9 - ADELL- Painting

1083 Kata
#ADELL# Gelenyar rasa yang tiba-tiba membelai perut, kuabaikan dengan memandangi karya-karya dua dimensi yang memenuhi ruangan. Tatiana pun sama terpesonyanya, meneliti satu demi satu lukisan yang ada di dinding. Sengaja aku memperlambat jalan, agar bisa membuat jarak dengan pria pemilik Manor ini. Barulah saat teman-teman lain sudah masuk ruangan, aku mengekor mereka ke arah Mr Avindale dan Lucas di satu sudut ruangan. Dari kejauhan terlihat benda yang tertutup kain ada di sana. "Apa ya itu?" tanya Tatiana. "Entahlah, ayo kita cari tahu." Teman-teman sudah sampai lebih dulu sehingga aku berada di deretan paling belakang. Kami berdiri melingkari benda tertutup kain itu. Sepertinya sih, kanvas yang dibentangkan pada spanram (tempat membentangkan kanvas, biasanya berupa kayu segi empat) dan diletakkan di atas kuda-kuda atau dudukan kanvas, alat untuk meletakkan kanvas saat melukis. Kelihatannya lukisan itu belum selesai, karena tidak langsung dipajang menggunakan pigora. Aku mengalihkan perhatian ke sudut dinding sebelah lukisan yang diselimuti kain itu. Di sana terdapat spanram, beberapa gulungan kanvas, juga berbagai peralatan melukis. Seperti cat minyak, kuas berbagai bentuk, pallet, pisau palet dan sebagainya. Bisa jadi sudut ini adalah studio lukis milik Lucas. "Oke. Ini dia," ujar Lucas membuka kain yang menutupi dudukan kanvas itu. "Wow!" pekik Mr. Avindale yang diikuti keriuhan gadis-gadis di depan. Aku berjinjit untuk melihat. Sungguh mengejutkan! Spontan tanganku menutup mulut yang menganga. "Aku kemarin membongkar loteng, dan menemukan beberapa lukisan realis anak perempuan ini. Yang lain masih, di sana," jelas Lucas. Itu ... itu ... lukisan itu ... buatan Mama. Gadis kecil yang dilukisnya adalah aku. Kugigit bibir sekuat tenaga untuk menahan ribuan perasaan yang datang berkecamuk. Tidak mungkin untuk mengekspresikannya di sini, saat ini. Akan sangat riskan, jika sampai ada yang tahu tentang siapa gadis kecil itu. Mr Avindale mendekat ke lukisan itu perlahan, satu tangannya menyentuh dagu sementara yang lainnya ada di pinggang. "Sebuah lukisan dengan objek seorang gadis kecil berambut merah. Menarik, cukup menarik." Setelah cukup lama terdiam, dia berbalik menghadap kami. "Baiklah, sesuai janji awal kami. Silakan tadi yang sudah mendaftar sebagi peserta kompetisi maju ke depan. Untuk yang lainnya diharapkan mundur," kata Avindale lagi. Lucas beringsut ke belakang, bersama dengan para gadis. Terlihat jelas dia kikuk saat berada di antara mereka. Namun, aku tidak terlalu memikirkannya. Justru perhatianku terfokus pada lukisan berukuran tujuh puluh lima kali lima puluh sentimeter tersebut. "Oke, siapa yang mau maju duluan?" tanya Mr. Avindale. "Saya!" Tatiana mengangkat tangan. "Silakan My Lady," kata Avindale. Menoleh padanya dan tersenyum, aku spontan ikut bertepuk tangan seperti siswa-siswa lainnya. Semua orang memandang Lady Leverton saat maju ke depan. Pembawaannya yang anggun dan ramah, membuatku terkagum-kagum. Otaknya yang cukup encer tentu akan mudah menganalisis lukisan itu. Seingatku Mama lebih banyak bekerja dengan pisau palet dibanding kuas. Dugaanku beliau menggunakan teknik impasto (melapiskan cat dengan sangat tebal di atas kanvas sehingga arah goresan kuas sangat mudah terlihat). Aku tidak yakin sih, kalau belum menyentuh permukaannya secara langsung dan menemukan craquelure (pola-pola halus pada retakan yang sering terjadi pada lukisan tua). Tatiana sudah berada di sebelah kanan, sementara Mr. Avindale berada di sebelah kiri lukisan itu. "Silakan Lady Leverton," ujar Mr. Avindale. "Terima kasih," jawab Tatiana sembari tersenyum. Selanjutnya dia langsung mengamati dari dekat lukisan tersebut. Sudah disediakan satu kaca pembesar untuk melihat detil lukisan. "Pelukis ini belum menyelesaikan lukisannya," ujar Tatiana. Terdengar gumaman dari teman-teman sekitar. "Bagaimana Anda bisa menyimpulkan seperti itu?" tanya Avindale. "Terlihat jelas dari layer yang digunakan, dia menggunakan teknik lukis kering. Detil halus belum selesai dikerjakan. Seperti yang kita tahu, untuk mendapat hasil maksimal, teknik pengeringannya harus sempurna. Aturan Fat over lean (aturan penempatan lapisan yang lebih tebal atas lapisan yang lebih tipis) dipatuhi oleh si pelukis. Sehingga walau belum selesai, craquelure-nya tidak terlalu parah," jelas Tatiana. "Wah, bagus sekali Lady Leverton. Teori teknik melukis sungguh sudah Anda kuasai dengan baik. Ada tambahan?" tanya Avindale. "Sudah, itu saja," kata Tatiana. "Baiklah, silakan peserta selanjutnya," ujar Avindale. Aku tidak terlalu mempedulikan siapa yang maju selanjutnya. Justru menghampiri Tatiana dan mengucapkan selamat. "Anda sangat berbakat, Lady Leverton," pujiku. "Hahaha, kau tau? Aku hanya mengulang pelajaran yang diberikan Avindale saja tadi. Entah benar atau tidak aku tidak tahu," ujarnya sambil berbisik. Aku menahan tawa sembari bertanya,"Jadi kau tidak menelitinya dengan baik?" "Ya ampun, Adel. Itu lukisan siapa juga kita tidak tahu, dan sepertinya hanya sebuah penuangan ekspresi saja. Yah anggap seperti saat kita menggambar isi pikiran, belum tentu juga objek yang ada di lukisan itu nyata," tambah Tatiana. Aku tersenyum masam mendengar penuturannya. Entah kenapa hatiku terasa seperti dicubit saat dia seolah menyiratkan bahwa lukisan itu tidak terlalu berharga. "Ayo kita lihat yang di sebelah sana," ajak Tatiana sembari menyeret tanganku. Mau tidak mau aku menurutinya, menjauhi kerumunan teman-teman. Kami berhenti di depan sebuah lukisan yang berukuran cukup besar. Sepertinya itu lukisan raja dan ratu yang sedang berdansa, tapi entah siapa. Seorang pria berambut pirang dan seorang wanita berambut merah, keduanya mengenakan mahkota. Wajah mereka tidak terlalu kentara karena dilukis samar seperti pada aliran impresionisme. "Ini baru keren, romantis," ujar Tatiana. "Aku juga ingin dilukis suatu saat. Mungkin Papa bisa melobi Mr. Avindale untuk melukisku saat menikah nanti. Hanya berdua seperti ini. Kalau lukisan dengan keluarga sudah sering." Aku tidak menyahut, sibuk mencuri pandang pada lukisan Mama. Seandainya aku membeli lukisan itu, kira-kira akan timbul masalah tidak ya? Aku bisa membawanya pulang ke rumah paman dengan mengatakan kalau itu lukisan hasil karyaku, tapi masalahnya adalah berapa harganya? Jika Lucas menjualnya dengan harga tinggi, aku tidak punya cukup uang untuk membeli. Atau, sebaiknya kutanyakan saja berapa harganya ya? "Adel!" "Hah?" "Anda sedang melamun apa, Lady Watson? Dari tadi tidak menyahut saat kuajak bicara," kata Tatiana. Mukanya terlihat cemberut. "Eh, maaf. Aku sedang berpikir, maaf." "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Lagi pula, Sir Kingstone kelihatannya juga tidak mempermasalahkannya lagi bukan?" katanya sembari memegang dua tanganku. Wajahnya berubah lembut, dan senyumnya menghangatkan hatiku. "Begini saja, akan kutawarkan padanya sejumlah uang jika dia sampai mempermasalahkan itu lagi. Kamu jangan khawatir, tidak akan ada yang berani mengirimmu ke penjara, selama masih ada aku." "Tidak, tidak Tatiana. Itu terlalu berlebihan. Kau sudah banyak menolongku, aku tidak akan merepotkanmu dengan hal itu. Akan kuatasi sendiri masalah ini, Anda tidak perlu khawatir My Dear," jawabku cepat-cepat. Gara-gara lukisan Mama aku sampai lupa dengan masalah yang kuhadapi dengan Lucas. Tatiana tersenyum lagi, "Baiklah kalau begitu. Jangan melamun lagi kalau begitu. Ayo ke sana, kita lihat pemandangan luar dari atas balkon," ajaknya. Aku tersenyum dan mengangguk mengiyakan ajakannya. Kami berdua melangkah ke samping dinding lukisan besar, melewati pintu menuju balkon.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN