=LUCAS=
.
Aku saja tidak pernah tidur sekacau itu. Bagaimana mungkin seorang Lady bisa meninggalkan tempat tidur yang sama sekali tidak rapi? Bantal dan guling berserakan di lantai, sprei dan bedcover tersingkap tidak keruan. Karut marut, seperti habis terkena serangan bom atom.
Wait a minute. Jika tidak sedang tidur, lantas dia ada di mana?
"Miss Leverton?" panggilku ke seluruh kamar. Atau jangan-jangan dia ada di kamar mandi?
Segera kuhampiri pintu di balik partisi kayu itu. Kuputar handlenya, terkunci dari dalam. Aku mengetuk pintu seraya memanggilnya, "Miss Leverton, Anda di dalam?"
Tidak ada sahutan.
"Miss Leverton, Anda baik-baik saja?" tanyaku mengulangi. Sembari terus menggedor pintu kamar mandi. Aduh, benar-benar gawat kalau dia kenapa-kenapa. Akan jadi masalah tambahan jika sampai terjadi sesuatu di sini. "Miss Leverton! Miss Leverton!"
"Ya? Semua orang di sini hobi teriak ternyata."
Aku terlonjak. Benar-benar kaget hingga rasanya jantungku melompat keluar, saat dia membuka pintu toilet. Gadis itu tengah mengenakan gaun tidur tanpa lengan potongan agak terbuka. Hanya ada seutas tali yang menyangga gaun itu tetap berada di bahunya.
"Anda ... Anda ...." Aku tergagap kebingungan mendapati dia berdiri seperti itu. Serta merta aku berbalik untuk menghindari pandangan langsung padanya. "Anda ... tadi tidak menjawab panggilanku. Karena khawatir dengan keadaan Anda, makanya saya masuk kemari," ujarku beralasan. "Maaf saya tidak tahu Anda sedang dikamar mandi."
"Iya aku mau tidur, makanya ganti baju dulu, tapi pelayanmu sangat berisik sampai aku susah untuk memejamkan mata," jelasnya sembari berjalan santai ke tempat tidur. Dia memungut bantal guling yang tercecer, lantas naik ke tempat tidur dan menarik selimut.
"Em, syukurlah kalau Anda baik-baik saja."
"Kau sudah puas? Sekarang tolong keluar dan tutup pintunya. Aku ngantuk. Jangan bangunkan aku sampai makan malam."
Aku berjalan ke sisi tempat tidur, mendekati gadis yang sedang bergelung miring di bawah selimut itu. "Miss Leverton, saya datang ke mari mengundang Anda secara pribadi untuk jamuan teh sore. Saya ingin membicarakan beberapa hal sebagai kesepakatan," ujarku sambil berdiri.
Nona Leverton menoleh lantas menyingkap selimut dan duduk. Untung saja tubuh bagian atasnya tertutup selimut dengan sempurna. "Well, begini Sir. Maafkan saya sebelumnya, tapi saya benar-benar lelah sekarang ini. Saya ingin istirahat sejenak, maksudku tidur dan meletakkan badan dengan layak tanpa gangguan."
Aku sedikit jengkel padanya. Berani-beraninya dia tidak sopan seperti ini, menolak undangan ku hanya demi tidur.
"Dengar, Nona. Anda adalah tamu saya, oleh karena itu saya menghormati Anda. Apakah pelajaran manner tidak Anda pelajari dengan baik, sehingga menolak undangan tuan rumah demi tidur? Perlukah Anda saya ingatkan tentang posisimu di sini?" kataku kesal.
Gadis itu menatapku lurus-lurus, seperti sengaja menilai raut wajahku, serius atau tidak. Namun dari kelopak matanya yang enggan membuka, dia memang terlihat sangat mengantuk.
"Baiklah, aku akan datang. Tapi tolong, berilah aku waktu tidur sebentar, tiga puluh menit."
"Hmm, baiklah. Tapi tolong jangan usir Ines lagi, dia memang bertugas untuk.melayanimu di sini."
"Oh, pelayan wanita itu. Baiklah." Dia menguap dan meregangkan badan. Selimutnya sedikit tersingkap. "Boleh aku tidur sekarang?" tanyanya.
"Em, iya. Iya, silakan. Aku akan keluar," jawabku agak kikuk, setelah memalingkan wajah. Rasanya tidak nyaman memang menyadari bahwa aku sedang bersama seorang gadis di dalam kamar tidur dengan pintu terkunci.
Nona Leverton menyusupkan kembali badannya ke bawah selimut, sembari berbaring miring membelakangiku. Rambut merahnya terurai, tersebar di seluruh permukaan bantal. Dari samping, wajahnya terlihat imut dengan bulu mata terlihat lebih lentik saat kelopak matanya terpejam. Pipinya tidak terlalu pucat, bahkan ada semburat merah di bagian tulang pipi yang aku yakin bukan akibat make up. Rona merah itu semakin jelas terlihat saat dia tersipu atau terdesak, seperti pagi tadi.
Ah, tidak! Bagaimana bisa aku bertindak bodoh seperti ini? Berdiri mengamati seorang gadis yang sedang tertidur! Apa-apaan ini Lucas? Bukankah kau adalah seorang pria dewasa, seharusnya tidak lagi tertarik pada gadis remaja yang labil. Yang kau perlukan darinya hanyalah peran untuk menghalau Regina. Sementara untuk sosok pengganti Marry Ann, seharusnya kau mempertimbangkan wanita dewasa dan matang seperti Rully.
Suara dengkuran halus dari Nona Leverton yang tampak pulas, membuatku kembali ke alam nyata. Rasanya pembicaraan dalam otakku ini makin sering muncul akhir-akhir ini. Ini pasti karena stress.
Tak ada lagi yang bisa dilakukan di sini, segera aku menuju pintu. Membuka gerendel dengan satu tangan, kemudian kuputar handle pintu.
Hah, macet?
Kucoba sekali lagi. Macet! Tidak, tadi siang saat aku membukanya tidak macet. Kucoba lagi, dengan sedikit memaksa mendorongnya. Masih macet juga. Sebenarnya bisa saja aku mendobrak pintu ini dengan satu tendangan, tapi nanti dia terbangun.
Aduh! Masa harus lewat railing balkon lagi? No way! Sebaiknya aku memanggil Richard saja, memintanya untuk mengambilkan obeng. Sebaiknya kubongkar saja sekalian kenop pintu yang bermasalah ini. Biar nanti digantikan dengan handle yang baru oleh tukang.
Segera saja keluar dari kamar menuju balkon, aku memanggil Richard. "Richard! Kau di sana?"
"Ya Tuan, bagaimana?"
"Tolong ambilkan satu set obeng, pintu depannya macet. Keberanianku memanjat railing sudah habis tadi," ujarku tertua terang.
"Yes, Sir!" jawab Richard sambil terdengar menahan tawa. Coba saja dia pelayan baru pasti akan kupotong gajinya.
Aku berdiri memegangi railing memandang taman, bingung hendak melakukan apa. Saat menoleh ke belakang, dari balik tirai bisa kulihat wajah Nona Leverton yang sedang tidur dengan nyenyak.
Sekarang aku berbalik menghadap jendela, dengan punggung bersandar pada railing. Sambil bersedekap aku memandangi gadis itu. Sangat ironis kedamaian yang terlihat dengan sikapnya yang telah membuat heboh rumah ini. Mungkin mulai saat ini aku harus terbiasa dengan sikapnya yang impulsif dan penuh kejutan. Em, bukan hanya aku, tapi juga seluruh pelayan di rumah ini.
Tanpa sadar aku tersenyum.
"Sir Kingstone, ini obengnya," kata Richard dari balkon sebelah. Dia melemparkan satu set obeng yang tertata rapi dalam kotak perkakas berbahan kayu.
Hap. Aku menangkapnya. "Terima kasih."
"Ada lagi Tuan?"
"Tidak, itu saja. Sampai ketemu di pintu depan,"ujarku sebelum masuk kembali ke dalam kamar.
Aku berjalan perlahan melewati tempat tidur Nona Leverton, berusaha untuk meminimalisasi kebisingan. Setelah sampai di pintu depan, kubongkar kotak perkakas itu dan menemukan ukuran dan jenis obeng yang tepat, ujung kembang nomor 12.
Usai mempreteli handle pintu. Ternyata ada karat, pada bagian besi dalam mekanisme handle yang membuatnya tersangkut dan tidak elastis. Pintu pun terbuka, tapi sekarang tanpa handle.
"Sir?" sapa Richard.
"Psst, jangan keras-keras dia sedang tidur," bisikku.
"Baik, Tuan." Richard pun memelankan suaranya. Dia mengambil alih kotak perkakas dan peretelan handle dari tanganku.
Aku menutup pintu perlahan. "Besok perintahkan tukang untuk mengecek semua handle pintu di kamar atas ini. Pastikan dalam keadaan baik. Bila perlu ganti, langsung saja suruh ganti," perintahku pada Richard begitu sudah agak jauh dari kamar.
"Siap,Tuan."
"Oh, iya satu lagi. Tolong siapkan kamar di lantai bawah untuk tamu kita. Karena kamar lantai dalam proses pengecekan semua," lanjutku.
"Kamar lantai bawah?" tanya Richard lagi.
Aku berhenti tepat di ujung tangga. "Iya, kamar di seberang kamar yang kutempati sekarang."
"Eh, oh, baiklah, Tuan." Richard pun membungkuk sopan, setelah mendapat jawaban dariku.
Aku tidak begitu kaget melihat responnya. Memang, kamar itu adalah kamar utama, kamarku dan Marry Ann. Namun sejak dia pergi, aku pindah ke kamar lain di depan. Terlalu menyakitkan untuk terus tidur di sana. Kamar itu selalu dibersihkan dan dirawat, hanya sesekali aku ke sana jika ingin kedamaian atau rindu pada Marry Ann.