia tak mungkin tinggal diam. Dia ingin membuktikan sendiri dengan mata kepalanya benarkah pemikirannya benar bahwa Ardo berselingkuh di belakangnya? Tanpa pikir panjang Silla masuk ke kamar, mengambil sweater-nya yang tergantung di gantungan pakaian, Silla mengenakannya dengan cepat. Setelah itu, dia pun bergegas pergi untuk mengikuti ke mana Ardo pergi. Beruntung mobil Silla sudah diantarkan pihak bengkel sehingga dia tak kesulitan mengikuti mobil Ardo. Begitu tiba di tempat parkir, Silla melihat Ardo masih berada di dalam mobilnya, tengah duduk di kursi kemudi, ponselnya menempel di depan telinga pertanda pria itu sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Silla masih memperhatikan dari kejauhan, dia bersembunyi di belakang mobil orang lain, mengingat mobilnya diparkir tepat di samping mobil Ardo. Tak lama kemudian, mobil Ardo pun melaju meninggalkan area parkir apartemen, sedangkan Silla berlari menuju mobilnya, dengan cepat masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil itu dengan kecepatan tinggi meninggalkan area parkir apartemen karena takut tak bisa menyusul mobil Ardo. “Hah, itu dia mobil Kak Ardo.” Silla mengembuskan napas pelan begitu mobilnya sudah bergabung di jalan raya dan dia berhasil menemukan mobil Ardo yang melaju di depan sana. Mengingat ini tengah malam, tak banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya sehingga tak sulit bagi Silla mengikuti mobil Ardo. “Mau ke mana sih Kak Ardo pergi malam-malam begini?” Silla masih tak mengerti kenapa suaminya itu pergi di tengah malam, rasa penasarannya semakin naik ke permukaan. Lama mobil Silla mengikuti mobil Ardo hingga tiba-tiba pria itu menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung. Silla meneguk ludah karena tahu betul gedung itu merupakan tempat yang tidak pernah dia datangi sebelumnya, kendati demikian Silla tahu itu sebuah kelab. “Kak Ardo mau minum-minum lagi di tempat ini?” Silla menggelengkan kepala tak percaya mengingat tadi siang pun aroma minuman keras menguar dari tubuh pria itu. Silla memang belum pernah menginjakan kakinya di tempat seperti itu, tapi demi menuntaskan rasa penasarannya, dia memberanikan diri masuk ke dalam. Silla refleks menutup telinganya ketika hiruk pikuk keramaian di dalam kelab menusuk gendang telinganya, apalagi suara musik yang menggelegar serasa memekakan telinga. Kendati demikian, Silla tetap melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Kedua matanya bergulir menatap sekeliling kelab, tentu saja dia sedang mencari sosok Ardo yang entah ada di mana sekarang. “Di mana Kak Ardo?” gumam Silla mulai frustrasi karena di tengah-tengah keramaian banyak orang itu, dia kesulitan mencari sosok Ardo. Silla terus menggulirkan mata hingga akhirnya dia pun menemukan orang yang dia cari sejak tadi. Dia melihat Ardo sedang duduk di salah satu sofa. Meja di depannya penuh dengan makanan dan botol minuman keras. Ardo tampaknya sedang terlibat perbincangan dengan rekannya yang entah siapa karena Silla sama sekali tak mengenalnya. Yang jelas dia seorang pria yang jika dilihat dari perawakannya seusia dengan Ardo. Silla mungkin tak akan merasa kesal jika saja dia tak melihat ada beberapa wanita seksi yang juga duduk menemani Ardo dan rekannya tersebut. Wanita-wanita itu mengenakan pakaian terbuka yang membuat mereka terlihat begitu menggoda, tentu saja bisa membangkitkan gairah para pria nakal. Silla mengepalkan tangannya melihat ada dua wanita yang duduk di samping kanan dan kiri suaminya, sedangkan wanita-wanita yang lain duduk di samping rekan Ardo seolah para wanita itu berada di sana karena sudah dibayar untuk melayani kedua pria itu. Silla terus memperhatikan dari kejauhan apa yang dilakukan suaminya yang tampaknya tak menyadari kedatangannya ke kelab itu. Silla yakin Ardo tak sadar dirinya tengah diikuti. “Hei, Nona. Mari berdansa bersamaku.” Silla terkejut bukan main karena tiba-tiba ada seorang pria yang menghampirinya dan mengajaknya berdansa. Pria itu terlihat sempoyongan, bau alkohol begitu menyengat menguar dari mulutnya, terlihat jelas pria itu sedang mabuk. Apalagi kedua matanya pun tampak memerah karena sudah mabuk berat. Silla refleks membekap hidungnya karena tak kuasa menahan aroma menyengat yang tak sedap itu, kepalanya pun menggeleng sebagai penolakan. “Tidak, terima kasih.” Silla mencoba menolak dengan sopan karena tak ingin membuat pria itu tersinggung. Silla pun berniat pergi, tapi pria itu sekali lagi melakukan tindakan tak terduga, dan kali ini mulai berani bersikap kurang ajar. Dia menangkap salah satu tangan Silla, memaksa wanita baik-baik yang tak pernah mendatangi kelab itu untuk ikut bersamanya. Tentu saja Silla tak tinggal diam, dia menepis kasar tangan si pria mabuk. “Jangan kurang ajar Anda pada saya.” Namun, ucapan Silla tak digubris pria itu, dia tetap memaksa Silla untuk ikut dengannya. Silla panik bukan main, bukan hanya memberontak mencoba melepaskan diri, kali ini dia bahkan mulai melakukan perlawanan. Silla mendorong d**a pria itu sehingga terjengkang ke belakang. Kondisi pria itu yang sedang mabuk berat sehingga mudah bagi Silla untuk menjatuhkannya. Akibat kejadian itu kekacauan pun terjadi karena si pria yang terus memaksa Silla untuk ikut dengannya. Beruntung banyak orang yang menyaksikan kejadian itu dan mereka membantu Silla. Pria itu diseret keluar oleh security yang menjaga keamanan di kelab tersebut. Sedangkan Silla kini tengah duduk di depan meja bar, tengah menenangkan diri karena sungguh dia masih ketakutan sekarang. “Anda baik-baik saja?” tanya seorang wanita yang sepertinya bekerja sebagai bartender di kelab tersebut. Silla menoleh dan melihat wanita bartender itu memberikannya segelas air putih. “Silakan diminum dulu, Anda sepertinya sangat ketakutan.” Tanpa pikir panjang lagi, Silla meneguk air dalam gelas itu hingga tandas hanya dengan sekali tegukan, sungguh jantungnya berdetak cepat sekarang. “Terima kasih,” ucapnya seraya mengembalikan gelas yang telah kosong itu. “Saya baru pertama kali melihat Anda datang ke kelab ini?” “Saya memang tidak pernah datang ke kelab ini sebelumnya,” sahut Silla, terus terang. Sang wanita bartender itu pun berdecak. “Oh, pantas Anda sampai ketakutan begini karena orang yang biasa datang ke sini pasti sudah terbiasa jika ada p****************g yang mengganggu.” Silla meringis, tak mengerti kenapa banyak orang yang senang sekali menghabiskan waktunya di tempat seperti ini karena jika itu dirinya, dia tak tahan berlama-lama di sana. Rasanya ingin segera pergi jika saja dia tak ingat sedang membuntuti sang suami. “Kenapa Anda datang ke sini kalau sebelumnya tidak pernah datang?” Atensi Silla kembali tertuju pada sang wanita bartender yang sekali lagi melontarkan pertanyaan padanya. “Saya ada urusan di sini.” Tatapan Silla lantas tertuju pada sederet nama yang ditempel di seragam wanita bartender itu. Ternyata wanita itu bernama Meilia. Silla menelisik penampilan Meilia, tak dia pungkiri wanita itu memiliki paras yang cantik dan tubuh yang ideal. Terlihat semakin menawan dengan seragam yang dikenakannya karena seragam itu begitu terbuka dan seksi. Silla menyayangkan Meilia bekerja di kelab itu mengingat dia memiliki tubuh dan wajah yang sempurna, menurutnya wanita itu bisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik dibandingkan menjadi bartender di kelab tersebut. “Oh, memangnya ada urusan apa? Apa Anda sedang menunggu seseorang?” Ditanya seperti itu oleh Meilia, seketika Silla teringat pada Ardo yang menjadi alasannya datang ke tempat itu. Silla spontan berdiri dari duduknya ketika melihat Ardo yang sedang bermesraan dengan kedua wanita yang duduk di sampingnya. Satu wanita terlihat duduk di pangkuan Ardo, sedangkan wanita yang satu lagi tengah asyik menyuapi Ardo. Rupanya Ardo sudah selesai berbincang dengan rekannya karena terlihat rekan Ardo itu pun sedang bersenang-senang dengan wanita yang duduk di sampingnya. Melihat pemandangan itu Silla geram bukan main, apalagi menyaksikan Ardo yang tampak menikmati bermesraan dengan kedua wanita itu. Silla tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Anda kenapa?” tanya Meilia yang heran melihat reaksi Silla. Dia juga menyadari Silla sedang tersulut emosi jika dilihat dari wajahnya yang memerah. “Pria yang ada di sana …” Silla menunjuk Ardo dengan dagunya. “… dia itu suami saya.” “Hah? Benarkah? Maksudnya Pak Ardo suami Anda?” Silla refleks menoleh pada Meilia yang memekik terkejut, rupanya wanita itu pun mengenal Ardo. “Kamu mengenal suami saya?” tanya Silla. Meilia pun tersenyum tipis seraya mengangguk. “Ya, saya mengenal Pak Ardo karena sering datang ke kelab ini.” “Suami saya sering datang ke kelab ini?” “Ya, hampir setiap hari.” Silla pun terbelalak, tak menyangka pria cinta pertama yang telah resmi menjadi suaminya itu ternyata memiliki kebiasaan buruk seperti ini. Silla membekap mulut, sulit mempercayainya. “Jangan-jangan setiap hari dia menghabiskan waktu dengan wanita-wanita panggilan di sini?” tanya Silla, tapi Meilia tak menjawabnya. Wanita itu hanya tersenyum canggung dan Silla paham betul apa maknanya. Silla memicingkan mata ketika melihat Ardo yang bangkit berdiri dari duduknya, diikuti kedua wanita yang sejak tadi terus menempel padanya. “Kamu tahu ke mana mereka akan pergi?” tanya Silla. “Hm, entahlah. Tapi mungkin mereka akan pergi ke kamar.” “Kamar?” Silla kembali terbelalak. “Maksudnya di sini disewakan kamar juga?” “Ya, tentu saja. Karena banyak pengunjung yang biasanya ingin menghabiskan malam di sini.” “Huh, pasti mereka melakukan hal tak senonoh, kan? Artinya Kak Ardo juga …” Silla tak sanggup melanjutkan perkataannya, dia terlalu sakit hati memikirkan Ardo yang mungkin sering menyewa kamar di tempat itu bersama wanita-wanita yang sudah dia bayar untuk melayaninya. “Di mana letak kamar yang biasa disewakan di sini?” Silla kembali bertanya ketika melihat Ardo dan kedua wanita itu kini benar-benar pergi. “Lurus saja ke depan, setelah melewati pintu itu Anda akan bertemu dengan resepsionis. Anda bisa memesan kamar padanya.” “Ah, baik. Terima kasih ya Meilia,” ucap Silla, benar-benar berterima kasih pada sang bartender yang baik hati itu karena sudah membantunya dan memberikan informasi penting padanya. Silla mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya pada Meilia. “Eh, apa ini?” “Sebagai ucapan terima kasih dari saya. Sudah, ya. Saya mau ke sana dulu.” Tanpa menunggu respons Meilia yang sepertinya berniat menolak uang pemberiannya itu, Silla pun melangkah cepat menuju tempat yang dikatakan Meilia tadi. Benar saja memang ada meja resepsionis di balik pintu, terdapat banyak pula kamar yang disewakan di sana layaknya sebuah hotel. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya sang resepsionis pada Silla yang terlihat jelas sedang mengedarkan mata ke sekeliling, mencari keberadaan Ardo. “Saya ingin bertanya di mana kamar yang dipesan oleh Adelardo Agustine Pranaja?” Kening sang resepsionis mengernyit. “Maaf, untuk apa Anda ingin mengetahui kamar yang dipesan Pak Ardo?” Silla mendengus, bahkan resepsionis itu pun terlihat sudah sangat mengenal Ardo, ini bukti tak terbantahkan Ardo memang sering menyewa kamar di tempat itu. “Sudahlah, beritahu saja di mana kamar yang dipesan Ardo.” “Tidak bisa begitu, saya ….” “Saya istrinya,” sela Silla cepat karena tak tahan lagi menghadapi sang resepsionis yang begitu cerewet dan bertele-tele. “A-apa? Jadi Anda istri Pak Ardo?” Resepsionis yang seorang wanita muda itu sepertinya sangat terkejut mengetahui hal ini. “Iya, cepat beritahu saya kamar mana yang dipesan suami saya.” “Kamar nomor satu.” Setelah mendapat jawaban itu, Silla tak membuang waktu lagi. Bergegas dia menuju kamar nomor satu yang dimaksud sang resepsionis. Namun, dia mematung di tempat ketika sudah berdiri di depan pintu di mana pada daun pintu tertera angka satu. Ardo sedang ada di dalam kamar itu bersama dua wanita yang tadi bersamanya. Tiba-tiba Silla ragu untuk membuka pintu, takut hatinya tak sanggup menyaksikan apa yang tengah dilakukan sang suami di balik pintu tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN