Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menurut sepenuhnya pada Uncle John. Jika saja aku masih punya kekuatan dan keberanian, pasti aku sudah lama kabur. Sayangnya, itu tidak mudah dilakukan. Maklum status sosial dan pengawalan ketat yang ada di sekitar, membuatku sudah bergerak.
"Miss, kita sudah sampai," kata pengawal sembari membuka.pintu kereta.
"Oh, iya. Terima kasih," ucapku setengah kaget. Maklum, selama perjalanan ke rumah guru seni, aku melamun sedari tadi.
Dengan bantuan tangan pengawal aku turun, lantas bergegas menuju sanggar. Seperti biasa, para pengawal akan membawakan barangku ke dalam. Jadi aku tidak perlu susah-susah menunggu.
Suasana di dalam masih lengang. Seperti biasa, aku segera menuju sudut ruangan. Namun, langkah kaki di belakang membuatku berhenti. Ternyata Tatiana.
"Adel! Aku dapat," bisiknya sembari menyeretku ke pojok.
Khusus untuk pelajaran melukis, Uncle John mengirimku ke rumah seorang guru lukis yang terkenal. Sementara untuk pelajaran lainnya, paman mendatangkan guru ke rumah. Jadi bisa dikatakan, hanya pada pelajaran melukis, aku bisa keluar dari mansion.
"Serius? Kamu yang terbaik," ucapku dengan penuh kegirangan, sembari meletakkan peralatan melukis di dekat kanvas. Selalu mengambil tempat paling belakang di sanggar, bukan karena kami tidak suka melukis, tapi agar tidak mengganggu yang lain saat mendiskusikan banyak hal.
"Anda harus tahu apa yang saya pertaruhkan untuk mendapatkan identitas itu, Miss Watson" katanya formal, seraya menata beberapa botol cat.
"Iya, saya tahu. Dan saya pasti akan memberikan Anda imbalan setimpal, Miss Leverton." Aku mengerlingkan mata padanya. Sebuah buku asli karya Shakespeare yang terkenal itu sudah kusimpan baik-baik--mencurinya--dari perpustakaan Uncle John.
"I love you Adel," katanya sambil menyapukan kuas ke mukaku.
Dalam setiap tingkah laku, seharusnya kami wajib menjaga etiket. Walau kurasa itu cukup menggelikan. Namun, Tatiana memang lebih 'Lady like' dibanding aku. Meski memiliki perbedaan cukup mencolok, tapi kami sama-sama cocok saat membicarakan buku. Terutama buku tentang tempat-tempat jauh.
"Dasar usil!" elakku.
Tidak lama kemudian Mr. Leverton masuk sanggar dan kami kembali bersikap sesuai aturan. Seperti biasa, beliau merapikan bajunya yang selalu ketinggalan zaman. Yah, dia pecinta mode gaya renaisance-franch, dengan celana ketat dan kemeja putih berumbai di d**a. Topi baret yang dipakainya miring, menutupi rambut keriting blonde sebahu. Sebuah bulu disematkan pada bagian depan baret itu. Kumisnya yang melengkung di ujung, selalu menjadi pembicaraan para murid di kelas kami. Mereka menjulukinya 'Modern Picasso', walau tentu saja, pelukis terkenal itu akan sangat keberatan jika dia dibandingkan dengan Mr. Leverton.
"Good morning My Ladies," sapanya dengan formal melepas topi dan menundukkan badan.
"Good morning, Sir," jawab kami sembari membalas hormat dengan sedikit menekuk lutut dan memegang sisi gaun.
"Well, untuk hari cerah dan panas kali ini. Sebaiknya kita melukis di luar saja." Beliau tersenyum dengan bangga.
Hanya gumaman yang keluar dari mulut mungil nan cantik milik teman-teman sekelas, termasuk Tatiana. Sementara itu, aku sekuat tenaga menahan diri untuk tidak bersorak sekaligus meloncat kegirangan. Hanya senyuman lebar yang kuberikan pada Tatiana.
Dia mendengkus. "Yah, yah, outdoor selalu membuatmu menggila, Adel."
"Kau tahu kan, seandainya aku boleh memilih lahir di mana?" tanyaku beretorika.
"Yayaya, di sebuah keluarga petani, atau pemburu. Yang setiap hari keluar rumah untuk mencari makan," dia menghela napas,"kenapa kau tidak jadi manusia hutan saja?"
"Oh, itu terlalu ekstrim, Tatiana. Dan kau tahu?"
Dia mengangkat bahu.
"Aku sudah tidak sabar untuk melarikan diri dari acara debut yang sudah diatur paman. Aku tidak perlu menikahi seorang bangsawan. Aku ingin menjadi petualang." Sebuah tas ransel yang berisi perlengkapan baju secukupnya serta uang tabungan yang tidak seberapa sudah kupersiapkan jauh-jauh hari.
"Jangan berpikir begitu, Adel. Setiap gadis tentu ingin bertemu seseorang, jatuh cinta, dan menikah. Memang kita bukan lagi tinggal di London, tapi tidak pula bisa mengubah tradisi yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Hanya itu cara terhormat untuk mendapatkan suami." Tatiana mengatakan itu sambil menerawang jauh. Sangat jelas terlihat di wajahnya, jika young lady di sebelahku ini sangat berpikiran kolot.
"Maaf mengecewakanmu Tatiana, tapi aku bukan berasal dari London," terangku, mengingatkannya. Mencari suami bukanlah prioritasku saat ini.
"Yaya, aku tahu. Tapi setidaknya pamanmu adalah seorang bangsawan dari Inggris." Tatapannya saat mengatakan itu sungguh menjengkelkan.
"Tapi aku bukan!" sanggahku. Lagi pula, siapa yang ingin hidup terkungkung bertahun-tahun di sebuah rumah, dengan pria bangsawan membosankan, dan membesarkan anak-anaknya? Huh!
"Ehem! Young Lady Watson dan Young Lady Leverton, ada yang bisa saya bantu?" sapa Mr. Avindale yang tiba-tiba sudah berjalan ke arah kami.
"Oh, tentu tidak, terima kasih. Kami sedang berkemas," jawabku santai.
"Baiklah, jika begitu. Saya harap Anda berdua segera berkemas. Kita akan naik kereta kuda ke Umpherstone Sinkhole."
Setelah memberikan anggukan sopan, guru lukisku itu undur diri. Kini hanya ada aku dan Tatiana di sanggar. Segera saja aku mengeluarkan buku puisi dan meletakkannya di tangan Tatiana.
"Aku mencintaimu, Adelaide," ucap Tatiana sembari memeluk buku itu. Rambut hitamnya yang ikal gantung bergerak-gerak ketika dia menggoyangkan buku itu seolah benda paling berharga.
"Berikan padaku surat itu," ujarku.
Dengan tersenyum lebar, dia mengeluarkan sebuah gulungan perkamen. Yah, sebuah identitas baru, yang menyatakan namaku adalah Adelle Black Leverton, sepupu jauh dari Tatiana.
"Gunakan itu sebaik-baiknya Adel! Maksudku, jangan mencoreng nama keluarga kita," ujarnya seraya memberikan surat keterangan itu.
"Jangan khawatir, sepupu. Aku hanya ingin bebas dari acara seremonial itu saja. Setelah musim perjodohan itu usai, aku akan kembali ke rumah paman." Tanganku membuka gulungan perkamen itu dan melihat cap keluarga Leverton tersemat pada lilin segel berwarna merah. "Thank you Tatiana, kamu memang saudari yang tidak pernah aku punya.
"By the way, jaga dirimu Adel. Jangan percaya siapa pun di luar sana," ujarnya memperingatkan aku.
"Tentu saja, my Lady," jawabku seraya memberi penghormatan dengan sopan.
"Oke, sekarang mari kita bersenang-senang di luar sana!"
"Berangkaaatt!" ucapku sangat bersemangat.
Kami pun memakai topi brokade yang sesuai dengan gaun harian masing-masing, lantas berjalan dengan anggun ke luar kelas.
Aku dan Tatiana sedang menjalankan satu misi rahasia. Sedangkan pamanku sama sekali tidak tahu hal ini. Surat sudah dkutinggalkan di meja rias, yang berisi tentang pemberitahuan bahwa aku menginap di rumah peristirahatan Tatiana selama musim panas.
Barang-barang sudah tersimpan rapi dalam koper dan kukirim ke pondok Tatiana. Namun, itu hanya alibi, untuk menutupi rencana petualangan ke Mount Blanc. Satu penjelajahan memorable, untuk mengenang kedua orang tuaku.
Aku ingin mengunjungi rumah lama kami, dan juga tempat-tempat terbaik yang pernah kami singgahi. Paman selalu melarangku ke sana, sejak kejadian itu. Kejadian yang membuatku yatim piatu, dan juga membuatku harus berubah identitas dan juga warna rambut. Paman bilang, aku harus patuh jika ingin selamat. Namun sampai saat ini, aku tidak pernah tahu alasan yang sesungguhnya. Karena dia bilang, semakin sedikit yang kuketahui semakin aman.
Bagaimanapun juga aku ingin mencari tahu, siapa sebenarnya diriku. Dan terima kasih banyak pada Lady Tatiana, yang telah membantuku sampai sejauh ini. Aku berhutang banyak padanya.