Permintaan Terakhir

1152 Kata
Hari ini melelahkan, itu yang dirasakan pria berparas tampan yang tengah berjalan di koridor kantornya seraya melepaskan dasi yang sejak tadi melingkar di lehernya. “Selamat sore, Pak.” Suara sapaan itu berasal dari salah seorang karyawan yang menyapa, tapi diabaikan sepenuhnya oleh pria tersebut, terlihat tak berminat sedikit pun menanggapinya. Langkahnya tegap dan cepat, sudah tidak sabar ingin segera menaiki mobil dan pulang ke rumah. Bukan tanpa alasan pria itu terlihat terburu-buru, hal ini karena dia harus segera menemui sang ibu yang baru saja meneleponnya, meminta untuk segera pulang ke rumah. Begitu tiba di tempat parkir, dia bergegas menuju mobil mewahnya yang terparkir sempurna di barisan depan. Lalu mobil mewah nan mahal itu pun mulai melaju meninggalkan area Pranaja Group, sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang otomotif dan apartemen. Kini mobil itu berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya yang padat merayap di sore hari. Hampir satu jam waktu yang dibutuhkan pria itu untuk tiba di rumahnya. Begitu dia menekan bel yang berada di samping pintu rumah, seketika pintu itu terbuka dan menampilkan seorang asisten rumah tangga yang tersenyum ramah melihat kedatangan sang majikan. “Nyonya sudah menunggu Anda di perpustakaan, Tuan Muda,” ucap sang asisten rumah tangga yang dari perawakannya terlihat berusia sekitar 50 tahunan. Dia seorang wanita paruh baya yang sudah mengabdikan hidupnya bekerja di rumah keluarga Pranaja. “Iya, Bi. Aku akan ke sana sekarang,” sahut si pria seraya melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah berjalan, dia kembali berhenti dan menoleh pada sang asisten rumah tangga. “Bibi tahu kenapa ibu memanggilku kemari?” “Saya tidak tahu, Tuan Muda. Nyonya tidak berpesan atau menceritakan apa pun pada saya.” Pria itu menghela napas panjang, semakin penasaran apa gerangan yang membuat ibunya begitu memaksa dirinya untuk pulang ke rumah secepatnya hari ini. Tak ingin membuang waktu lagi, pria itu pun melanjutkan langkahnya yang tertunda, dia berjalan menuju perpustakaan di mana ibunya berada. “Masuk!” Teriakan itu terdengar begitu si pria mengetuk pintu ruang perpustakaan. Begitu pintu terbuka, sosok wanita yang masih terlihat cantik meski usianya tak lagi muda itu tengah duduk di sofa sambil memegang sebuah buku. Wanita itu tidak lain adalah Lidya. Dia tersenyum sumringah melihat putranya datang guna mengabulkan permintaannya. “Ardo, kemari,” pinta Lidya seraya melambai-lambaikan tangan dengan semangat, memberi isyarat pada putranya untuk mendekat. Ya, pria itu merupakan Adelardo Agustine Pranaja, putra kesayangan Lidya yang berniat dia jodohkan dengan Silla. Ardo menurut, dia berjalan mendekat dan mendudukan diri di sofa, tepat di samping sang ibu. “Ada apa Mama menyuruhku pulang ke rumah?” Lidya berdecak, tak suka mendengar pertanyaan sang putra. “Memangnya harus ada alasannya jika Mama memanggilmu ke rumah? Kamu sudah lama tidak pulang ke rumah, Ardo. Mama rindu sama kamu, memangnya kamu tidak rindu pada Mama?” Ardo mendengus, tidak heran mendengar ibunya merajuk seperti itu. “Aku sibuk di kantor, Ma.” “Ya, tapi bisa kan kamu mampir sebentar ke rumah? Sudah hampir satu bulan kamu tidak pulang ke rumah ini dan memilih tinggal di apartemen.” “Karena apartemen itu dekat dengan kantor, tentu saja aku lebih memilih tinggal di sana, Ma.” “Makanya itu kamu tega sekali tidak menjenguk Mama dan adikmu.” Kali ini Ardo memutar bola mata, menurutnya sikap sang ibu terlalu berlebihan. “Mama ini kenapa, tidak biasanya bicara begitu, padahal bukan pertama kali aku jarang pulang ke rumah?” “Mama kan sudah bilang rindu sama kamu, Ardo.” Ardo tak berkomentar lagi karena dia tak ingin terus berdebat dengan sang ibu, bukan untuk berdebat dengan ibunya, dia pulang ke rumah orang tuanya tersebut. “Ya, ya, baiklah. Terserah Mama, tapi aku tidak akan menginap di sini. Setelah ikut makan malam, aku akan pulang ke apartemen.” Ardo bangkit berdiri dari duduk, dia hendak berjalan menuju rak karena ingin mengambil salah satu buku. “Do.” Namun, langkah Ardo terhenti ketika mendengar sang ibu memanggil dirinya, spontan dia menoleh pada Lidya yang masih duduk santai di sofa. “Hm, kenapa, Ma?” “Kamu mau ke mana?” “Mengambil buku.” “Duduk dulu di sini, ada yang ingin Mama bicarakan denganmu.” “Mama ingin bicara apa? Tunggu sebentar aku ambil buku dulu.” “Duduk dulu, Do. Mama ingin mengatakan sesuatu yang serius jadi Mama harap kamu bisa mendengarkan dengan serius juga.” Ardo memicingkan mata, terlihat mulai curiga melihat sikap ibunya yang aneh. “Cepat duduk sini, Do. Mama ingin bicara sekarang juga,” pinta Lidya seraya menepuk sofa di sampingnya yang tadi diduduki Ardo. Kali ini Ardo langsung menurut karena dia memang tak pernah sanggup menolak permintaan sang ibu, apalagi dia tahu ibunya itu serius dengan perkataannya. “Ada apa, Ma? Serius sekali,” tanya Ardo setelah kembali duduk tepat di samping wanita yang telah melahirkannya ke dunia. “Mama tadi pergi ke rumah sakit, Do.” Kedua mata Ardo melebar, terlihat khawatir begitu mendengar ucapan sang ibu. “Pergi ke rumah sakit? Memangnya Mama sedang sakit?” Ardo semakin khawatir ketika melihat raut wajah sang ibu tiba-tiba berubah sendu dan tampak sedih. “Ada apa, Ma? Mama sakit apa? Ceritakan padaku.” Lidya tak menjawab dengan kata-kata, dia menanggapi pertanyaan Ardo dengan menyerahkan sebuah amplop berukuran besar. Ardo bergegas menerimanya. “Apa ini, Ma?” “Hasil pemeriksaan laboratorium Mama, Do.” Mendengar jawaban sang ibu, dengan gerakan cepat Ardo membuka amplop tersebut di mana di dalamnya terdapat laporan kesehatan Lidya berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Detik berikutnya kedua mata Ardo membulat sempurna setelah membaca hasil test laboratorium tersebut. “Mama didiagnosis mengidap stroke, Do. Mungkin umur Mama tidak akan lama lagi.” “Jangan bicara sembarangan, Ma. Mama pasti baik-baik saja jika cepat diobati.” Lidya menggelengkan kepala, sudah tahu kondisinya tak sesederhana itu. Penyakit yang dia derita memang cukup serius. “Tidak, Do. Ini kenyataannya, umur Mama mungkin sudah tidak lama lagi atau bisa saja Mama tiba-tiba menjadi cacat.” “Ma, aku bilang ….” “Mama sudah pasrah, Do,” sela Lidya, memotong perkataan putranya yang belum selesai. “Tapi sebelum Mama meninggal, Mama ingin meminta sesuatu dari kamu.” Ardo meneguk ludah, selain karena dia begitu mengkhawatirkan kondisi ibunya, dia juga mulai merasakan firasat buruk. “Mama jangan bicara sembarangan, aku yakin Mama akan baik-baik saja. Mama pasti akan sembuh, bila perlu kita berobat ke luar negeri.” Sekali lagi Lidya menggelengkan kepala. “Tidak, Do. Mama bilang sudah pasrah dengan keadaan Mama. Tapi sekarang Mama punya satu permintaan padamu yang Mama harap sekali bisa kamu kabulkan. Dengan begitu sekalipun Mama meninggal, Mama sudah tenang dan tidak ada penyesalan apa pun lagi, Do.” “Memangnya Mama mau minta apa?” tanya Ardo, rasa penasarannya mulai naik ke permukaan. Lidya mengulas senyum tipis sebelum mulutnya kembali terbuka dan berkata, “Mama minta kamu secepatnya menikah dengan wanita yang Mama pilihkan untukmu.” Seketika Ardo meneguk ludah, ternyata firasat buruknya terbukti benar, sang ibu berniat menjodohkan dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN